• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Jujugan

Masjid Gemma di Sumenep, Tempat Rehat dan Sejarah yang Terpendam

Masjid Gemma di Sumenep, Tempat Rehat dan Sejarah yang Terpendam
Masjid Gemma Prenduan, Pragaan, Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)
Masjid Gemma Prenduan, Pragaan, Sumenep. (Foto: NOJ/Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Bila sedang melakukan perjalan dari arah Pamekasan menuju Sumenep, masjid ini bisa dijadikan jujugan atau tempat rehat. Bisa melaksanakan shalat dan istirahat sejenak, apalagi setelah melakukan perjalanan darat dari Surabaya. Lokasi ada di Prenduan, Pragaan, Sumenep dengan menara yang demikian dominan.


Istirahat di kawasan ini sangat disarankan dengan beragam pertimbangan. Lokasinya yang berada di kanan jalan (dari arah Surabaya) dan memiliki parkir yang cukup luas. Demikian pula yang melekat dari masjid ini adalah fasilitas yang ditawarkan. Yakni air, toilet dan tempat shalat yang cukup mendukung. Dengan demikian, para musafir akan merasa lebih nikmat saat melakukan ibadah dan istirahat sejenak selama perjalanan.


Sejarah Terpendam
Madura merupakan perpaduan antara etnis Jawa (mayoritas) dengan etnis Arab, China, Bali Melayu, Bugis dan Eropa. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari struktur stratifikasi sosial, seperti serpihan kebudayaan Jawa yang masuk ke Madura saat kekuasaan kerjaan Mataram di pertengahan abad ke-17.


Unsur keagamaan membentuk tradisi, adat-istiadat pandangan hidup, nilai-nilai budaya, baik bagi individu ataupun kelompok. Etika yang merupakan bagian pokok agama Islam, di samping akidah dan syariat, tertanam dalam kebiasaan masyarakat Madura. Keberhasilan ini dibuktikan dengan kesopanan, kehormatan dan etos kerja tinggi. Secara faktual, semakin ke timur, logat dan dialek orang Madura kian halus saat berinteraksi dan berkomunikasi antarsesama. 


Berdasarkan sejarah, terdapat desa yang sering disebut-sebut oleh Huub de Jonge dalam penelitiannya, yakni Prenduan. Nama Prenduan diambil dari kata Arenduh. Menurut sejarah yang melegenda, Arenduh dinukil dari kisah kudanya Jokotole yang sedang meringkuk setelah datang dari kerajaan Majapahit menuju Songennep. 


Prenduan pusat perdagangan orang-orang China di masa lalu, bahkan tempat peristirahatan pasukan berkuda Belanda yang sedang menuju ke Songennep. Sebagaimana penelitiannya Hubb de Jonge, hal ini untuk menyokong perkembangan ekonomi dan Islam. Untuk jalur perdagangan, sejarah mencatat bahwa, transportasi perdagangan masa itu lewat jalur laut atau perahu layar dari pelabuhan menuju Jawa, Bali, Lombok, Makasar dan Kalimantan. Hingga kini, Prenduan menjadi sentral perekonomian di Kecamatan Pragaan, hanya saja tidak ada orang China, namun keturunannya, masih menetap di desa tersebut setelah melakukan perkawinan dengan pribumi dan menyatakan masuk Islam. 


Sebagai Ikon Utama
Di Prenduan, masjid Gemma menjadi ikon utama. Di dalam sejarah, nama Gemma akronim dari "Agemma Agemah". Bahkan nama Gemma diambil dari laqob atau julukan seorang tokoh ternama, yakni Syekh Abuddin. Ia seorang pedagang Palawija yang dikenal sebagai niagawan sandang pangan. Kekayaannya termasyhur hingga ke lupa pulau Jawa. Selain saudagar, ia terkenal dermawan, suka belajar dan mengamalkan ajaran agama. Masjid Gemma yang berdiri mentereng hingga saat ini, dibangun di atas tanah Syekh Abuddin. 


Nama Kiai Gemma yang terkenal pada awal pertengahan abad ke-19, dihubungkan dengan sosok yang akan menyinari Guluk-Gukuk, yakni KH Muhammad Syarqawi. Dikisahkan, sewaktu Kiai Syarqawi dalam pelayaran menuju tanah suci, ia bertemu dengan Kiai Gemma. Kiai Syarqawi bertujuan menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu, sedangkan Kiai Gemma bertujuan menunaikan ibadah haji bersama istri mudanya bernama Nyai Khadijah, dan pengawalnya. Saat itu, usia Kiai Gemma sudah sepuh. Konon ibadah haji yang ditunaikan itu merupakan mahar pernikahan Kiai Gemma kepada Nyai Khadijah.


Dalam pelayaran tersebut, Kiai Gemma jatuh sakit hingga dirawat oleh istri dan pengawalnya serta Kiai Syarqawi, sehingga terjalin persahabatan baik. Kiai Gemma menemukan apa yang selama ini dicari pada sosok Kiai Syarqawi, yaitu memperdalam ilmu agama. Sedangkan pada Kiai Gemma, Kiai Syarqawi banyak menimba pengalaman hidup.


Sesampainya di Tanah Suci, Kiai Gemma wafat. Sebelum meninggal berwasiat kepada Kiai Syarqawi, jika dirinya meningal, Kiai Syarqawi dipersilakan menikah Ny Khadijah yang masih muda dan baru dinikahi. Kiai Gemma berwasiat kepada pengawalnya agar nanti sesampainya di Tanah Air, Kiai Syarqawi dan Nyai Khadijah dibuatkan sebuah rumah. Sebagaimana dilansir website Bani Syarqawi, jenazah Kiai Gemma dikebumikan di Ma'la. Setelah masa iddahnya, Kiai Syarqawi melaksanakan wasiat tersebut, yaitu mengawini Ny Khadijah.


Kiai Syarqawi dan Nyai Khadijah pulang ke Tanah Air dan menetap bersama di rumah yang dibangun atas perintah Kiai Gemma kepada pengawalnya. Kemudian membuka pengajian Al-Qur'an dan majelis ilmu keislaman, tepatnya di Dusun Pesisir, Desa Prenduan, Pragaan, Sumenep. 


Berdasarkan cerita, kedatangannya di Prenduan, membuat dirinya tidak betah dengan kondisi lingkungan sekitar yang kala itu sudah cukup ramai dan padat dengan mayoritas masyarakat nelayan dan pedagang atau niagawan. Sehingga ia hijrah ke Guluk-Guluk dan merintis pesantren yang kini dikenal Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk.


Saat ini, Prenduan menjadi desa yang memiliki perputaran ekonomi perdagangan yang sangat melesat. Sedangkan masjid Gemma menjadi jantung masyarakat, seperti diselenggarakannya kegiatan majelis ta'lim, studi santri, maulid Nabi dan pusat dzikir wadzifah thariqah Tijaniyah.


Editor:

Jujugan Terbaru