• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Tokoh

Mengenal KH Zaini Mun’im, Pendiri Pesantren Nurul Jadid

Mengenal KH Zaini Mun’im, Pendiri Pesantren Nurul Jadid
KH Zaini Mun'im, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. (Foto: NOJ/DD)
KH Zaini Mun'im, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. (Foto: NOJ/DD)

Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo kini berkembang dengan sangat pesat. Lembaga pendidikan formal yang dimiliki juga beragam dari tingkat dasar hingga kampus. Kajian keagamaan juga berlangsung dengan marak. Sejumlah alumninya berkiprah lintas peran. 

 

Keberhasilan dan keberkahan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosok pendiri sekaligus pendiri pertama pesantren tersebut, yakni KH Zaini Mun’im. 

 

Zaini Mun’im lahir tahun 1906 di Desa Galis, Pamekasan dari pasangan KH Abd Mun’im dan Nyai Hamidah. Sewaktu kecil, sang ayah memberinya nama Abdul Mughni, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Zaini. 

 

Pengembaraan Pengetahuan
Dari garis keturunan ayahnya, Zaini merupakan keturunan raja Sumenep yang silsilahnya sampai kepada Sunan Kudus. Sementara dari garis ibu, ia adalah keturunan dari raja-raha Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bergelar Raden yang sangat disegani di Madura.

 

Pada usia 11 tahun, Zaini muda masuk ke Volkschool  hingga tamat pada 1921. Saat usianya menginjak 15 tahun, ia kemudian berangkat ke Bangkalan unutk nyantri di Pesantren Kademangan yang diasuh oleh Kiai Khalil. Di tempat inilah Zaini mampu menghafalkan 10 juz Al-Qur’an dan kitab Alfiyah karya Ibnu Malik.

 

Menginjak usia 24  tahun, Zaini Mun’im berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari sana, melanjutkan studi di Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh Kiai Abdul Hamid. Setelah itu, melanjutkan ke Pesantren Sidogiri selama satu tahun kemudian kembali ke kampung halaman saat ayahnya meninggal dunia.

 

Tahun berikutnya, ia belajar ke Pesantren Tebuireng Jombang dan langsung berguru kepada KH M Hasyim Asyari. Pada 1928 bersama dengan ibu dan kakeknya, pergi ke Makkah. selain menunaikan ibadah haji, juga melanjutkan belajar hingga 1934. Di tahun tersebut Zaini kembali ke Indonesia dan melanjutkan kepemimpinan di pesantren yang telah ditinggalkan ayahnya.


Masa Penjajahan
Di masa pendudukan Jepang, di samping aktif memberikan penyuluhan kepada para petani, Zaini Mun’im juga terlibat sebagai anggota dan pimpinan Barisan Pembela Tanah Air. Pada 1943 saat kekejaman Jepang mencapai titik puncaknya terhadap penduduk yang menyebabkan penderitaan pada masyarakat Madura. Terjadilah pemberontakan yang dipelopori oleh beberapa kiai yang mengakibatkan mereka ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

 

Akibat pemberontakan ini, Zaini terpaksa meninggalkan Madura dan pergi ke Banyuputih, Situbondo. Ia menetap di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo yang diasuh oleh KH Syamsul Arifin. Pesantren tersebut menjadi pilihan, karena telah ditetapkan Belanda sebagai daerah suci (Heillinge Zone), daerah terlarang bagi tentara Belanda untuk memasukinya. Zaini menetap di sana hingga pertengahan tahun 1948, dan setelah itu pindah ke Probolinggo.

 

Hanya tinggal sejenak di Kraksaan Probolinggo, Zaini kemudian pindah ke Desa Karanganyar Paiton. Bersama dua orang santrinya, menetap di desa ini dan merintis Pondok Pesantren Nurul Jadid, namun tak lama ia kembali ditangkap dan dipenjara di LP Probolinggo mulai 9 Desember hingga 18 Maret 1949. Pada tahun 1950, Zaini Mun’im mendapat surat panggilan dari Menteri Agama, KH Wahid hasyim untuk menjadi penasihat dan pimpinan rombongan jamaah haji Indonesia sekaligus untuk menyebarkan agama Islam sampai ke pelosok Tanah Air.

