Lumajang, NU Online Jatim
Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Azizi Hasbullah menerangkan konsep berbangsa dan bernegara sebenarnya telah diajarkan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 197. Dalam ayat tersebut digambarkan oleh Allah, ketika ibadah haji umat Islam bertemu dengan berbagai macam aliran, akidah, sekte, dari berbagai bangsa yang berbeda warna kulit dan karakter.
“Dan, Allah melarang perempuan saat ihram menutup wajahnya. Meski demikian, saat haji tidak ada orang bertengkar dan aman-aman saja. Dan ini yang kita bawa di sini," jelasnya saat Halaqah Fiqih Peradaban seri ke-81 yang dipusatkan di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'in Kedungjajang Lumajang, Kamis (10/11/2022).
Ia mengatakan, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan, baik berbeda dalam agama, suku, bangsa, bahasa dan lainnya. Sebab, hal itu tidak akan pernah lepas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Oleh karenanya, perbedaan-perbedaan ini perlu ditata dan diatur agar terhindar dari perpecahaan dan pertikaian, sehingga negara aman dan damai,” ucap Kiai Azizi.
Masih mengenai surat Al-Baqarah, Kiai Azizi menuturkan, Allah melarang umat Islam melakukan tiga perkara. Hal itulah yang membuat berjuta-juta umat Islam di seluruh dunia ketika haji terhindar dari perpecahan dan pertikaian walaupun berbeda akidah, aliran, sekte, suku dan warna kulit.
"Maka, di sana saat wanita dibuka wajahnya maka jangan rofats (berhubungan badan), jangan berbuat fusuq atau salah kepada siapapun. Jangan jidal. Kata Imam Ghozali, Jidal adalah berebut benar. Dikatakan, orang benar disuruh mengalah nanti akan mendapat surga elit. Kalau ini dikembangkan maka akan jadi fiqih peradaban," ungkapnya.
Dirinya mengungkapkan, Rasulullah pernah mengajarkan bagaimana seseorang harus cinta kepada tanah airnya. Hal itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam At-Turmudzi yang menceritakan percakapan sahabat Ashil bin Muadz saat bersama Rasulullah dan Sayyidah Aisyah.
"Sayyidah Aisyah bertanya kepada Ashil, bagaimana keadaan Makkah saat engkau tinggalkan. Ashil mengatakan, Makkah itu subur tanamannya, padang pasirnya luar biasa, makanannya sangat mencukupi. Mendengar hal itu Rasulullah bersabda, Ashil, cukup! jangan bikin susah saya," kisah Kiai Azizi.
Dalam riwayat lainnya, Kiai Azizi menceritakan saat Rasulullah diusir dari Makkah. Rasulullah melihat Makkah dari kejauhan seraya mengungkapkan kecintaannya terhadap tanah kelahirannya sebagai ungkapan rasa sedih harus meninggalkan kota yang dicintainya karena terpaksa.
"Ya Makkah, engkau sebaik-baiknya bumi pada Allah. Andai aku tidak diusir, aku tidak akan pernah keluar darimu. Engkau bumi yang terbaik, bumi yang aku cintai. Maka, di sini cara pengembangannya, Rasulullah mencintai Arab karena beliau adalah orang Arab, tentunya kita harus cinta Indonesia karena kita bangsa Indonesia. Rasulullah tidak membangun negara Islam melainkan negara peradaban," tegasnya.
Maka, dalam proyek besar fiqih peradaban yang digaungkan NU dalam menyongsong satu abad ini, pemahaman-pemahaman fiqih semacam ini harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep-konsep yang telah dirancang diformulasikan agar NU bisa berperan aktif tidak hanya di Indonesia, bahkan seluruh dunia.
"Hal ini yang harus kita kontekstualisasikan dengan fikih peradaban, kita disuruh cinta Indonesia sebagai tanah air dan negara kita. Kalau kita cinta negara kita, maka kita harus mencintai dan menghargai sesama warga negaranya tanpa memandang agamanya," tandasnya.