• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Opini

Menelusuri Riwayat PWNU Jawa Timur

Menelusuri Riwayat PWNU Jawa Timur
Kursus kader PWNU Jatim di Denanyar, Jombang mulai 8-13 Agustus 1956. (Foto: NOJ/Komunitas Pegon)
Kursus kader PWNU Jatim di Denanyar, Jombang mulai 8-13 Agustus 1956. (Foto: NOJ/Komunitas Pegon)

Nahdlatul Ulama memang terlahir di Surabaya, Jawa Timur. Namun, tidak serta merta kepengurusan wilayah NU di Jatim ini terbentuk. Ada proses panjang yang mengawalinya.


Memasuki tahun ketiga NU berdiri, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari tergerak untuk mendirikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di berbagai daerah. Seiring waktu, upaya tersebut menuai hasil yang memuaskan. Pada 1934, hampir 60 persen--menurut KH Wahid Hasyim--daerah di Nusantara PCNU-nya mulai berdiri. Untuk mempermudah dalam mengurus itulah, Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) membentuk konsul. Tugasnya adalah mengkoordinasi beberapa cabang di sekitarnya.


Dari kepengurusan konsul inilah yang menjadi cikal bakal dari kepengurusan PWNU di daerah setingkat provinsi. Di Jatim sendiri, sebelum berdiri PWNU, terdapat tiga konsulat. Pertama adalah Konsul Madura yang dipimpin oleh KH Abdul Munif dari Bangkalan. Daerahnya tentu saja meliputi seluruh Madura. Ada pula konsul Malang yang diketuai oleh KH Iskandar Sulaiman dengan PCNU di seputar Mataraman.


Sedangkan wilayah timur Jatim dikoordinir oleh Konsul Pasuruan. Konsul ini bahkan meliputi Bali hingga Nusa Tenggara. Ketua konsulnya saat itu adalah KH Abdurrahman. Namun, pada 1937, Kiai Abdurrahman terpilih sebagai Hoofd Voor Islamitische Zaken di Batavia. Jabatan tersebut mengharuskan kiai asal Legi, Pasuruan itu, mengundurkan diri dari NU (mundur secara resmi pada 6 Februari 1936). Selanjutnya Konsul NU Pasuruan dipegang oleh KH Muhammad Dahlan.


Seiring waktu, tiga konsul tersebut bermufakat untuk menjadi satu struktur. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan Muktamar XX NU pada 1954. Dalam Anggaran Dasar NU hasil Muktamar NU pada1954 tersebut terdapat Pasal 5 yang menyebutkan bahwa pengurus NU terdiri dari: (a) Pengurus Besar; (b) Madjelis Konsul Wilajah; (c) Tjabang; (d) Madjelis Wakil Tjabang dan; (e) Ranting.


Dari aturan tersebut, ketiga konsul di atas melebur dalam satu kepengurusan dalam naungan Majelis Konsul Wilayah NU Jawa Timur. Pada saat itu, KH Mahfudz Sjamsulhadi yang berasal dari Banyuwangi terpilih sebagai ketua majelis. Sedangkan Kiai Umar Burhan dari Surabaya ditunjuk sebagai sekretarisnya. Selain itu, juga dilengkapi dengan bendahara, pembantu urusan dakwah, ma’arif, mabarot, muslimat, pertanian, perekonomian dan pembantu-pembantu yang tidak ditentukan bagiannya (ART NU 1954, Pasal 21 ayat 5).


Bagi Majelis Konsul Wilayah juga diperkenankan untuk membentuk Komisaris Daerah yang berkedudukan di setiap keresidenan. Bagi Majelis Konsul yang memiliki wilayah yang luas, dapat mengangkat lebih dari satu Komisaris Daerah. Posisi ini sendiri tak memiliki staf dan pekerjaan khusus. Kinerjanya berlaku secara umum sebagaimana yang perintahkan oleh PBNU ataupun Majelis Konsul Wilayah (ART NU 1954, Pasal 21 ayat 6).


Penyatuan konsul ini erat kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu 1955 yang melibatkan Partai NU. Saat itu, hirarki partai tak mungkin menggunakan sistem konsul. Namun mengikuti konstruksi nasional yang menempatkan struktur partai di tingkat provinsi, kabupaten hingga ke bawah.


Berkat penyatuan konsul itu pun PWNU Jatim meraih hasil yang cukup maksimal. Pada saat itu, Partai NU di Jatim menduduki peringkat pertama dengan perolehan suara sebanyak 3.370.554.


Mengacu pada hasil pemilu tersebut, saat dibentuk DPRD Peralihan Tingkat I Jawa Timur, kader-kader NU mendominasi. Dari 70 kursi DPRD Peralihan Tingkat I, Partai NU mendapatkan 21 kursi. Selain itu, juga menempatkan Ahmad Thohir Hadisoeparto dari Sumenep sebagai Ketua DPRD dan KH Machfudz Sjamsulhadi sebagai Wakil DPD Peralihan Jatim. Sedangkan Ketua Fraksi NU kala itu, dijabat oleh H Muhammad Saleh.


Pada 1956 Majelis Konsul NU Jatim melaksanakan konferensi. Kegiatan yang bertempat di Ponorogo itu, melakukan penyesuaian nomenklatur serta penyusunan tugas-tugas sebagaimana diamanatkan dalam Muktamar XX NU di Surabaya.


