• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 29 Maret 2024

Keislaman

Hukum Niat Puasa Ramadlan Sebulan Penuh

Hukum Niat Puasa Ramadlan Sebulan Penuh
Niat puasa selama sebulan bisa dilakukan. (Foto: NOJ/PRj)
Niat puasa selama sebulan bisa dilakukan. (Foto: NOJ/PRj)

Ulama mazhab empat sepakat bahwa puasa Ramadlan wajib dimulai dengan niat. Hanya saja masing-masing berbeda pendapat mengenai teknis niatnya. Menurut tiga mazhab selain Malikiyyah, wajib mengulangi niat di setiap kali puasa.  Sedangkan menurut pendapat Malikiyyah cukup untuk menjamak (mengumpulkan) niat puasa sebulan di malam pertama bulan Ramadlan. Dengan demikian tidak mewajibkan mengulangi niat di hari berikutnya.

 

Pendapat Malikiyyah ini juga lazim dipakai di Indonesia. Meski penduduknya mayoritas penganut mazhab Syafi’i, tetapi dalam kasus niat puasa sebulan ini mereka dibimbing oleh para kiai dan masyayikh untuk mengadopsi teorinya mazhab Maliki dalam praktik niat di awal Ramadlan.  

 

 

Banyak di beberapa masjid dan mushala saat malam pertama Ramadlan masyarakat dibimbing oleh para tokohnya untuk bersama-sama melaksanakan niat puasa sebulan versi mazhab Malikiyyah.   

 

Namun demikian, tuntunan tersebut bukan berarti menyimpulkan tidak perlu niat di hari-hari berikutnya. Masyarakat tetap dibimbing untuk rutin melaksanakan niat puasa setiap hari. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah antisipasi bila mana di kemudian hari lupa niat, puasanya tetap sah dan bisa diteruskan, sebab dicukupkan dengan niat puasa sebulan penuh di awal Ramadlan. 

 

Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri KH A Idris Marzuqi—semoga Allah merahmatinya—di dalam karyanya Sabil al-Huda yang berisikan himpunan wadhifah dan amaliyah menegaskan:  

Untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika suatu saat lupa niat, sebaiknya pada hari pertama bulan Ramadlan berniat taqlid (mengikut) pada Imam Malik yang memperbolehkan niat puasa Ramadlan hanya pada permulaan saja. Dan adanya cara tersebut bukan berarti membuat kita tidak perlu lagi niat di setiap harinya, tetapi cukup hanya sebagai jalan keluar ketika benar-benar lupa. (KH A Idris Marzuqi, Sabil al-Huda, hal. 51).  

 

Di dalam kitab tersebut, ulama kharismatik dari Kediri tersebut mencontohkan lafadz niatnya sebagai berikut:

 

   نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى  

 

Artinya: Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadlan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardlu karena Allah. (terjemahan dari penulis).

 

Masalah Perempuan

Problem muncul ketika di awal Ramadlan tidak dapat menjalankan puasa, semisal perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Pertanyaannya adalah bisakah seseorang yang baru bisa berpuasa setelah hari pertama Ramadlan berniat puasa versi pendapat Imam Malik di atas?   

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu memahami konteks dan alasan mengapa pendapat Malikiyyah memperbolehkan menjamak niat di awal Ramadlan.  

 

Para fuqaha Malikiyyah menegaskan bahwa alasan dicukupkannya satu kali niat untuk puasa satu bulan adalah karena satu bulan penuh puasa Ramadlan dihukumi satu kesatuan, sehingga niat di awal Ramadlan sudah mencukupi untuk hari berikutnya.

 

Selama sebulan, umat Islam diwajibkan berpuasa tanpa ada jeda, seperti satu paket barang tanpa dicampuri sesuatu yang lain. Karenanya, mazhab Maliki membedakan antara puasa yang wajib dilakukan secara berkelanjutan tanpa ada jeda, seperti Ramadlan, dan jenis puasa yang tidak wajib dilakukan secara berkelanjutan, seperti qadla puasa Ramadlan.   

