• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Tapal Kuda

Gerakan Siswa Moderat Dorong Moderasi Beragama di Kalangan Milenial

Gerakan Siswa Moderat Dorong Moderasi Beragama di Kalangan Milenial
Wildani Hefni, peduli terhadap penguatan moderasi beragama di kalangan generasi milenial. (Foto: NOJ/ Dok. Pribadi)
Wildani Hefni, peduli terhadap penguatan moderasi beragama di kalangan generasi milenial. (Foto: NOJ/ Dok. Pribadi)

Jember, NU Online Jatim

Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran terhadap radikalisme dan sektarianisme semakin meningkat, terutama dengan keterlibatan aktif mahasiswa dan pemuda dalam gerakan intoleransi yang berpotensi merugikan. Generasi milenial, termasuk mahasiswa, sangat rentan terhadap proses indoktrinasi yang mendorong keterlibatan mereka dalam gerakan garis keras.

 

Tidak hanya itu, lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia juga menghadapi realitas serupa. Riset yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2019 menunjukkan penyebaran paham ekstremisme di kalangan Perguruan Tinggi, temuan yang sejalan dengan penelitian dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2021.

 

Penelitian tersebut mengkonfirmasi bahwa nilai empati terhadap kelompok lain, baik secara internal maupun eksternal, yang merupakan bagian dari Moderasi Beragama, cenderung lemah di kalangan mahasiswa, dosen, dan staf di tiga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Djati Bandung, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Wildani Hefni, Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq (KHAS) Jember, sangat peduli terhadap penguatan moderasi beragama di kalangan generasi milenial. Salah satu inisiatifnya adalah penelitian terhadap Gerakan Siswa Moderat (GSM) di Lumajang. Ia juga pernah mengikuti kegiatan Sekolah Moderasi yang dilaksanakan di Pure Mandara Giri Semeru Agung Lumajang pada Juni 2022.

 

GSM yang diinisiasi oleh Kementerian Agama Kabupaten Lumajang bertujuan untuk memperluas pemahaman multikultural dan multireligius di antara siswa madrasah generasi milenial. Gerakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan dialog antar umat beragama di kalangan mereka, khususnya di tengah maraknya gerakan radikal di kalangan generasi muda saat ini.

 

"GSM berupaya memperluas pemahaman kebangsaan dan moderasi beragama di kalangan generasi muda. Melalui GSM, kami berusaha memberikan pemahaman bahwa agama sejatinya mengajarkan perdamaian, bukan konflik. Lebih dari itu, GSM juga sesuai dengan realitas multikultural di Kabupaten Lumajang, yang dihuni oleh masyarakat dari beragam latar belakang agama, seperti yang terlihat di Desa Senduro dengan keberagaman 180 Kepala Keluarga (KK) Islam, 20 KK Hindu, dan 3 KK Kristen yang tinggal berdampingan," ujar Wildani Hefni.

 

Dalam praktiknya, GSM memberikan ruang yang luas bagi siswa madrasah untuk terlibat dalam dialog dengan pemimpin agama dari berbagai latar belakang. Para siswa yang terlibat dalam GSM, yang diharapkan akan menjadi agen perubahan moderasi beragama di madrasah-madrasah di Kabupaten Lumajang, diundang untuk berdiskusi dengan para pemimpin agama seperti ulama, kiai, habib, romo, uskup, pendeta, pandita, dan tokoh agama lainnya. Dengan demikian, GSM menjadi platform untuk menyelenggarakan dialog antaragama (interfaith dialogue).

 

“Dalam suasana dialogis ini, GSM tidak hanya menjadi inisiatif keberagaman tetapi juga menjadi jaringan yang menghubungkan hubungan harmonis antara siswa madrasah yang memiliki latar belakang agama, suku, ras, etnis, dan ideologi yang berbeda. Adanya persatuan dalam lingkungan komunitas ini membawa pada rasa peduli satu sama lain, termasuk dalam cara menghadapi keadaan yang memiliki banyak perbedaan,” katanya.

 

Siswa sebagai agen promotor moderasi beragama

Dalam konteksnya, siswa yang terlibat dalam GSM menjadi agen perubahan dalam mempromosikan moderasi beragama yang menghubungkan pemahaman keagamaan dari masa lalu, kini, dan masa depan. Hal ini menandakan adanya kesinambungan pemahaman yang beradaptasi dengan perubahan zaman.

 

“Dalam konteks beragama, tidak ada satu pun teks yang harus dipahami secara kaku dan statis tanpa memperhitungkan konteks zaman. Oleh karena itu, kepatuhan buta terhadap teks-teks kuno tanpa penyesuaian dengan realitas saat ini dapat berdampak serius, terutama dalam pendekatan keagamaan yang bersifat literal dan hitam-putih,” terangnya.

 

Selanjutnya, GSM juga menjadi motor penggerak moderasi beragama dengan identitas keagamaan kolektif yang membangun komitmen pada keragaman, baik itu perbedaan agama, suku, ras, maupun etnis.

 

Dalam realitas multikultural di Kabupaten Lumajang, perbedaan agama menjadi sangat mencolok. Salah seorang anggota GSM, Andi, menekankan bahwa GSM memberikan pemahaman yang luas mengenai agama dan menyadarkan akan keragaman agama di masyarakat.

 

“Kami merasa beruntung bisa terlibat dalam GSM ini. Kami berusaha untuk memahami dengan baik nilai-nilai kebangsaan dan moderasi beragama. Melalui kegiatan-kegiatan GSM, kami belajar bahwa agama sejatinya mengajarkan perdamaian, bukan konflik. Pengetahuan ini akan kami sampaikan di sekolah kami kepada yang lain,” ujar Andi.

 

Siswa yang terlibat dalam GSM juga aktif dalam menyebarkan pesan-pesan keagamaan melalui tindakan dan upaya komunikasi yang damai. Mereka menjadi bagian dari komunikasi keagamaan yang membawa pesan moderat, terutama di tengah luasnya penyebaran hoaks dan fitnah di media sosial.

 

“Ruang digital dijadikan sarana untuk menyampaikan gagasan-gagasan moderat, namun di sisi lain juga menjadi tempat dimanfaatkannya untuk memutarbalikkan sejarah, mengadu nasionalisme dengan agama, serta menolak keberagaman,” ungkapnya.

 

Dari hasil riset ini, Wildani Hefni merekomendasikan kepada pemangku kebijakan, terutama Kementerian Agama RI, untuk terlibat secara aktif dalam gerakan moderasi beragama. Dibutuhkan kolaborasi yang luas, tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga generasi muda dari siswa madrasah, siswa SMA, dan masyarakat luas, untuk mengatasi risiko terlibatnya generasi milenial dalam gerakan radikalisme.

 

Pihaknya pun menekankan ke depan perlu ada program dengan skala yang lebih luas, tidak hanya di satu daerah tetapi juga pada tingkat nasional. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pandangan generasi muda, terutama terkait moderasi beragama di Indonesia.

 

“Semoga tercipta lingkungan yang lebih inklusif dan harmonis bagi generasi milenial, serta meningkatkan toleransi antarumat beragama di tengah keberagaman masyarakat Indonesia,” tutupnya.


Tapal Kuda Terbaru