• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 4 Juli 2024

Keislaman

Bagaimanakah Status Haji Orang yang Dideportasi dan Ditahan Setelah Niat Ihram

Bagaimanakah Status Haji Orang yang Dideportasi dan Ditahan Setelah Niat Ihram
Jamaah haji 2024 (Foto:NOJ/nuonlinejatim)
Jamaah haji 2024 (Foto:NOJ/nuonlinejatim)

Oleh: Muhammad Fiqih*


Ancaman bagi jamaah yang nekat berhaji dengan menggunakan selain visa haji resmi adalah akan dipulangkan ke negaranya atau di deportasi. Banyak pemberitaan di media sosial tentang jamaah haji asal Indonesia yang harus di deportasi dengan berbagai motif yang pada intinya mereka berhaji tidak menggunakan visa resmi haji. 


Berhaji menggunakan visa non-haji memang bisa dikatakan sah dan bisa menggugurkan terhadap kewajiban hajinya jika menitik beratkan kepada analisis literatur klasik, sebab izin imigrasi sejatinya tidak menjadi syarat kewajiban haji yang tertulis dalam literatur klasik, meskipun jika diterjang tentunya unsur keharamannya atas dasar menerjang kebijakan pemerintah yang seharusnya wajib untuk ditaati sehingga hajinya bisa dikatakan sah akan tetapi haram.


Bahkan menurut Madzhab Hanabilah hajinya tidak sah sebagaimana catatan al-Sya’rani berikut: 


لَوْ غَصَبَ دَاَبةً فَحَجَّ عَلَيْهَا أَوْ مَالًا فَحَجَّ بِهِ أَنَّهُ يَصِحُّ حَجُّهُ وَاِنْ كَانَ عَاصِيًا بِذَالِكَ مَعَ قَوْلِ أَحْمَدَ أَنَّهُ لَاَيصِحُّ حَجُّهُ وَلَا يُجْزِئُهُ


Artinya: “Jika seseorang menggasab kendaraan atau harta kemudian digunakan untuk berhaji, maka hajinya sah meskipun dia diklaim bermaksiat atas tindakan itu, dan pendapat Ahmad bin Hanbal mengatakan hajinya tidak sah dan tidak bisa mencukupi taklif kewajiban haji”. (Abdul Wahab al-Sya’rani, Mizanul Kubra, [Damaskus, Darut Taqwa, 2022], juz 2, hal. 497.).


Tidak mempunyai izin visa resmi dalam analisis modern termasuk salah satu penghalang seseorang untuk klaim istitha’ah, sebab konsep istitha’ah sejatinya adalah tentang sarana prasarana haji mulai dari internal seperti kesehatan fisik dan mental, dan eksternal seperti finansial, akomodasi, jaminan keamanan, serta izin imigrasi itu sendiri, sebagaimana menurut Ali al-Ramli berikut:


ويدخل في ذلك: المال والصحة. وتأشيرة الحج فإنها تعتبر من ضمن الاستطاعة


Artinya: “Termasuk faktor pendukung haji (dalam konsep istitha’ah) adalah finansial, kesehatan, dan izin imigrasi (visa) haji juga termasuk dalam ketentuan istitha’ah” (Ali bin Mukhtar al-Ramli, Fadhlu Rabbil Bariyyah Syarh al-Durarul Bahiyah [Maktabah Syamilah], hal, 151-152.).


Lantas apabila mereka ditangkap oleh Askar dan ditahan di imigrasi kemudian di deportasi, bagaimana status hajinya jika saja mereka sudah berihram untuk haji dan ditangkap dua hari sebelum pelaksanaan Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), dalam arti apabila mereka sudah niat berihram dan akan melaksanakan Armuzna belum sampai masuk ke Arafah mereka ditangkap dan di tahan dan akan dipulangkan, bagaimana status haji mereka ?.


Analisis fiqih yang paling mendekati terhadap status jamaah haji yang dideportasi tersebut adalah konsep Ihshar  yakni sebagamana definisi umum para ulama, ihshar adalah tercegahnya seorang yang berihram untuk menyelesaikan hal-hal yang diwajibkan ketika ihram sebelum melaksanakan rukun ibadah nusuk. (Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2003], juz 1, hal. 630.).

Ihshar sendiri terbagi menjadi dua, yakni ihshar Amm, dan Khaas. Ihshar Amm bisa dikatakan seluruh jamaah haji diembargo untuk memasuki tanah Haram seperti kejadian umrah Hudaibiyah, dan penyerangan kota Makkah oleh Hajjaj bin Yusuf era kepemimpinan Abdullah bin Zubair, dan pengepungan kota Makkah pada tahun 1979 oleh kelompok radikalis pimpinan Juhaiman al-Utaibi.


Sedangkan ihshar Khaas hanya terjadi oleh beberapa orang baik personal atau kelompok sebagaimana catatan al-Nawawi berikut:


المانع الثاني الحصر الخاص الذي يتَّفِقُ لواحد أو شِرْذِمَةٍ من الرفقة


Artinya: “penghalang kedua yaitu Ihshar Khaas yang hanya terjadi bagi perseorangan atau suatu kelompok”. (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Damaskus: Darul faiha, 2012],  juz 2, hal. 634.). 


