• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 27 Maret 2025

Keislaman

Benarkah Nabi Menganjurkan Berbuka dengan yang Manis? Ini Penjelasannya

Benarkah Nabi Menganjurkan Berbuka dengan yang Manis? Ini Penjelasannya
Berbuka puasa dengan yang manis-manis tidak ada anjuran dalam hadits. (Foto: NOJ/ISt)
Berbuka puasa dengan yang manis-manis tidak ada anjuran dalam hadits. (Foto: NOJ/ISt)

Banyak di kalangan umat Islam yang mengira bahwasannya kalimat ‘berbukalah dengan yang manis-manis’ merupakan anjuran atau perintah dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sunahnya puasa jika tidak lagi menemukan kurma untuk berbuka. Padahal tidaklah demikian, dan hal tersebut bukan merupakan hadits Nabi.


Yang jelas, tidak ada hadits yang berbunyi ‘berbukalah dengan yang manis’ atau semisalnya, atau yang mendekati makna itu. Baik dalam kitab hadits maupun kitab fikih. Namun sangat disayangkan ungkapan semacam ini disebar-sebarkan sebagai hadits oleh sebagian da'i atau pun tokoh masyarakat (public figure) yang minim ilmu agamanya. 


Memang berbuka puasa dianjurkan dengan kurma atau air. Karena berdasarkan pandangan medis keduanya mengandung zat yang dapat memulihkan fungsi anggota tubuh yang terkurangi saat puasa. Nabi Muhammad SAW sendiri mencontohkan kepada kita umatnya melalui hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dan Abu Dawud sebagai berikut,


عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قال : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ رواه أحمد، وأبو داوود.


Artinya: Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW berbuka puasa dengan beberapa buah ruthab (kurma basah) sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma kering). Jika tidak ada (kurma kering), maka beliau meneguk beberapa teguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)


Selain hadits di atas, juga ada sabda Rasulullah lainnya:


إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنَّهُ بَرَكَةٌ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمْرًا فَالمَاءُ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ


Artinya: Dari Salman bin Amir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, bila kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma, karena kurma itu barakah. Kalau tidak ada kurma, maka dengan air, karena air itu mensucikan. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)


Memahami hadits diatas, para ulama memandang kesunahan berbuka puasa dengan kurma yang terkandung sifat manis di dalamnya. Hal ini diungkapkan Muhammad Ali as-Syaukani dalam karyanya Nailul Authar sebagai berikut,


وَإِذَا كَانَتِ العِلَّةُ كَوْنُهُ حُلْوًا وَالحُلْوُ لَهُ ذَلِكَ التَّأْثِيرُ فَلْيُلْحَقْ بِهِ الحَلْوِيَّاتُ كُلُّهَا، أَمَّا مَا كَانَ أَشَدَّ مِنْهُ فِي الحَلَاوَةِ فَبِفَحْوَى الخِطَابِ، وَمَا كَانَ مُسَاوِيًا لَهُ فَبِلَحْنِهِ.


Artinya: Kalau sebab (hukum) disunnahkan berbuka dengan kurma itu karena manisnya (dan sifat manis itu menjadi sebab pokok/primer buka puasa Rasulullah SAW dengan kurma), maka bentuk makanan dan minuman manis lainnya juga tergolong kategori berbuka puasa berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Kalau misalnya ada makanan yang lebih manis dari kurma, maka ulama menggunakan fahwal khithab (qiyas di mana yang tidak disebut di nash al-Quran/hadits lebih kuat daripada yang disebutkan di nash). Tetapi kalau makanan dan minuman itu setara manisnya dengan kurma, maka ulama menggunakan lahnul khithab (qiyas dimana yang tidak disebut di nash al-Quran/hadits setara dengan yang disebut di nash). (Lihat Muhammad Ali As-Syaukani, Nailul Authar fi Syarhi Muntaqal Akhbar, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Tahun, Juz IV, Halaman 302)


Dari penjelasan Syekh Muhammad Ali as-Syaukani di atas, berbuka dengan makanan ataupun minuman yang manis-manis tetap terhitung mengamalkan sunah Rasulullah SAW. Karena yang dipandang oleh ulama dari kurma itu unsur manisnya bukan sekedar kurmanya itu sendiri. Akan tetapi lebih baik, jika kita membatalkan puasa dengan kurma, daripada sesuatu yang lebih manis atau pun sesuatu yang setara manisnya dengan kurma.


