• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Ingin Terhindar dari Rezeki Syubhat? Bekerjalah

Ingin Terhindar dari Rezeki Syubhat? Bekerjalah
Suasana bekerja di kantor (foto:NOJ/mancode.id)
Suasana bekerja di kantor (foto:NOJ/mancode.id)

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan ragam anugerah yang tidak dimiliki makhluk lain, sehingga manusia sanggup berkreasi, bekerja dan melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya maupun orang lain. Misalkan, anugerah berupa tangan, kaki, akal menjadi alat untuk bekerja, berpikir dan berzikir.
 

Fitrah manusia tidak bisa dilepaskan dari aktivitas keseharian; ia bekerja mencari rezeki, berkegiatan untuk menopang ekonomi keluarga, yang hukumnya wajib sebagaimana hukum ibadah itu sendiri. Hal ini telah disepakati oleh ulama, bahwa bekerja dari kucuran keringat lebih utama daripada berdiam diri hanya untuk berzikir.


Terlebih bagi mereka yang telah berkeluarga, mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban memberi nafkah terhadap anak dan istri yang tentunya nafkah bisa didapat oleh seseorang yang mau bekerja. 


Selain itu dengan bekerja seseorang dapat terhindar dari menggantungkan diri pada orang lain (thama’) dan juga menghindarkan diri dari perbuatan meminta-minta. Dalam Surat al-Jumu’ah ayat 10 Allah berfiman:


 فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 


Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka menyebarlah kalian (untuk bekerja) di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan selalu ingatlah kepada Allah supaya kalian beruntung. 


Ayat ini menegaskan betapa pentingnya bekerja disertai dengan berdoa, karena sesungguhnya al-barakatu ma’al harakah bahwa keberkahan itu akan hadir bersama dengan mereka yang beraktivitas, bekerja.


Dengan kata lain ketika seseorang memiliki kemauan untuk bekerja, maka disitu Allah telah menyediakan keberkahan. Dari sini juga mengandung pelajaran bahwa Islam sangat membenci orang yang hanya berpangku tangan dan meminta-minta.


Ibrahim al-Matbuly pernah berpendapat bahwa orang fakir yang tekun beribadah (kurang berusaha) sedang dia tidak memiliki pekerjaan karena waktunya habis digunakan beribadah ibarat burung hantu yang berdiam di rumah kosong. 


Bahkan dengan sedikit agak keras Al-matbuli berkata: 


وَالمُؤْمِنُ المُخْتِرِفُ اَكْمَلُ عِنْدِى مِنَ المَجَاذِيْبْ مِنْ مَشَايِخِ الزَّوَاَيا الذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ بِدِيْنِهِمْ وَلَيْسَ بِيَدِهِمْ حِرْفَةٌ دُنْيَوِيَّةٌ تَعَفُّهُمْ عَنْ صَدَقَاتِ النَّاسِ وَاَوْسَاخِهِمْ


Artinya: Menurut hemat saya, seorang mu’min yang bekerja adalah lebih sempurna dari pada orang jadzab (seorang yang dalam dunia sufi dipahami sebagai orang yang selalu terlena dengan Allah) seperti masyayikh pemangku jabatan yang makan menggunakan nama agama, sebab mereka tidak memiliki pekerjaan duniawi yang bisa memelihara diri (menyaring) dari menerima pemberian pengikutnya dan harta (kotor) mereka.


Pendapat Al-Matbuli ini mengandung arti bahwa pekerjaan mencari nafkah adalah bentuk tanggung jawab bagi siapapun, meskipun kemudian diserahkan kepada orang lain. Misal, pekerjaan yang dipasrahkan kepada orang lain untuk kemudian dikelola menggunakan system kerjasama, maupun bagi hasil. Mengingat pekerjaan juga memiliki jenis berbeda-beda.


Secara garis besar, perkataan itu mengandung pesan bahwa bekerja dengan usaha sendiri adalah sebuah kemuliaan. Karena disitulah seseorang dapat mengukur dan memastikan status rezeki yang mereka terima, apakah itu dari hasil yang halal, haram ataukah syubhat. Memang menerima pemberian orang lain secara tulus tidak dilarang, akan tetapi tindakan hati-hati (preventif) dalam menerima pemberian orang lain sangat diutamakan agar tidak mengkonsumsi barang syubhat.


Editor:

Keislaman Terbaru