• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 28 Juni 2024

Tokoh

Ulama dan Kaderisasinya dalam Pandangan Gus Ishom Hadziq

Ulama dan Kaderisasinya dalam Pandangan Gus Ishom Hadziq
Gus Ishom Hadziq (Foto:NOJ/nuonline)
Gus Ishom Hadziq (Foto:NOJ/nuonline)

Harus diakui, membincangkan Tebuireng takkan pernah surut daya tariknya bagi para pecinta sejarah NU dan tokoh-tokohnya. Sebab salah satu pendiri NU, yakni KH. Hasyim Asyari, yang dianugerahi putera bernama KH. Abd Wahid Hasyim dan memiliki cucu bernama Abdurrahman Wahid itu semua berasal dari Tebuireng. Selain itu, ada pula satu cucu beliau yang dikenal kecerdasannya di bidang turots dan keilmuan agama, Gus Ishom Hadziq.


Pada tahun 90 an, nama Gus Ishom dikenal sebagai intelektual muda NU, sekaligus kebanggaan pesantren salaf yang diharapkan menjadi sosok ulama muda yang siap menjawab tantangan zaman. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang berjuang mengumpulkan kembali tulisan karya KH. Hasyim Asy’ari dan diterbitakn dengan judul kumpulan kitab karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asyari.


Beberapa gagasan yang beliau tulis dan sampaikan umumnya berkaitan tentang permasalahan  agama, NU, pesantren dan ulama. Karya tulis berbahasa Arab milik Gus Ishom dapat dijumpai dalam kitabnya berjudul Awdhahul Bayan fima yata’allaqu bi wadzoif Ramadhan, Irsyadul Mukminin ila Sirati Sayyidil Mursalin, Miftahul Falah fi Ahadits al-Nikah. Karya-karya ini dihimpun menjadi satu dalam kitab kumpulan KH. Hasyim Asyari.


Terdapat satu makalah yang ditulis oleh Gus Ishom bertemakan tentang “Ulama dan Kaderisasi, antara Harapan dan Tantangan”. Makalah ini dipresentasikan di Madrasah Ponpes Al-Falah Ploso Kediri pada tanggal 10 November 1995. Acara ini diselenggarakan oleh Panitia Seminar Pesantren dan Problem Kaderisasi Ulama “ORINDA” Ponpes Al-Falah Kediri. 


Latarbelakang penulisan ini berdasarkan keresahan Gus Ishom tentang kelangkaan ulama yang dicirikan khosyah (takut kepada Allah) dan pentingnya kaderisasi diuraikan dengan lugas. Bahkan ada audience yang bertanya tentang fenomena Kiai Nyeleneh, bagaimana umat menyikapinya?. Gus Ishom menjawab, ikutilah ulama yang tingkah lakunya sesuai dengan koridor agama, baik secara profetik maupun rasional. Berikut ini makalahnya:


ULAMA DAN KADERISASI, ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN


Oleh M. Ishom Hadzik


Kata orang, Ulama kini menjadi manusia langka. Terlebih Ulama yang "Warotsatul Anbiya", yang memiliki kriteria khosyyah dan ilmu, sesuai dengan "dalalah al kamal" dalam lafadznya.


Memang kalau diamati cukup banyak orang menyandang gelar Ulama, namun gelar itu kosong karena tak memenuhi syarat keulamaan. Ulama model begini, dapat ditemukan diketiak hampir setiap lapisan sosial. Mengapa bisa begitu? Arief Budiman menyebut, karena ulama sekarang tidak hanya muncul karena pengakuan dan kebutuhan umat, melainkan juga bisa dimunculkan oleh media massa, lembaga sosial politik dan sebagainya yang punya kepentingan untuk melegitimasi atau dilegitimasi ulama.


Gejala seperti ini jauh-jauh hari sudah disinggung Al-Ghozali dan sejumlah tokoh "shufi" dengan istilah "Ulama Su'". Konotasinya tak lain adalah ulama yang integritas dan moralitasnya sudah sulit dipertanggung jawabkan secara agama, karena sudah terlibat dalam kolusi dengan kekuasaan dan kehidupan duniawi yang sarat "intrik" dan "glamour". Akibatnya misi yang diemban ulama jadi terbengkelai, karena umat sulit menemukan ulama "panutan", yang ada cuma ulama "manutan".


