• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 30 April 2024

Keislaman

Dakwah yang Ideal itu Seperti Apa?

Dakwah yang Ideal itu Seperti Apa?
Ilustrasi kiai sedang berdakwah di tengah masyarakatnya (Foto:NOJ/pppergunu)
Ilustrasi kiai sedang berdakwah di tengah masyarakatnya (Foto:NOJ/pppergunu)

Akhir-akhir ini banyak konten dakwah di berbagai platform yang menuai kontroversi, dan membuat warganet geram. Idealnya, dakwah digital mestinya mempelopori penyajian informasi yang sejuk, santun, dan damai. Cara inilah yang akan meraih simpati dari masyarakat dan menghapus kesan bahwa Islam terrkesan sangar.


Menyoal persoalan dakwah yang santun, sebenarnya sudah terjadi di masa lalu. Di masa pemerintahan daulah Abbasiyah, salah satu Khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid (785-809 M) didatangi seorang guru, kemudian menasihatinya.


يا امير المؤمنين إني ناصح إليك فمشدد عليك فلا تجدن علي في نفسك شيئا


Artinya: Wahai pemimpin orang mukmin, sesungguhnya saya mau menasihatimu, dan nasihatku keras akan menyakitimu, tapi jangan masukkan!


Kemudian Khalifah Harun al-Rasyid memotongnya dengan mengatakan:


أسكت، فإن الله تعالي قد بعث من هو خير منك إلي من هو شر مني وأمره بالرفق. ومع ذلك يقول الله تعالي وقولا لينا لعله يتذكر او يخشي. فكيف تشدد علي في النصيحة؟ (مقتطفات من السريرة: ج ٣، ص ٢)


Artinya: Hai ustadz kamu diam, Allah itu pernah menugaskan orang yang lebih baik ketimbang kamu yaitu Nabi Musa As, kepada orang yang lebih buruk ketimbang saya, yaitu Fir'aun dan beliau diperintah untuk berlemah lembut. Dan bersama hal itu, Allah berfirman kepada keduanya (Nabi Musa As dan Nabi Harun As). "Berkatalah kamu berdua kepada Fir'aun dengan perkataan yang lemah lembut, siapa tahu dia (Fir'aun) bisa ingat dan takut." Kemudian Khalifah Harun al-Rasyid melanjutkan. "Bagaimana engkau bisa keras kepada saya dalam memberi nasihat?"


Lebih lanjut, jika dikorelasikan dengan fenomena di zamam now, sebenarnya Islam menuntun kepada umat Nabi agar berdakwah berbasis konteks yang ada dan terjadi. Sehingga tidak terkesan memaksakan pengetahuan dan pengalaman si dai untuk diikuti dan dipraktikkan lingkungan pendengar. 


Buktinya, Nabi Muhammad Saw sering menjawab persoalan-persoalan yang ditanyakan oleh sahabat. Jawabannya bukan berdasar pemahaman dan pengalamannya, tetapi berdasar pada situasi dan kondisi umat.


Berikut salah satu contoh cara Rasulillah menjawab pertanyaan sahabat sesuai dengan konteksnya yang tertera dalam رياض الصالحين باب بيان كثرة طرق الخير


Abu Dzar bertanya, أي الأعمال أفضل؟ Rasulullah menjawab, الإيمان بالله والجهاد في سبيله. Ditanya oleh Ibnu Mas'ud dengan pertanyaan yang sama. Kemudian Rasulullah menjawab, الصلاة فى اول وقتها


Untuk menguatkan hal itu, ulama ahli hukum Islam dari Mesir, Imam al-Qarafi mengatakan. 


إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك: لاتجره على عرف بلدك، واسأله عن عرف بلده، وأجره عليه، وأفته به دون عرف بلدك، ودون المقرر في كتب، فهذا هو الحق الواضح. (إعلام المواقعين: ج ٣، ص ٧٨)


Artinya: Jika seseorang datang kepadamu bukan dari daerahmu meminta fatwa, maka jangan putuskan jawaban yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkunganmu, tetapi tanyakan kebiasaan atau situasi dan kondisi si penanya dan putuskan sesuai dengan situasi dan kondisi di lingkungannya (si penanya), bukan berdasar situasi dan kondisi di mana engkau hidup dan juga bukan dengan keputusan yang sangklek di kitabmu. Inilah cara menjawab yang benar.


Dengan demikian, konten dakwah yang ideal adalah dakwah yang santun dan sesuai dengan konteks dan situasi serta kondisi. Misalkan, dakwah santun para walisongo yang kemudian diadopsi oleh masyayikh Nahdlatul Ulama


Keislaman Terbaru