Godaan dan cobaan hidup di tengah kota besar tentu sangat kompleks. Kebiasaan dan lingkungan masyarakat perkotaan memiliki bobot tantangan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Bila di perkotaan tantangan hidup itu berkutat seputar gaya hidup materaliastis, hedonis, maka di pedesaan tantangannya tidak terlalu berat sebab gaya hidup yang diterapkan adalah menerima rezeki seadanya. Namun keduanya tetap memiliki potensi untuk digoda nafsu duniawi.
Persoalan yang mengemuka adalah bagaimana cara mengendalikan nafsu duniawi agar tidak terjerumus dalam zona syubhat, bahkan haram? Sebab zaman dan kondisi saat ini memaksa kita semua abai terhadap rezeki yang tercampur antara halal dan haram.
Makan di pinggir jalan, di restoran maupun di warung makan adalah halal, tetapi bila restoran itu menjual juga berbagai makanan haram, termasuk juga minuman keras, maka makanan kita menjadi syubhat. Menerima uang tanda terimakasih adalah halal, tetapi pemberinya adalah pengelola klub malam maka uang dalam amplop itu menjadi syubhat. Mengerjakan proyek dari kementrian sebagai rekanan adalah halal, tetapi bila order itu didapat dengan jalan lelang yang telah diatur dengan main mata, maka hasil proyeknya menjadi syubhat.
Syaikh Abdullah bin Hijazi al-Khalwati, dalam Syarah Hikam mengatakan ada empat hal yang dapat digunakan sebagai pegangan menghindar dari menuruti nafsu keduniawian (wira’i).
Pertama, sihhatul yaqin, yaitu yaqin benar akan adanya rezeki yang dibagikan oleh Allah. Artinya, ketika ingin melakukan dan mengambil sesuatu yang haram, kita ingat bahwa tanpa melakukan itupun Allah akan memberikan rezeki kepada kita, karena semua makhluk di bumi ini Allah telah siapkan rezekinya masing-masing. Bukankah kadal yang tidak bisa terbang itu juga medapatkan santapannya dari binatang yang bersayap? Apalagi manusia yang dianugerahi akal, Allah pasti akan mencukupinya. Allah menegaskan dalam al-Quran:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya: Tiada makhluk yang berjalan di bumi ini kecuali Allah yang menjamin rezekinya
Kedua, kamalut ta'alluqi birabbil alamin, atau menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah tentang rezeki janganlah sampai menggantungkan diri pada sesama manusia. Karena hal ini akan menyebabkan seseorang menjadi peminta-minta, menjadi pengemis yang selalu mengharapkan belas kasihan dan pemberian dari orang lain.
Begitu besarnya harapan yang tersimpan dalam diri mereka hingga mengabaikan rasa malu sebagai peminta-minta. Padahal tamak bisa menghilangkan rasa malu. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim yang dianjurkan untuk belajar wira'i berusaha sekuat tenaga mencari rezeki yang halal, meskipun tidak seberapa besar nilainya, asalkan usaha itu tidak melanggar agama.
Ketiga, wujudus sukun ilaihi, yaitu merasa tenang dengan apa yang diberikan oleh Allah. Bahwa hidup dengan kekayaan ataupun kesederhanaan itu semuanya dapat diterima dengan lapang dada. Kekurangan merupakan cobaan, pun kemewahan merupakan ujian dari-Nya. Bagaimanapun keadaan hidup di dunia ini diterima dan dijalani dengan tenang dan tentram.
Keempat, thuma'ninatul qalbi bihi , yaitu merasa tenang ketika ingat bahwa segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Allah. Ketika segalanya berjalan dan terjadi pada diri seseorang, ia akan mengembalikan kepada Allah sesuai pesan dalam Surat Ar-Ra'd ayat 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Oleh karena itu, empat langkah dasar di atas adalah sarana memagari diri agar tidak terlalu hanyut dalam pusaran dunia yang sangat kuat. Begitu pentingnya posisi wira’i hingga Rasulullah dalam salah satu haditsnya pernah berpesan sebagaimana diriwayatkan Imam Dailami:
لو صليتم حتى تكونوا كالحنايا وصمتم حتى تكونوا كالأوتاد لم يقبل الله منكم إلاّ بورع حاجز
Artinya: Walaupun kalian shalat seperti lengkung gapura (pintu masjid yang diumpamakan sampai bungkuk), dan kamu puasa hingga seperti tali tampar (karena saking kurusnya), semua itu tidak diterima oleh Allah swt jika tidak dibarengi dengan wira'i.