Padahal, dalam sejarahnya Ulama selalu mengemban misi kepemimpinan. Dan bukan sembarang kepemimpinan, melainkan yang berciri profetik dan rasional. Profetik artinya, melanjutkan tugas kenabian dalam rangka memelihara agama, menata kehidupan umat dan merahmati seluruh masyarakat. Dan rasional berarti harus punya pijakan yang realistis dalam melaksanakan misinya. 


Konsep ini memang bersifat ideal. Jika diambil contoh dalam konteks Indonesia banyak memiliki Organisasi keulamaan salah satunya Nahdlotul 'Ulama (NU), nampak bahwa NU pernah berhasil melaksanakan misi ini. Sepanjarg sejarah NU yang menurut para pengamat mencatat masa keemasan antara tahun tigapuluh hingga tahun empatpuluhan KH Hasyim Asy'ari sebagai tokoh Ulama yang luas wawasan agama dan politiknya sehingga menyandang gelar bergengsi Rois Akbar NU sekaligus Ketua Umum Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), adalah sosok yang mewakili konsep tersebut.


Sayangnya meski beliau telah meletakkan kerangka dasar kepemimpinan ulama yang mengacu pada teladan kenabian, yang antara lain tertuang dalam sejumlah khutbah dan risalah yang beliau tulis bunga rampainya berjudul Minal muktamar ilal muktamar diedit oleh bekas ajudan beliau KH Umar Burhan tetapi belum sempat diterbitkan, toh tak terelakkan bahwa kepemimpinan Ulama pasca beliau mengalami degradasi dari konsep ideal yang sudah digariskan.


Barangkali itu bisa dimaklumi karena situasi dan kondisi yang terus mengalami perubahan, menyusul krisis Ulama belakangan ini. Dalam kaitannya dengan kaderisasi ulama yang semakin langka kini, ciri profetik tadi tetap harus dipertahankan karena sudah menjadi watak dasar ulama, khususnya di lingkungan NU. Sementara ciri rasional harus dikembangkan pula agar muatan ideal yang ada dalam konsep kepemimpinan ulama dapat dibumikan sesuai dengan realitas yang dihadapi serta dapat diaktualisasikan mengikuti perkembangan yang kian kompleks. Dengan cara itulah diharapkan tongkat estafet kepemimpinan ulama akan bisa di lestarikan melalui kader-kadernya.


Di samping harapan yang sudah dikemukakan diatas, tak urung harus dipikirkan pula tantangan yang harus dihadapi Ulama, khususnya yang berkecimpung dalam dunia pesantren, sesungguhnya memiliki potensi untuk menjalin jaringan intelektual yang tinggi. Sayangnya, potensi ini belum termanfaatkan secara optimal. Azyumardi Azra menyebut, kesuksesan Ulama dulu dalam mengembangkan perannya adalah berkat adanya jaringan intelektual tersebut.


Tidak mengherankan jika Ulama dulu begitu produktif melahirkan karya-karya besar yang kontekstual untuk zamannya. Sementara sekarang sulit ditemukan Ulama yang produktif seperti itu. 


Untuk itu, diperlukan keberanian untuk membuka wawasan baru, melahirkan karya baru yang relevan dengan kebutuhan kekinian. Bukan sekedar melanggengkan wawasan dan karya lama yang pada akhirnya hanya mengakibatkan kemandegan demi kemandegan. NU sedang merintis hal ini dengan melaksanakan Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) yang ditangani oleh Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM).


Sebab tak bisa dipungkiri Ulama adalah sumber daya manusia yang dibutuhkan sepanjang zaman. Dan itulah sebabnya, mereka harus selalu mengasah wawasannya agar dapat mengejar ketinggalan, sehingga prinsip "Al Islaam Sholihun li kulli zamaanin wa makaanin" benar benar bisa diterapkan. Demikian, semoga bermanfaat.


TEBUIRENG, 10 NOVEMBER 1995
Disampaikan dalam Seminar Keulamaan ORINDA PP Al Falah Ploso Kediri
Panitia Seminar FESANTREN DAN PROBLEM KADERISASI ULAMA "ORINDA" PON. PES, AL-FALAH KEDIRI.
 


Editor:

Tokoh Terbaru