• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Pustaka

Biografi KH M Hasyim Asy'ari dan Meletusnya Resolusi Jihad

Biografi KH M Hasyim Asy'ari dan Meletusnya Resolusi Jihad
Sampul buku Biografi Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari 1871-1947. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Sampul buku Biografi Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari 1871-1947. (Foto: NOJ/ Firdausi)

“Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari mengharap kelahiran NU bukan sekadar memperbanyak jumlah organisasi yang ada di masyarakat. Di samping untuk menjaga dan meluruskan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah, kita diharapkan menjadi tongkat sakti Nabi Musa As, yaitu mengomando, memimpin. Ini amanat untuk kita semua, sebagaimana telah dijalankan para ulama pendahulu.” Begitulah dawuh Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar yang tertera di sampul belakang buku mungil ini.

 

Mbah Hasyim yang kelahiran Jombang, Jawa Timur ini lahir dari keluarga kiai Jawa pada 24 Dzulqa’dah 1287 H./ 14 Februari 1871 M. Ayahnya Kiai Asy’ari pendiri Pesantren Keras di Jombang. Kakeknya Kiai Usman pendiri Pesantren Gedang. Kiai Sihah moyangnya pendiri Pesantren Tambakberas, Jombang. Wajar ia menyerap ilmu agama, karena dibesarkan di lingkungan pesantren. Karakternya yang sederhana dan rajin belajar dipengaruhi asuhan orang tua dan kakeknya. Di usia 16 tahun, ia menyaksikan ayahnya mendirikan Pesantren Keras. Suatu pengalaman yang kemungkinan besar mempengaruhi Mbah Hasyim mendirikan pesantren sendiri.

 

Agar pembaca tambah yakin, buku ini menggambarkan tanda kecerdasan muassis NU yang bermula dari lamanya berada di dalam kandungan ibu. Warga mempercayai ada makna penting ketika ibunya mengandung. Dia bermimpi melihat bintang jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Terbukti, di usia 13 tahun, ia menjadi guru pengganti di pesantren dengan mengajar murid-murid yang usianya lebih tua.

 

Penulis menceritakan pengembaraannya ke berbagai pesantren, yaitu Langitan (Tuban), Trenggilis, Kademangan Bangkalan, Siwalan Panji Sidoarjo. Ia belajar tata bahasa dan sastra Arab di Bangkalan selama 3 tahun, sebelumnya memfokuskan dalam bidang fiqih selama 2 tahun kepada Kiai Ya’qub di Siwalan Panji. Selama 5 tahun di Pesantren Siwalan Panji, sang guru meminta menikahi putrinya.

 

Di usia 21 tahun (1891), bersama istrinya menunaikan ibadah haji dan tinggal selama 7 bulan, kemudian kembali ke Tanah Air. Tahun 1893 kembali lagi ke Hijaz dan menetap 7 tahun bersama saudara iparnya Kiai Alwi, yang kemudian menjadi pembantu terdekat dan teman seperjuangan dalam mendirikan Tebuireng yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Lewat pesantren inilah menelurkan banyak kiai yang menjadi penggerak aktif NU.

 

Buku ini menerangkan sanad keilmuannya saat menuntut ilmu di Makkah, bahkan dikatakan Mbah Hasyim pernah bertapa di Gua Hira. Ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Tremas, ulama Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Makkah. Ia mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari dari gurunya sebagai pewaris terakhir pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi penerima karya ini.

 

Selain itu belajar Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, ilmu yang diterima Syaikh Mahfudz dan Syaikh Nawawi. Sebelumnya, syaikh terakhir ini menerima dari Syaikh Ahmad Khatib dari Sambas seorang sufi yang menggabungkan ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Kendati mengikuti tarekat, ia melarang santrinya menjalankan praktik sufi di pesantren agar mereka tidak terganggu dalam belajar.

 

Diulas pula dalam buku saku ini, Mbah Hasyim belajar fiqih mazhab Syafi’i di bawah bimbingan Ahmad Khatib yang ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (al-jabr). Guru lainnya Syaikh Nawawi dari Banten dan guru non Jawi seperti Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani. Semangat ini mungkin terdorong intelektual muslim internasional, tak heran santrinya menjadi ulama yang disegani.

 

Di Makkah ia memiliki murid dari berbagai negara, yaitu Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti dari Bombay India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadits Makkah), Al-Syihab Ahmad ibnu Abdullah (Syria). Dari tanah air, ada KH Abdul Wahab Chasbullah, KHR Asnawi, KH Dahlan, KH Bisri Syansuri, hingga KH Shaleh.

 

Banyak orang tidak tahu penggunaan atribut Hadratussyeikh. Gelar kehormatan tersebut tidak hanya diakui oleh ulama Indonesia, tetapi ulama dunia. Gelar itu didapatkan sejak tinggal dan mengajar di Makkah. Untuk mendapatkan gelar tersebut, harus hafal kutubus sittah, cakupan hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, baik matan maupun sanadnya. Inilah yang membedakan antara gelar Al-Faqih, Asy-Syaikh, Al-Alim dan Al-Allamah, sehingga dikagumi di awal abad 20.

 

Mbah Hasyim juga dipercaya memiliki kekuatan spiritual karomah (suatu keajaiban yang dimiliki oleh seorang wali). Semenjak mendirikan pesantren Tebuireng, beberapa orang percaya tongkatnya bisa menyerang lawan dengan sendirinya. Ini menunjukkan bahwa ia sangat dihormati. Buktinya Kiai Khalil Bangkalan menunjukkan rasa hormat kepada muridnya tersebut.