 

Mengajar dan Aktif di NU
Saat menjalankan tugas di tanah suci, datanglah dua orang santri yang bermaksud belajar pada Kiai Zaini, mereka adalah Kiai Muntaha dari Pesantren Bata-bata Pamekasan dan Kiai Sufyan dari Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo. Kedua kiai inilah yang kemudian melanjutkan pembangunan pesantren yang dirintis oleh Zaini Mun’im. Di samping memberikan pengajian kepada santri-santrinya, ia juga melakukan komunikasi dengan masyarakat sekitar, sehingga pesantren tersebut mulai dikenal masyarakat sekitar.

 

Sepulang dari tanah suci, Kiai Zaini bersama masyarakat sekitar pesantrennya mengembangkan Pondok pesantren Nurul Jadid dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA) pada 1950, TK Nurul Mun’im, dan lembaga pendidikan Al-Khairiyah dan Flour Kelas. Nama ini kemudian berubah pada tahun 1961 menjadi Muallimin. Selanjutnya pada 1969, berubah menjadi madrasah tsanawiyah, selang tiga tahun kemudian status MTs ini dinegerikan.

 

Pesantren ini selalu mengalami kemajuan dan perubahan. Pada tahun 1974, berdiri Sekolah Dasar Islam yang dua tahun kemudian berubah nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mun’im. Tahun 1975, didirikan lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid yang berjenjang 6 tahun. Tapi dalam perjalanannya, PGANJ ini hanya bertahan tiga tahun. Kemudian pada 1 September 1968, didirikan pendidikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama.

 

Selain berperan sebagai pengasuh pondok, Kiai Zaini juga menulis beberapa kitab, di antaranya Taysir usul Fi al-Ilal Usul, bidang ushul fiqh, Nadham Safina al Najah bidang fiqih dan sebagainya. Seluruh kitab tersebut hingga sekarang menjadi koleksi perpustakaan pesantren dan referensi wajib santri Nurul Jadid.

 

Sekitar tahun 1951, Zaini Mun’im dikunjungi oleh KH Hasan Sepuh Genggong, KH Abdul Latif dan KH Fathullah (NU Kraksaan). Kedatangan ketiganya untuk mengajak Kiai Zaini agar bersedia membina warga melalui organisasi NU Cabang Kraksaan. Ajakan ketiga kiai ini disambut hangat dengan tangan terbuka. Pada 1953, Rais NU Cabang Kraksaan, KH Abdul Latif meninggal dunia, dan sebagai gantinya Kiai Zaini terpilih sebagai Rais NU Cabang Kraksaan hingga tahun 1975.

 

Selanjutnya pada Muktamar ke-21 NU di Medan, Sumatra Utara, Kiai Zaini terpilih sebagai salah satu anggota Dewan Partai NU dari 79 orang. Sejak menjadi anggota dewan partai NU inilah, keterlibatan di bidang politik nasional mulai menonjol. Selanjutnya, pada 1960, terpilih sebagai Wakil Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur mendampingi Kiai Mahrus Ali yang menjadi raisnya.

 

Makna Dakwah
Dalam berdakwah, Zaini Mun’im menerapkan dua metode dakwah, yaitu dakwah bil-lisani hal dan dakwah bil-lisanil maqal. Dalam dakwah bil-lisani hal  terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Karenanya mengajak masyarakat sekitar untuk bersama membuat jaringan irigasi untuk persawahan serta membuat sumur jika musim kemarau tiba. Ia mengenalkan pada msyarakat berbagai jenis tanaman, antara lain jagung, palawija, tebu dan tembakau yang bibitnya diambil dari Madura.
 

Sedangkan dalam mengaplikasikan dakwah bil-lisanil maqal, Kiai Zaini menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengajak dan memotivasi masyarakat memerangi kemiskinan, kebodohan, kemalasan. Ia mengadakan pengajian majelis taklim, penyuluhan, dan bimbingan dari rumah ke rumah, dan desa ke desa. Selain itu, Kiai Zaini juga mengadakan pelatihan bagi para dai dan membekalinya dengan pengetahuan dan wawasan keagamaan dan kemasyarakatan secara periodik.
 

Tiga hari sebelum wafatnya, Kiai Zaini masih sempat berdakwah di Desa Bula Jaran, Kecamatan Gending, Probolinggo. Di saat menyampaikan pidato, tiba-tiba bada Zaini Mun’im merasa tidak enak. Sehingga ia harus meninggalkan tempat pengajian sebelum acara selesai. Sesampainya di rumah, kesehatan Kiai Zaini semakin menurun dan dinyatakan terserang penyakit darah tinggi dan kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Islam Surabaya. Kiai Zaini meninggal pada 26 Juli 1976 pukul 04.00 WIB.


Editor:

Tokoh Terbaru