Kasus deportasi termasuk dalam kategori Ihshar Khaas karena salah satu motif dalam ihshar khaas adalah dipenjara sebagaimana tindakan penangkapan dan diamankan di kantor imigrasi sebelum nantinya akan dideportasi ke negara asalnya. Akan tetapi ihshar khass sebab dipenjara mempunyai dua motif dan mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda sebagaimana catatan al-Syirbini berikut:


وَأَمَّا الْحَصْرُ الْخَاصُّ وَهُوَ الْمَانِعُ الثَّانِي بِأَنْ حُبِسَ ظُلْمًا : كَأَنْ حُبِسَ بِدَيْنٍ وَهُوَ مُعْسِرٌ بِهِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَحَلَّلَ كَمَا فِي الْحَصْرِ الْعَامِّ لِمَا مَرَّ . أَمَّا إذَا حُبِسَ بِحَقٍّ ، كَأَنْ حُبِسَ بِدَيْنٍ مُتَمَكِّنٍ مِنْ أَدَائِهِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ التَّحَلُّلُ بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يُؤَدِّيَهُ وَيَمْضِيَ فِي نُسُكِهِ


Artinya: “Ihshar Khaas sebagaimana dipenjara dengan semena-mena seperti dipenjara sebab tidak membayar hutang sedangkan dia dalam kondisi miskin, maka dia boleh untuk bertahallul seperti kasus dalam ihshar Aam. Jika dipenjara sesuai dengan prosedur seperti dipenjara sebab hutang sedangkan dia mampu untuk membayarnya maka dia tidak boleh bertahallul dan wajib melunasi hutangnya dan meneruskan prosesi haji”. (Muhammad Khathib al-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Kairo: Darul Hadits, 2006], juz 2, hal. 400-401.).


Memang benar untuk kasus pemenjaraan dengan motif yang sah, seseorang tidak diperbolehkan untuk bertahallul dan justru wajib untuk mengupayakan diri untuk melepaskan diri dengan cara yang benar dan sah agar dia bisa melanjutkan prosesi ibadah hajinya. 
Namun kasus jamaah haji denga visa non-haji tidak serta merta bisa meloloskan diri dari penahanan pemerintah KSA, bahkan terancam untuk di deportasi dan di-black list selama 10 tahun tidak bisa memasuki kawasan KSA, kasusnya pun termasuk pelanggaran undang-undang pemerintah yang secara hukum konvensional sah untuk dinyatakan bersalah, bahkan dia hanya bisa menunggu di penjara imigrasi sampai keluar jadwal deportasinya. Untuk itu sangat kecil prosestase kemungkinan dia bisa bebas dari penahanan pemerintah KSA. 


Oleh karena itu kasus deportasi haji sebab visa non-haji ini bisa mengharuskan pelakunya untuk tahallul ketika akan dipulangkan kembali kenegaranya. Jika saja dia bisa keluar dengan aman maka tentunya dia tidak boleh bertahallul dan masih harus melanjutkan prosesi hajinya.


Ketentuan tahallul itu harus disertai dengan menyembelih kambing atas dasar dam ihshar menurut madzhab syafi’iyah, sedangkan menurut madzhab selain Syafi’i tidak wajib membayar dam sebagaimana catatan Said Basyanfar berikut:


المحْرِمُ بالحج له التَّحلُّلُ اذا اَحْصَرَهُ عدُوٌّ بالاجماع, ويلزمه دمٌ وهو شاةٌ هذا مذهبُنا, ومذهبُ ابي حنيفة و احمد والجمهور وعن مالك لا دَمَ عَلَيْهِ


Artinya: “Orang Ihram haji boleh bertahallul jika diblokade (ihshar) oleh musuhnya menurut Ijma’, dan wajib membayar dam yakni kambing sebagaimana madzhab kita (Syafi’iyah) sedangkan madzhab yang lain tidak wajib membayar dam”. (Said bin Abdul Qadir Basyanfar, Al-Mughni fi Fiqhil Hajji wal Umrah, [Jeddah, Maktabah Al-Ilm, 1992], hal. 151).


Dialektika lintas madzhab ini sangat bermanfaat dan solutif bagi fenomena deportasi haji ini, karena jika saja tidak dimungkinkan bagi pelaku yang tertangkap untuk mengemasi barang bawaanya yang ada di hotel sebelum dipulangkan, tentunya dia hanya membawa pakaian dan barang bawaan yang dibawa ketika tertangkap saja dan otomatis kemungkinan besa dia tidak mempunyai uang untuk membayar dam, satu sisi dam ihshar harus diberikan kepada masyarakat miskin tanah haram meskipun disembelihnya dikawasan dia diblokade oleh karena itu pendapat yang tidak mewajibkan dam menjadi solusi bagi kondisi tersebut.


Walhasil,  jamaah haji dengan visa non-haji yang tertangkap oleh Askar saat setelah ihram dan akan melakukan Armuzna kemudian ditahan di imigrasi serta akan dipulangkan kenegara asalnya status haji mereka sebagaimana muhshar dengan ihshar khaas yakni diblokade untuk tidak bisa melanjutkan prosesi ibadah hajinya dan diwajibkan untuk tahallul serta membayar dam kambing jika mampu dan memungkinkan untuk membayarkannya meskipun dengan menitipkan kepada seseorang, dan jika tidak mampu maka bisa mengikuti pendapat selain Syafiiyah yang tidak mewajibkan membayar dam bagi muhshar dengan ihshar khaas. Wallahu A’lam Bisshawab.

 

*Pascasarjana UNSURI, Aswaja NU Center Sidoarjo

 


Keislaman Terbaru