 

Puasa jenis pertama, karena dilakukan secara terus-menerus tanpa ada jeda berbuka, maka dihukumi satu kesatuan. Sedangkan jenis puasa kedua karena diperbolehkan untuk memberi jeda waktu tidak berpuasa, tidak dihukumi satu kesatuan antara satu puasa dengan puasa yan lain.   

 

Untuk puasa jenis kedua, bila diniati untuk dilakukan secara berkelanjutan, maka ulama Malikiyyah berbeda pendapat, sebagian versi menyatakan dihukumi satu kesatuan, sedangkan versi yang lain tidak dihukumi satu kesatuan.   Oleh karenanya, puasa Ramadlan boleh diniati secara jama’ (dikumpulkan) dalam satu hari, sedangkan untuk puasa qadla Ramadlan harus diniati sendiri-sendiri di setiap harinya.  

 

Syekh Muhammad bin Yusuf al-Ghurnathi, salah seorang pakar fiqih mazhab Maliki menegaskan:

 

   ـ (وكفت نية لما يجب تتابعه) اللخمي: أما ما تجب متابعته كرمضان وشهري الظهار وقتل النفس ومن نذر شيئا بعينه ومن نذر متابعة ما ليس بعينه فالنية في أوله لجميعه تجزئه.   

 

Artinya: Dan cukup niat sekali untuk puasa yang wajib dilakukan secara terus-menerus. Imam al-Lakhmi mengatakan, adapun puasa yang wajib dilakukan terus-menerus seperti Ramadlan, dua bulan puasa dhihar, puasa denda pembunuhan, orang yang bernazar puasa pada hari tertentu, orang yang bernazar terus-menerus berpuasa yang tidak ditentukan harinya, maka niat di awal mencukupi untuk keseluruhannya.

 

  ابن رشد: وأما ما كان من الصيام يجوز تفريقه كقضاء رمضان وصيامه في السفر وكفارة اليمين وفدية الأذى فالأظهر من الخلاف إذا نوى متابعة ذلك أن تجزئه نية واحدة يكون حكمها باقيا وإن زال عينها ما لم يقطعها بنية الفطر عامدا، وأما ما لم ينو متابعته من ذلك فلا خلاف أن عليه تجديد النية لكل يوم.  

 

Artinya: Ibnu Rusydi berkata, adapun puasa yang boleh dipisah seperti qadha Ramadlan, puasa Ramadlan saat bepergian, denda sumpah, fidyah al-adza (denda bagi orang ihram yang melanggar keharaman saat ihram), maka pendapat yang jelas dari ikhtilaf ulama bahwa bila ia bermaksud melakukan puasa tersebut secara terus-menerus, maka mencukupi baginya satu niat, hukum satu niat tersebut akan menetap meski hilang sosoknya selama tidak diputus dengan niat berbuka puasa secara sengaja. Adapun orang yang tidak berniat melakukannya secara terus-menerus, maka tidak ada ikhtilaf bahwa ia berkewajiban untuk memperbarui niat di setiap harinya. (Syekh Muhammad bin Yusuf al-Ghurnathi al-Maliki, al-Taj wa al-Iklil, juz.3, halaman 338).  

 

Mencermati referensi di atas, maka diperbolehkan bagi seseorang yang baru bisa berpuasa di hari kedua, ketiga, dan seterusnya untuk niat puasa sebulan sebagaimana tuntunan dalam mazhab Maliki. Sebab tidak ada Fariq (titik perbedaan) antara niat sebulan berpuasa di awal Ramadlan dan hari berikutnya. Di hari ke berapapun niat dilakukan, tetap masuk dalam sebuah titik temu, sepanjang hari bulan Ramadlan dihukumi seperti satu kesatuan.  

 

Dan seperti yang telah di jelaskan di atas, anjuran niat puasa sebulan mengikuti mazhab Maliki adalah sebagai langkah antisipasi mana kala di kemudian hari lupa niat puasa. Artinya niat puasa tetap rutin dilakukan di setiap hari.  

 

Demikian penjelasan mengenai permasalahan niat versi mazhab Maliki yang dapat kami sampaikan. Semoga kita diberi kelancaran dalam melakukan ibadah puasa.    

 

 

Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.​​


Editor:

Keislaman Terbaru