Akan tetapi menurut pandangan Imam Nawawi dan Imam Rafi'i dalam kitab Fathul Mu'in, bahwasannya tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air, dan menganggap lemah pendapat yang mengatakan bahwa makanan manis lebih utama daripada air. Sebagaimana keterangan berikut,


وَكَوْنُهُ بِتَمْرٍ لِلْأَمْرِ بِهِ، وَالْأَكْمَلُ أَنْ يَكُوْنَ بِثَلَاثٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ فَعَلَى حَسَوَاتٍ مَاءٍ، وَلَوْ مِنْ زَمْزَمَ، فَلَوْ تَعَارَضَ التَّعْجِيْلُ عَلَى الْمَاءِ، وَالتَّأْخِيْرُ عَلَى التَّمْرِ، قُدِّمَ الْأَوَّلُ، فِيْمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا، وَقَالَ أَيْضًا: يَظْهَرُ فِي تَمْرٍ قَوِيَتْ شُبْهَتُهُ وَمَاءٍ حَفَّتْ شُبْهَتُهُ، أَنَّ الْمَاءَ أَفْضَلُ. قَالَ الشَّيْخَانِ: لَا شَيْءَ أَفْضَلُ بَعْدَ التَّمْرِ غَيْرُ الْمَاءِ، فَقَوْلُ الرُّوْيَانِيِّ: الْحُلْوُ أَفْضَلُ مِنَ الْمَاءِ ضَعِيْفٌ، كَقَوْلِ الْأَذْرَعِيِّ: الزَّبِيْبُ أَخُو التَّمْرِ، وَإِنَّمَا ذَكَرَهُ لِتَيَسُّرِهِ غَالِبًا بِالْمَدِيْنَةِ


Artinya: Disunnahkan berbuka dengan kurma sesuai dengan perintah Nabi, dan yang lebih sempurna adalah dengan tiga butir kurma. Jika tidak ada kurma, maka berbuka dengan beberapa teguk air, sekalipun air Zamzam. Jika terjadi pertentangan antara menyegerakan berbuka dengan air dan menunda (mengakhirkan) memakan kurma, maka yang diutamakan adalah menyegerakan berbuka dengan air, sesuai dengan pendapat yang diunggulkan oleh guru kami. Beliau juga berkata: Tampaknya dalam kondisi kurma yang diragukan kehalalannya dan air yang juga diragukan, maka air lebih utama.


Dua imam besar (Imam Nawawi dan Imam Rafi’i) mengatakan: Tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air. Maka pendapat ar-Ruyani yang mengatakan bahwa makanan manis lebih utama daripada air adalah pendapat yang lemah, sebagaimana pendapat al-Adzra’i yang mengatakan bahwa kismis setara dengan kurma, padahal ia hanya menyebutnya karena kismis biasanya lebih mudah didapat di Madinah.


Senada dengan pendapat di atas, begitu juga al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar al-Masyhur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, yang berpendapat bahwa berbuka dengan makanan yang manis-manis seperti kolak, es doger, ataupun selainnya tidak dibenarkan dalam artian bukan termasuk sunah berbuka puasa ala Rasulullah SAW. Karena makanan yang paling baik untuk berbuka adalah kurma. Jika tidak ada kurma, maka yang paling baik adalah minum air putih (lebih baik menggunkan air Zamzam). Dan jika memang tidak ada bisa menggunakan air putih biasa. Setelah itu baru makanan manis yang bukan hasil masakan seperti buah-buahan. Seperti penjelasan di bawah ini,


فَائِدَةٌ: يُسَنُّ لِمَنْ لَمْ يُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى الْمَاءِ، وَكَوْنُهُ مَاءَ زَمْزَمَ أَوْلَى، وَبَعْدَهُ الْحُلْوُ، وَهُوَ مَا لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ، كَالزَّبِيبِ وَالْعَسَلِ وَاللَّبَنِ، وَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْعَسَلِ، وَاللَّحْمُ أَفْضَلُ مِنْهُمَا، ثُمَّ الْحَلْوَى الْمَعْمُولَةُ بِالنَّارِ.


Artinya: (Faedah) Disunnahkan bagi orang yang tidak berbuka dengan kurma agar berbuka dengan air. Jika air tersebut adalah air zamzam, itu lebih utama. Setelah itu, dianjurkan makanan manis yang tidak terkena api, seperti kismis, madu, dan susu. Susu lebih utama daripada madu, dan daging lebih utama daripada keduanya. Kemudian (pilihan berikutnya) adalah makanan manis yang dibuat dengan api (seperti kue dan manisan yang dimasak).


Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari pendapat beberapa ulama di atas bahwasannya berbuka dengan air putih sudah mendapatkan kesunahannya nabi, jika tidak ada kurma basah maupun kering dan juga tidak adanya air Zam-zam. Dan untuk sesuatu yang manis-manis lebih diutamakan yang tidak terkena api (dimasak) seperti halnya susu, madu, ataupun buah-buahan. Maka jika ada orang yang berbuka dengan hal-hal yang manis tapi melalui proses dimasak (terkena api) dianjurkan untuk minum air terlebih dahulu, agar sama-sama mendapatkan kesunahan.


Keislaman Terbaru