Oleh: Saifullah*
KH. Badri Mashduqi (1942-2002), pendiri Pondok Pesantren Badridduja Kraksaan Probolinggo sempat menjadi narasumber dalam acara Seminar Sehari tentang Ekstasi, Bahaya dan Pencegahannya, yang diselenggarakan FISIP Universitas Panca Marga Probolinggo, pada hari Sabtu, 26 Oktober 1996. Beberapa pandangannya tentang ekstasi, penulis tulis kembali berdasarkan makalahnya yang saat ini menjadi arsip di lembaga Syaikh Badri Institute (SBI).
Ekstasi dikenal sebagai obat pesta, ekstasi hadir dalam bentuk pil atau bubuk; pil memiliki berbagai logo dan warna. Sedang Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikkan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang.
Sebagai ulama yang konsen dalam penegakan amar ma'ruf nahi munkar, KH. Badri Mashduqi menyatakan bahwa nabi Muhammad SAW. pernah menegaskan bahwa khamr atau tuak merupakan induk dari segala kejahatan. Dalam konteks ini Kiai Badri memberikan pandangan bahwa jalur bisnis barang terlarang semacam ekstasi utamanya di luar negeri itu bukan mustahil ada tujuan tertentu yang akan merusak moral generasi Indonesia.
"Nabi Muhammad SAW. pernah menegaskan bahwa khamr (tuak) merupakan induk dari segala kejahatan. Artinya, segala kejahatan bisa muncul lantaran khamr dan semacamnya. Mengamati jalur-jalur bisnis ekstasi, utamanya di luar negeri, bukan mustahil memang ada tujuan tertentu yang arahnya adalah merusak moral dari generasi muda. Sebab bila moral mereka sudah bobrok, suatu bangsa akan dengan mudah dikuasai dan ditaklukkan."
Menurut KH.Badri Mashduqi bahwa Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 dari penjajahan seperti Belanda dan Jepang, bukan berarti tidak tertutup kemungkinan penjajahan itu berhenti, sebab penjajahan budaya dan ekonomi masih tetap merongrongnya, termasuk dalam hal ini melalui barang-barang terlarang seperti ekstasi, miras dan narkotika serta sejenisnya. Berikut KH. Badri Mashduqi menyatakan:
"Kolonialisme memang sudah tidak ada, namun penjajahan budaya dan ekonomi terus dilakukan terutama oleh gerakan yang menamakan diri Freemasonary, suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang Yahudi yang telah banyak menguasai jaringan dalam pelbagai bidang kehidupan."
Menyadari hal tersebut, KH. Badri Mashduqi menyarankan, "Perlulah kita secara bersama-sama meningkatkan kewaspadaan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari peredaran benda-benda yang destruktif, apakah berupa ekstasi, miras, narkotika dan semacamnya. Pencegahan secara dini merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar kita tidak terlalu direpotkan di kemudian hari. Tindakan preventif jauh lebih baik dari pemecahan kuratif, atau kata pepatah Arab _al-wiqayatu min al-'ilaj._"
Sosok yang juga dikenal memiliki pengetahuan dan wawasan luas, KH. Badri Mashduqi, menyatakan bahwa penggunaan ekstasi ini ditinjau dari sisi medis merusak unsur-unsur fisik manusia: "Penggunaan ekstasi ditinjau dari sisi medis jelas dapat merusak unsur-unsur fisik manusia. Dari sudut psikologis ekstasi bisa menimbulkan gangguan mental yang sangat merugikan kehidupan manusia. Oleh karena itu, dengan menggunakan sudut pandang fungsi penetapan hukum dalam Islam, ekstasi dapat dilihat sebagai ancaman bagi terpeliharanya jiwa dan akal manusia."
Dengan demikian Kiai Badri menyimpulkan, "Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum mengkonsumsi ekstasi adalah haram, dan sekaligus haram pula melakukan transaksi jual-beli dan mengedarkannya."
Kiai yang dikenal kritis dalam menyikapi persoalan menyangkut umat, Kiai Badri, menegaskan bahwa masalah berperang melawan kejahatan memang tidak sederhana. Berikut pernyataannya berkaitan dengan kejahatan dampak ekstasi:
"Alangkah tepatnya bila pihak Pemda mengambil kebijakan menolak kehadiran diskotek di daerahnya, karena sarana hiburan semacam ini akan menjadi ajang transaksi benda-benda terlarang atau bisa menjadi sarana lahirnya kejahatan. Memerangi sesuatu kalau ingin tuntas harus dengan memerangi segala sarana dan prasarananya. Jika yang menjadi alasan adalah meningkatkan penghasilan asli daerah (PAD), terus terang saya percaya masih tersedia dengan luas sumber-sumber lainnya."
"Tapi masalah berperang melawan kejahatan tidaklah sederhana. Sebabnya, selain mendatangkan kerugian dan kerusakan, di pihak lain kejahatan bisa memberikan keuntungan. Karena penghasilan dari bisnis ekstasi amat sangat menggiurkan: bisa menyulapnya cepat menjadi orang kaya baru (OKB). Maka tidak perlu terlalu heran bila kita melihat oknum aparat yang seharusnya mengamankan masyarakat, tetapi justeru 'mengamankan' bisnis yang mengusik ketentraman masyarakat. Pagar makan tanaman. Penyair Arab menandaskan, tugas gembala adalah mengusir serigala agar tidak sampai menerkam kambing. Namun, apa jadinya bila si gembala menggantikan serigala?"
Apalagi, menurut Kiai Badri, yang lebih merisaukan lagi bila berhadapan dengan orang kuat atau keluarga orang kuat, aparatur sering kali tak berdaya menuntaskannya. Karena itu, dalam hal ini Kiai Badri menyarankan:
"Maka tidak berlebihan bila saya ingin menekankan perlunya semua pihak secara konsekuen dan konsisten menghormati dan menegakkan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Nabi kita yang suci sampai bersumpah, 'Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya.' Sikap tegas beliau yang tanpa pandang bulu membuat diri beliau makin berwibawa di mata para sahabatnya, sehingga hukum-hukum yang ditetapkannya bisa berjalan dengan normal. Amat pantas sekali bila kita selaku umatnya mengikuti jejak dan suri tauladannya."
*Ketua Syaikh Badri Institute (SBI)