Lumajang, NU Online Jatim
Erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (04/12/2021) sore kemarin menyisakan memori pahit bagi sejumlah korban. Termasuk yang dialami Ponidi, warga Dusun Kajar Kuning Desa Sumberwuluh Kecamatan Candipuro Lumajang.
Bagaimana tidak, tanpa pertanda apa pun, secara tiba-tiba Gunung Semeru mengeluarkan awan panas disertai abu vulkanik yang begitu cepat tersebar. Kondisi semakin mencekam karena awan mendung dan listrik padam, membuat jarak pandang sangat terbatas.
"Saya baru pulang dari Surabaya, terus istirahat. Tiba-tiba dibangunkan istri katanya ada awan panas Gunung Semeru," cerita Ponidi kepada NU Online Jatim, Ahad (05/12/2021).
Spontan saat itu dirinya mengambil motor dan membuka pintu berharap segera bisa keluar bersama keluarganya. Namun, saat pintu dibuka, ternyata abu vulkanik sudah sangat deras disertai angin dan hujan.
"Akhirnya tidak jadi keluar, karena sudah banyak abu dan kondisi sudah gelap. Saya hidupkan lampu, terus padam. Saya mikir, kalau keluar saya bisa mati kena awan panas, tapi tetap di rumah juga khawatir rumah ambruk," lanjutnya.
Dengan nekat, dirinya memberanikan diri keluar bersama keluarganya meskipun dalam keadaan gelap gulita. Bahkan cahaya lampu senter yang dibawanya tidak bisa menembus pekatnya abu vulkanik kala itu.
"Saya jalan seperti orang buta, sambil meraba-raba. Bahkan, saya sampai nabrak tembok. Saya jalan terus dari rumah ke rumah, hingga akhirnya bisa sampai di masjid yang lampunya menyala karena memakai lampu casan," katanya.
Di masjid itu dirinya mengaku sedikit lega, karena di masjid sudah banyak pengungsi lainnya. Namun, ia tidak berlama-lama di masjid tersebut karena khawatir ambrol dan roboh, sebab masjid sudah dipenuhi abu vulkanik.
“Saya di masjid merapal sejumlah doa-doa. Saat agak reda, saya terus berjalan menjauh dari titik utama hingga akhirnya bertemu tim evakuasi," ungkapnya.
Saat ini, Ponidi bisa bernafas lega bisa menyelamatkan diri bersama keluarganya di posko pengungsian yang dipusatkan di Balai Desa Penanggal. Namun, meski demikian harta bendanya tidak terselamatkan.
Editor: A Habiburrahman