• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 17 April 2024

Keislaman

Hukum Bisyarah untuk Guru TPQ dan Petugas Masjid

Hukum Bisyarah untuk Guru TPQ dan Petugas Masjid
Masalah bisyarah untuk guru TPQ maupun petugas masjid diperbincangkan khalayak. (Foto: NOJ/BNd)
Masalah bisyarah untuk guru TPQ maupun petugas masjid diperbincangkan khalayak. (Foto: NOJ/BNd)

Saat ini sedang hangat dibicarakan soal orang tua yang memiliki anak lulusan pesantren. Di media sosial, sang ayah lebih menyarankan kepada buah hatinya bekerja di pabrik dengan gaji lumayan daripada sebagai guru ngaji dengan bisyarah atau gaji ala kadarnya.


Gejala ini terbilang fenomena baru di mana tidak terjadi di zaman Rasulullah SAW. Hal tersebut muncul di zaman kerajaan Islam sepeninggal Rasulullah. Pada masa kerajaan Islam, negara mengalokasikan anggaran untuk guru Al-Quran, guru pelajaran agama Islam, para imam, khatib Jumat, muadzin di masjid, dan aktivitas keagamaan lain. Dari situ ulama mutaqaddimin memutuskan bahwa mereka makruh hukumnya menerima insentif atau bisyarah dari masyarakat karena telah menerimanya dari negara. 


Ulama mutaqaddimin memandang insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan sebagai sejenis gratifikasi yang kita kenal sekarang. Tetapi ketika kondisi berubah, para ulama mengubah pandangan mereka terhadap insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan seperti imam shalat wajib harian, khatib shalat Jumat atau id, muadzin, guru Al-Qur’an, guru agama, atau jenis aktivitas keagamaan lainnya. 


Ketika kerajaan-kerajaan Islam itu tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk imam dan khatib Jumat, ulama muta’akhirin –salah satunya Ibnu Rusyd– membolehkan mereka menerima amplop atau insentif dari masyarakat seperti diangkat oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini: 


أفتى المتأخرون من العلماء بجواز أخذ الأجرة على تعليم القرآن الكريم وعلى وظائف الإمامة والخطابة والأذان وسائر الطاعات من صلاة وصيام وحج وهو حكم خولف فيه ما كان مقررا سابقا بين العلماء ومنهم أئمة الحنفية وغيرهم نظرا لتغير الزمان وانقطاع عطاءات المعلمين والقائمين بالشعائر الدينية من بيت المال. فلو اشتغل بالاكتساب من زراعة أو تجارة أو صناعة لزم ضياع القرآن إهمال تلك الشعائر


Artinya: Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Al-Qur'an, tugas keimaman shalat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzhab lainnya. Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya anggaran negara (baitul mal) untuk guru agama dan mereka yang aktif pada syiar-syiar keagamaan dengan asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai. (Lihat: Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman: 23). 


Rasulullah SAW sendiri mengizinkan sahabatnya untuk menerima insentif dari masyarakat atas praktik ruqyah melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Hadits ini dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari berikut ini: 


 عن ابن أبي مليكة عن عبد الله بن عباس أن نفراً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا بماء فيهم لديغٌ - أو سليم فعرض لهم رجلٌ من أهل الماء فقال هل منكم من راقٍ فإن في الماء رجلاً لديغاً أو سليماً فانطلق رجلٌ منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ فجاء بالشاء إلى أصحابه فكرهوا ذلك وقالوا أخذت على كتاب الله أجراً حتى قدموا المدينة فقالوا يا رسول الله أخذ على كتاب الله أجراً فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} إن أحق ما أخذتم عليه أجراً كتاب الله


Artinya: Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah melewati masyarakat yang bermukim di dekat sumber air di mana salah satu penduduknya tersengat binatang berbisa. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata: Adakah di antara kalian yang bisa berjampi karena ada korban tersengat di air ini? Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dengan membaca surat Al-Fatihah dengan upah kambing. Korban tersengat itu sembuh. Ia lalu membawa upah kambing yang dijanjikan, tetapi para sahabat Rasulullah enggan menerimanya. Mereka berkata sampai tiba di Kota Madinah: Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah. Tiba di Madinah, mereka mengatakan: Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an? Rasulullah SAW menjawab: Sesungguhnya pekerjaan berupah yang paling layak kau ambil adalah kitab Allah. (HR Bukhari). 

 


Dari sini kita dapat memahami bahwa guru Al-Qur’an, khatib, imam, ahli hikmah yang meruqyah boleh menerima amplop, bisyarah, atau insentif dari masyarakat. Tetapi pada suatu masa di mana negara mengalokasikan dana untuk syiar keagamaan, mereka makruh menerima amplop dari masyarakat karena bisa dibilang bahwa mereka itu adalah sejenis Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga tidak boleh dan tidak perlu menerima insentif dari masyarakat. Sementara ketika kondisi berubah seperti masa Rasulullah, maka mereka boleh menerima pemberian dari masyarakat. 


Keislaman Terbaru