Satu tahun kemudian, tepatnya pada 18 Maret 1957, Majelis Konsul NU Jatim mengeluarkan surat dengan nomor 224/A/Tanf/PW/III-57 yang berisi tentang pengumuman perubahan nama. Dari Konsul PBNU wilayah Jawa Timur menjadi Pengurus Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Sejak saat itulah, PWNU mulai diperkenalkan ke PCNU di seluruh Jatim. 


Pada masa ini, PWNU Jatim langsung menghadapi perhelatan Pemilu Daerah untuk menentukan anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten. Pada pemilu yang digelar 29 Juli 1957 itu, suara Partai NU di Jatim mencapai 2.999.785. Menyusut hingga 11 persen jika dibandingkan dengan Pemilu Nasional dua tahun sebelumnya. Meskipun demikian, Partai NU Jatim tetap berada di urutan pertama, karena PNI juga mengalami penurunan jumlah suara. Sedangkan yang mengalami peningkatan suara drastis di Jatim adalah PKI yang mencapai 17,6 persen (lihat Greg Fealy, 2009: 256).


Penyusutan suara Partai NU tersebut, dipicu oleh banyak hal. Terutama dari faktor internal. Banyak terjadi riak-riak di tingkat Majelis Konsul maupun di PCNU tentang pembagian jabatan. Terutama, saat pengisian kursi DPRD Peralihan. Hal ini setidaknya diakui dalam laporan dari A Habib Ilyas (Pengurus GP Ansor Jawa Timur) berjudul “Penindjoan Pendek pada Pemilihan Umum DPR dan Konstituante jang Telah Lalu dan Pula Penindjoan pada Pemilihan Umum DPRD jang Baru Lalu” yang tersimpan di Arsip Nasional dengan nomor 225. Di sejumlah PCNU, juga terjadi friksi yang sama, seperti halnya di Banyuwangi yang membuat kecewa PCNU Blambangan (lihat Ayung Notonegoro, Manunggaling NU Ujung Timur Jawa, Banyuwangi: Komunitas Pegon, 2021, Lampiran 4).


Terlepas dari fenomena tersebut, PWNU Jatim terus menggerakkan roda organisasi. NU Jatim menggelar konferensi untuk pertama kalinya di Bondowoso pada 26-28 September 1959. Pada konferensi yang pertama itu, Kiai Mahfudz terpilih kembali sebagai ketua. Sedangkan Wakil Ketua I adalah A Taslim Hadi Suprapto dan Wakil Ketua II dijabat oleh Kiai Umar Burhan. Adapun sekretarisnya adalah H Muhammad Saleh dengan wakil Abdul Hadi Chamdun yang awalnya adalah seorang full timer kantor. Adapun Rais Syuriyahnya adalah KH Makhrus Ali Lirboyo dengan wakilnya KH Ridwan Abdullah Surabaya.


Sejak saat itu, PWNU Jawa Timur rutin menyelenggarakan konferensi. Saat itu, sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga NU, konferensi wilayah sedikit-sedikitnya dilaksanakan satu tahun sekali (ART NU Hasil Muktamar 24 NU, Pasal 41, ayat 1). Sedangkan pemilihan rais dan ketua, dilakukan setiap dua tahun sekali (ART NU Hasil Muktamar 24 NU, Pasal 17, ayat 7). Hal ini seiring waktu terus berubah. Mulai dari 3 tahun, 4 tahun hingga 5 tahun sekali sebagaimana dikenal saat ini.


Dari sini, PWNU Jawa Timur telah berganti nakhoda berulang kali. Tampuk kepemimpinan Rais Syuriyah PWNU Jatim sendiri dijabat oleh KH Ali Makhrus sedari awal hingga 1985. Kemudian secara berurutan digantikan oleh KH Najib Abdul Wahab (1985-1987), KH Ahmad Syarqowi (1987-1988), KH Imron Chamzah (1988-2000), KH A Masduki Machfudz (2000-2007), KH Miftahul Achyar (2007-2015) dan KH M Anwar Manshur (2015 – sekarang). Sampai masa kepemimpinan Kiai Imron Chamzah, semua Rais PWNU Jatim tergantikan setelah wafat. Sedangkan Kiai Masduqi, tergantikan oleh Kiai Miftah saat konferensi wilayah. Sedangkan Kiai Miftah mengundurkan diri sebagai Rais PWNU Jatim pada 2015 karena didaulat menjadi Pj Rais Aam menggantikan KH Makruf Amin yang mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.


Sedangkan Ketua PWNU Jawa Timur dijabat mulai dari awal oleh KH Machfudz Sjamsulhadi dari Banyuwangi hingga wafat pada 1963. Kemudian digantikan oleh Siddiq bersaudara asal Jember. Pada 1963-1967 dijabat oleh KH Abdullah Siddiq, lalu digantikan oleh adiknya, KH Achmad Siddiq (1967-1975). Kemudian digantikan lagi oleh Kiai Abdullah Siddiq (1976-1982). Berikutnya dilanjutkan KH Hasyim Latief (1982-1986), KH Syafi’i Sulaiman (1986-1992), KH Hasyim Muzadi (1992-1999), KH Ali Machsan Moesa (1999-2008), KH Mutawakil Alallah (2008-2018) dan KH Marzuki Mustamar (2018-sekarang). 


Editor:

Opini Terbaru