• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Pustaka

Menilik Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama

Menilik Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama
Sampul buku Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama 1344 H/1926 M. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Sampul buku Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama 1344 H/1926 M. (Foto: NOJ/ Firdausi)

"Saya meyakini bahwa Rasulullah hanya dibebani tugas oleh Allah menjalankan tabligh saja, dan tidak ada tugas lain. Tetapi Rasulullah juga memiliki visi untuk membangun peradaban karena wahyu yang diamanatkan untuk disampaikan kepada umat itu sendiri penuh dengan firman-firman yang memberi petunjuk mengenai sendi-sendi peradaban. Demikian juga NU yang dilahirkan oleh ulama, adalah amanat peradaban.” Begitulah dawuh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang tertera di sisi belakang buku.

 

Buku mungil yang diterbitkan LTN PBNU menceritakan secara gamblang tentang proses lahirnya Nahdlatul Ulama. Dimulai dari pra-kondisi lahirnya NU (1914); tonggak sejarah lahirnya NU (1926); pasca lahirnya NU (1945); hingga mengenal mazhab NU.

 

Menariknya, buku saku ini memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa awal mula NU lahir diawali seorang anak muda yang tubuhnya kecil, kulit hitam, dan dahinya agak luas. Santri tersebut berasal dari Tambakberas, Jombang yang baru pulang dari Makkah (1914). Ia adalah KH Abdul Wahab Chasbullah.

 

Mbah Wahab yang bertempat di Surabaya membentuk Taswirul Afkar. Organisasi yang mendapat pengakuan badan hukum resmi dari Belanda membuka cakrawala, memperluas ilmu, kemudian mengkristal menjadi kursus perdebatan untuk anak muda dan kiai-kiai muda. Gerakan ini dilatarbelakangi semangat membangun umat Islam dan kondisi Syarikat Islam (SI) yang mulai dicurigai Belanda akibat kasus Afdeling B atau dituduh melakukan pemberontakan dan ingin mendirikan pemerintah Islam yang siap melawan kafir harbi.

 

Mbah Wahab bersama Mas Mansur juga membentuk Nahdlatul Wathan. Asas tujuannya, memperluas dan memperdalam mutu madrasah yang ada, juga membuka kursus kepemudaan, organisasi, dakwah dan perjuangan. Di sisi lain, semakin tersingkirnya perekonomian lokal oleh penetrasi Belanda dan China, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab dan pedagang-pedagang kecil di tiga Kota (Surabaya, Jombang, dan Kediri), mendirikan Nahdlatut Tujjar sebagai gerakan ekonomi mandiri. Nama usaha ini dikenal Syirkah al-Inan.

 

Diceritakan pula, Surabaya menjadi tempat yang dinamis, bukan hanya bagi kalangan pedagang, tetapi kaum pergerakan (1920-an). Lebih dari itu, menjadi tempat perdebatan dan pertikaian antara mereka yang terpengaruh ide-ide salafiyah radikal yang diperkenalkan Wahabi yang menyebut dirinya sebagai kaum muda, pembaharu serta menginginkan kembali ke Al-Quran dan hadits.

 

Prototype Wahabi tulen mulai bermetamorfosis menjadi Sumatra Thalib, ada juga menjadi nasionalis, komunis dan lain-lain. Situasi berbeda di kerajaan, mereka memberantas praktik-praktik yang dianggap bid'ah dan membunuh kurang dari setengah juta umat Islam yang tidak tunduk. Pada tahun 1926, Abdul Aziz bin Su’ud menaklukkan Hijaz, kemudian mengundang dunia Islam untuk bertemu di Arab Saudi.

 

Mendengar hal itu, kalangan pesantren mengadakan pertemuan dan berujung berdirinya Komite Hijaz dalam sebuah rapat 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 sekaligus membentuk organisasi NU yang disahkan oleh GR Erdbrink atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda serta AD/ART diakui sebagai Perkumpulan NU.

 

Kedatangannya Mbah Wahab dan Syaikh Ahmad Ghonaim al-Misri ke Arab Saudi, meminta agar raja menghormati praktik-praktik mazhab yang sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Di tahun berikutnya pun terjadi perdebatan dari kalangan pembaharu. Sampai hari ini sisa-sisa perdebatan masih ada dalam berbagai bentuk, misalnya bertahannya konsepsi Tahayul, Bid'ah dan Khurafat (TBC).

 

Ternyata buku mungil ini menggambarkan AD/ART Perkumpulan NU terdiri dari 13 Pasal dan mencantumkan struktur kepengurusan PBNU di era pertama. Bahkan penulis menegaskan bahwa banyak kiai-kiai pendahulu yang tidak tercatat dalam struktur kepengurusan, khususnya di Jawa Timur yang terlibat mendirikan NU dan ikut serta mempersiapkan Komite Hijaz, seperti KH Noer Hasan, KH Faqih Maskumambang Gresik, KH Muhammad Hasan Genggong, KHR Syamsul Arifin, KHR As’ad Syamsul Arifin, KH Maksum Ahmad dan kiai lainnya.