 

Selain alim, karyanya kurang lebih 20 judul dengan tema utama dalam bidang dirasah islamiyah; akidah, syariah, akhlak, fikih yang sampai sekarang menjadi rujukan di pesantren Indonesia. Berikut sebagian karya yang lumrah dikenal warga: Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, At-Tibyan fin Nahyi an-Muqothoatil Arham wal Aqorib wal Ikhwan, An-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin, Ziyadatut Ta’liqot, At-Tanbihat Wajibat li man Yasna’ Al-Maulid bil Munkaroti, Dhou’ul Misbah fi Bayani Ahkamin Nikah, Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlatul Ulama, Al-Mawa’iz, Hadits al-Mawt wa ‘Ashrah al-Sa’ah, Hasyiyah Fath alRahman, Al-Durar al-Muntathirah al-Tis’ ‘Asyarah, Al-Risalah al-Tauhidiyyah, Al-Qala’id fi Bayani ma Yajib min al-‘Aqa’id.

 

Selain cakap menulis kitab berbahasa Arab, di usia 70 tahun ia menulis menggunakan bahasa Indonesia untuk segmen masyarakat umum, di antaranya esai berjudul “Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani.” Esai ini berisi sekitar 500 kata dimuat di majalah Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharram 1363/ Desember 1943.

 

Tulisan ini tidak jauh dari profesinya sebagai petani dan guru agama yang mendukung ekonomi agraria. Sejak dulu NU peduli pada nasib petani seperti termaktub dalam AD NU 1926. Bahkan beliau menyatakan bahwa petani benteng terakhir bagi pertanahan negeri. Isi bahtsul masail PBNU (1926-1945) banyak tema yang berkaitan dengan pertanian, tanah, tambak, zakat petani, hingga sedekah bumi.

 

Buku kecil ini memberikan penegasan pada khalayak bahwa mengikuti salah satu mazhab dari 4 mazhab Sunni adalah penting. Perbedaan pendapat diperkenankan selama masih dalam bingkai syariah dan tidak keluar dari ajaran Islam. Perbedaan pendapat yang terjadi antara sahabat mengenai cabang hukum (furu’), mereka tidak cekcok satu dengan yang lain dan tidak menyerang atau menganggap yang lain salah.

 

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945

Buku ini layak dibaca untuk mengetahui perjuangan Mbah Hasyim. Ide politiknya sejalan dengan doktrin politik Sunni yang dirumuskan ketika politik Islam mengalami kemunduran. Sikapnya mengajak kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dalam aksi bersama. Termasuk mendamaikan perselisihan antara kaum modernis dan tradisionalis.

 

Tidak seperti HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim (SI), Ir Soekarno (PNI) yang fokus pada isu-isu politik dan bergerak secara terbuka. Aktivitas politiknya terbuka pada Belanda sebelum tiba saatnya yang tepat dan tidak bersikap konfrontatif. Sejak pribumi kalah pada Belanda, perjuangan senjata berubah menjadi pendidikan dan kebudayaan.

 

Di massa Jepang, NU lebih lunak dibandingkan dengan Belanda. NU menjalin kerja sama dengan menerima tawaran menduduki jabatan Kementerian Agama dan dalam milisia seperti Hizbullah dan Sabilillah. Jepang menarik dukungan dari kekuatan anti Belanda dengan jalan mendekati umat Islam. Kesempatan ini dipergunakan untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia di masa depan. Pengalaman itu memberi andil perkembangan para pemimpin NU di dalam arena politik setelah kemerdekaan.

 

Berpijak fatwa jihad (17/09/1945) Mbah Hasyim, para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat (21-22/10/1945) di Kantor PBNU di Bubutan, Surabaya. Dalam tempo singkat, fatwa ini disebar melalui masjid, mushala, dan ketuk tular dari mulut ke mulut. Disiarkan pula melalui surat kabar yang dimuat di Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I (26/10/1945), Berita Indonesia (27/10/1945). Melalui corong radio, Bung Tomo menggelorakan semangat rakyat. Pekik takbir yang mengiringi pidatonya (atas saran Mbah Hasyim), menjadi magnet bagi rakyat meskipun dengan senjata seadanya.

 

2 hari setelah resolusi jihad diputuskan, Brigade 49 di bawah komando Brigjend Aulbertin Walter Sothern Mallaby tiba di Pelabuhan Tanjung Perak dengan jumlah personil sekitar 5.000 orang. (27/10/1945) Inggris menyebarkan pamflet melalui kapal udara yang isinya memerintahkan kepada semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang.

 

Kisah heroik santri di buku ini menyatakan, pemenang Perang Dunia II di Eropa nyatanya kewalahan menghadapi tekad rakyat Surabaya sehingga mengemis meminta bantuan ke induk pasukan di Jakarta. Bahkan Mallaby sendiri tewas di dalam mobil setelah dijatuhi granat.

 

Mbah Hasyim wafat 7 Ramadhan 1366/25 Juli 1947 karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah Jenderal Spoor kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari Malang.

 

Identitas Buku:

Judul: Ikhtisar Biografi Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari 1871-1947
Penulis: Lathiful Khuluq, Rizal Mumazziq Z, Hamzah Sahal, Ali Usman
Penerbit: Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU)
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2023
Tebal Buku: 196 halaman
Peresensi: Firdausi, Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Sumenep


Pustaka Terbaru