• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 2 Mei 2024

Keislaman

Cara Ideal Memperingati Maulid Nabi menurut Imam Suyuthi

Cara Ideal Memperingati Maulid Nabi menurut Imam Suyuthi
Cara Ideal Memperingati Maulid Nabi menurut Imam Suyuthi. (Foto: NOJ/ freepik)
Cara Ideal Memperingati Maulid Nabi menurut Imam Suyuthi. (Foto: NOJ/ freepik)

Bulan Rabiul Awwal adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada bulan ini umat Islam berbondong-bondong merayakan Maulid Nabi dengan tujuan untuk memuliakan, memperoleh keberkahan dan syafaat dari Nabi Muhammad SAW.

 

Di Indonesia sendiri, ada berbagai macam tradisi yang berbeda dari masing-masing daerah untuk memperingati maulid nabi. Masing-masing cara yang dilakukan memiliki karakteristik tersendiri, seperti mengadakan pengajian, membaca maulid (diba’) baik secara individu maupun berjamaah dan lain sebagainya.

 

Hal tersebut merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya, Rasulullah SAW menyatakan, “Barangsiapa memuliakan hari kelahiranku, maka kelak ia akan mendapatkan syafaatku di hari kiamat. Dan barangsiapa berinfaq dirham dalam peringatan maulid nabi, maka sama dengan berinfaq gunung emas di jalan Allah SWT”.

 

Lalu, seperti apa sebenarnya cara untuk merayakan atau memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang sesuai dan tidak ditentang oleh syariat? Dalam karyanya yang berjudul Husnul Maqsad fi Amalil Maulid, Imam Suyuthi menjelaskan bahwa memuliakan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW ialah dengan meningkatkan kualitas amal saleh, bersedekah dan melakukan perbuatan baik lainnya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Al-Suyuthi, Husnul Maqsad fi Amalil Maulid, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1985], hal. 61)

 

Tidak harus Mewah

Lantas, apakah merayakan maulid nabi harus dengan hal-hal yang mewah dan mengundang orang banyak? Tentu saja tidak. Imam Suyuthi menjelaskan, ketika seseorang tidak mampu untuk melakukan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka minimal memperingati maulid nabi dengan menahan dirinya untuk tidak melakukan kemaksiatan, hal-hal yang diharamkan, dan yang tidak disukai dalam Islam.

 

Mengutip pendapat Imam Ibnul Hajj, Imam Suyuthi menjelaskan bahwa peringatan maulid nabi seperti membaca diba’, mengadakan pengajian dan lain sebagainya tidaklah dilarang. Acara tersebut baru dilarang oleh syariat jika di dalamnya ada unsur kemaksiatan, pertunjukan perempuan yang pakaiannya membuka aurat.

 

Seorang yang merayakan maulid harus disertai dengan niat yang tulus, sebab tanpa adanya niat suatu perbuatan tidak dianggap ibadah. Meskipun ia merayakan maulid namun tanpa adanya niat maka tidak dihitung sebagai ibadah.

 

Termasuk perayaan maulid yang fasid (rusak) ialah ketika merayakan maulid nabi dengan tujuan mendapatkan banyak harta, mendapat pujian dari orang lain, dan dengan tujuan agar dibantu oleh orang lain. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan bagian dari kefasidan.

 

Dikatakan fasid karena esensi merayakan maulid nabi merupakan salah satu bagian dari amal akhirat tetapi tujuannya digunakan untuk hal-hal keduniawian. Sehingga, nilai akhiratnya hilang dan sia-sia. Hal ini secara tegas dijelaskan dalam Al-Qur’an:


مَنۡ كَانَ يُرِيۡدُ حَرۡثَ الۡاٰخِرَةِ نَزِدۡ لَهٗ فِىۡ حَرۡثِهٖ‌ۚ وَمَنۡ كَانَ يُرِيۡدُ حَرۡثَ الدُّنۡيَا نُؤۡتِهٖ مِنۡهَا وَمَا لَهٗ فِى الۡاٰخِرَةِ مِنۡ نَّصِيۡبٍ

 

Artinya: “Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (al-Syura [42]: 20)

 

Dapat dipahami bahwa merayakan maulid nabi ialah dengan melakukan amal kabaikan seperti bersedekah, mengajak kerabat untuk makan bersama, bersujud dan lain sebagainya, yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Serta dibarenngi dengan niat yang tulus dan tidak bertujuan pada hal-hal yang bersifat duniawi.

 

Dalam pelaksanaannya, merayakan maulid nabi tidak harus mewah dengan mengeluarkan banyak uang sebagaimana orang-orang zaman modern yang seolah-olah beranggapan bahwa merayakan maulid harus mewah. Jika tidak mampu merayakannya dengan mengadakan acara tertentu, maka cukup dengan menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.

 

Lukman Hakim, mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya.


Keislaman Terbaru