 

Dipaparkan pula, Kongres ke-1 sampai ke-15 (1926-1940) yang pernah dihelat setahun sekali di awal berdirinya NU, berada di masa jajahan VOC. Kongres diadakan di berbagai daerah untuk menghimpun para ulama dan dukungan umat Islam untuk bergabung ke NU. Cabang pertama kali didirikan di luar Jawa adalah di Kalimantan, kemudian 6 cabang di Jawa Barat; 21 di Jawa Tengah; 18 di Jawa Timur.

 

Masa Penjajahan Jepang

Pada Maret 1942 pasukan Jepang datang ke Jawa tatkala perkumpulan-perkumpulan berbasis Islam masih berada di Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan kelompok-kelompok kebangsaan masih menjadi anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan kemudian Majlis Rakyat Indonesia (MRI).

 

Sebagai permintaan maaf, para pemuka-pemuka Islam didatangkan ke Jakarta guna membicarakan perhimpunan Islam Jepang. Hasilnya, digelarlah kursus latihan ulama yang melibatkan Shumubu. Di luar itu, Jepang membentuk Tyuo Sangin yang melibatkan 23 tokoh penting Indonesia, di antaranya Bung Karno, KH Abdul Wahid Hasyim, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya. Pembentukan itu belum cukup sehingga membentuk Pembela Tanah Air (PETA), sejenis sukarelawan di bawah pemerintah Jepang.

 

Pada masa itu, MIAI dibubarkan dan diganti Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai politik. Berdasarkan data di buku kecil ini, Mbah Hasyim duduk sebagai ketua besar Masyumi. Namun setelah kabinet Sukiman-Suwirjo (3 Juli 1952), NU memisahkan diri dari federasi Masyumi, kemudian menjadi partai sendiri.

Diceritakan pula, puluhan ribu anggota NU masuk PETA dan mendirikan Hizbullah. Ada yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Partai Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan pembuatan milisi-milisi rakyat untuk mengusir penjajah.

 

Piagam Jakarta dan Peristiwa 10 November

Piagam Jakarta (22/06/1945) merupakan hasil dari Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPKI, salah satu tokoh NU yang terlibat adalah Kiai Wahid Hasyim. Tokoh lainnya adalah Soekarno, Hatta, Maramis, Abiskusno, Abdul Kahar Muzakir, HA Salim, Sebardjo, dan M Yamin. Di dalam Piagam tersebut terdapat 5 butir yang kelak menjadi Pancasila.

 

Buku yang diterbitkan di awal abad ke-2 NU ini menggambarkan, pada hari Jumat Legi 17 Agustus 1945, proklamasi dibacakan Bung Karno atas nama rakyat Indonesia. Dua tokoh penting yang mewakili NU sejak dibentuknya PPKI adalah Kiai Wahid Hasyim dan KH Masjkur. Ditetapkannya Bung Karno sebagai Presiden, Kiai Wahid Hasyim terpilih dalam kabinet menteri negara.

 

Setelah Indonesia merdeka dan melucuti senjata Jepang, tentara Inggris mendarat di Jakarta (15/09/1945) dan mendarat di Surabaya (25/10/1945). Mereka ingin mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda. Mendengar hal itu, arek-arek Suroboyo mengibarkan bendera merah putih yang meluas sampai ke pelosok kota.

 

Yang paling dikenang oleh rakyat, insiden perobekan bendera Belanda di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel di Jl. Tunjungan No. 65 Surabaya. Kusno Wibowo yang berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali, tinggal merah putih. Dari sini meletus pertempuran antara Indonesia melawan Inggris (27/10/1945).

 

Untuk mempertahankan kemerdekaan, PBNU mengadakan rapat (21-22/10/1945) yang menghasilkan kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk berjihad. Keputusan ini dikenal Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Rais Akbar PBNU.

 

Untuk memotivasi bangsa, di radio ada seorang pria yang mengobarkan semangat rakyat. Suara itu mirip Bung karno, ternyata orang itu Soetomo (Bung Tomo). Pertempuran 10 November menjadi pertempuran berskala besar. Tentara sekutu mengerahkan divisi ke-5 yang berkekuatan 10.000-15.000. Sedangkan rakyat Indonesia dan kalangan pesantren, maju dengan senjata seadanya, baik yang disita dari Jepang, bambu runcing, dan sejenisnya yang disertai bacaan doa hizib nashr, saif, bahr, dan wirid lainnya.

 

Identitas Buku:

Judul: Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama 1344 H/1926 M
Penulis: Nur Khalik Ridwan, Ali Usman
Penerbit: Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU)
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2023
Tebal Buku: 197 halaman
Peresensi: Firdausi, Ketua LTNNU Sumenep


Pustaka Terbaru