• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Keislaman

Tren Memosting Sedekah, Pamer atau Ikhlas? 

Tren Memosting Sedekah, Pamer atau Ikhlas? 
Doni Salmanan memberikan sedekah kepada warga di tengah PPKM. (Foto: NOJ/KLp)
Doni Salmanan memberikan sedekah kepada warga di tengah PPKM. (Foto: NOJ/KLp)

Saat ini sudah jamak disaksikan seseorang mempublikasikan ibadah yang dilakukan, termasuk ketika bersedekah. Lewat video yang dipublikasikan di media maupun diunggah di media sosial, akhirnya publik menjadi tahu bahwa yang bersangkutan telah bersedekah.

 

Beberapa tayangan yang viral telah menunjukkan bahwa betapa kekuatan media demikian dahsyat. Pun demikian, imbas dari pemuatan tersebut, tidak sedikit yang tergerak hati untuk memberikan sumbangan kepada yang layak dibantu. Dan bukan tidak mungkin, kegiatan serupa juga dilakukan pihak lain.

 

Sebut saja Doni Salmanan, belakangan menjadi sorotan netizen lantaran perilakunya yang memberikan uang untuk orang-orang. Beredar video yang memperlihatkan aksinya saat membagikan sejumlah uang di Bandung, Jawa Barat.

 

Padahal dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa kelak pada hari kiamat Allah SWT akan memberikan perlindungan kepada 7 golongan orang. Salah satunya adalah kalangan yang semasa hidupnya suka bersedekah sedemikian rupa sehingga tidak diketahui orang lain. Dalam hadits itu disebutkan bahwa ketika tangan kanan memberikan sedekah, tangan kiri tidak mengetahuinya. 

 

Tangan kiri dalam hadits tersebut dipahami sebagai perumpamaan orang lain. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah tersebut  berbunyi:

 

ورجل تصدق بصدقة فاخفاها حتى لا تعلم شماله ما صنعت يمينه 

 

Artinya: Seseorang yang mengeluarkan sedekah lantas disembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya. 

 

 

Hadits tersebut pada umumnya dipahami seperti itu, yakni sedekah yang paling baik adalah yang tidak diketahui orang lain. Atas dasar pemahaman seperti itu, maka tidak jarang kita mendengar atau menemukan  daftar penyumbang anonim, yakni seseorang memberikan sedekah atau sumbangan dengan tidak mencantumkan namanya; atau dengan mengidentifikasi diri sebagai 'hamba Allah’.   

 

Pemahaman seperti itu memang sudah jamak. Namun, jika pemahaman seperti itu yang benar, maka pertanyaanya bagaimanakah sikap kita ketika kita disodori list atau daftar penyumbang di mana nama penyumbang dan besarnya sumbangan dicantumkan secara jelas? Bagaimana pula ketika kita berada di masjid, misalnya, kita disodori kotak infak berjalan? Apakah sebaiknya menolak  mengisi kotak infak dengan alasan khawatir tidak ikhlas karena dilihat banyak orang? 

 

Tafsir Pamer Sedekah

Untuk menjawab persoalan-persoalan di atas, marilah kita telaah sampai dimana pemahaman seperti itu bisa diterima. Dan untuk maksud tersebut, akan disertakan ayat-ayat Al-Qur’an  sebagai dasar rujukan, atau sering disebut dengan dalil naqli dan  logika yang sering disebut dengan dalil aqli

 

Sebelum menjawab sejumlah pertanyaan di atas secara panjang lebar, disampaikan jawaban sementara bahwa pemahaman tangan kiri adalah perumpamaan orang lain bukanlah pemahaman yang tepat. Argumentasinya adalah: Pertama, tangan kiri jika dikaitkan dengan tangan kanan sebagaimana disebut dalam hadits di atas, kurang tepat jika ditafsirkan sebagai orang lain. Alasannya, tangan kiri dan tangan kanan merupakan pasangan anggota badan yang terdapat dalam diri seseorang, sebagaimana telinga kiri berpasangan dengan telinga kanan,  kaki kiri berpasangan dengan kaki kanan, dan seterusnya. Singkatnya, tangan kiri bukanah orang lain, tetapi bagian dari diri sendiri dalam satu tubuh. 

 

Kedua, dalam Al-Qur’an kata 'kanan’ sering dikaitkan dengan ‘kebaikan’, dan kata ‘kiri’ dikaitkan dengan ‘keburukan’. Sebagai contoh, dalam surah Al-Waqi’ah, ayat 27, terdapat istilah ashabul yamin (artinya golongan kanan);  dan dalam ayat 41 terdapat istilah ashabus syimal (artinya golongan kiri).

 

Yang dimaksud ashabul yamin adalah orang-orang baik yang menerima buku catatan amal dengan tangan kanan dan oleh karena itu mereka masuk surga. Sedangkan ashabus syimal adalah orang-orang jelek yang menerima catatan amalnya dengan tangan kiri, dan karena itu mereka masuk neraka  sebelum kemudian masuk surga setelah masa hukumannya habis terlebih dahulu. Singkatnya, kanan berarti baik dan kiri berarti buruk atau jelek. Dalam kaitan dengan hadits di atas, jika tangan kiri diartikan sebagai orang lain, maka arti itu kurang tepat. 

 

Ketiga, sehubungan dengan makna-makna tersebut, maka  tangan kanan dalam hadits di atas dapat diartikan sebagai  simbol positif berupa amal sedekah kepada orang lain dengan dilandasi niat yang baik. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan tangan kanan adalah perbuatan baik yang didorong oleh keinginan yang baik, yakni niat ikhlas beribadah semata-mata untuk mencari ridla Allah SWT. Inilah yang sering disebut dengan nafsul muthmainnah, yakni nafsu yang baik. 

 

Sedangkan tangan kiri adalah simbol negatif berupa kejelekan yang didorong oleh keinginan yang jelek, seperti riya’, pamrih dan sombong. Inilah yang sering disebut dengan nafsul ammarah bis suu’, yakni nafsu yang jelek. 

 

Keempat, apakah sedekah yang dilakukan secara rahasia dan tidak diketahui orang lain dijamin pasti lebih baik dari pada yang dilakukan secara terbuka? Jawabannya, belum tentu. Sebab, baik buruk suatu amal tergantung pada keikhlasan, sedangkan keikhlasan itu terletak di dalam hati. Bisa saja seseorang bersedekah dengan menggunakan anonim, seperti hamba Allah, tetapi dalam hati sebenarnya ia sangat membanggakannya. Ini bisa berarti riya’, yang berarti pula tidak ikhlas. 

 

Demikian sebaliknya, bisa saja seseorang bersedekah secara terbuka dengan mencantumkan nama yang jelas dan diketahui orang banyak, tetapi dalam hatinya tidak ada rasa pamer sedikitpun dan jauh dari keinginan untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Bukankah yang disebut terakhir itu lebih baik dari pada yang disebut pertama? 

 

Kelima, Al-Qur’an menyilakan sedekah dilakukan secara terbuka atau terang-terangan sebagaimana diperbolehkannya sedekah secara rahasia atau tertutup. Hal itu sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Baqarah, ayat  274:


 الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرّاً وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ 

 

Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 

 

Berdasar pada ayat di atas, maka sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara sedekah yang dilakukan secara sirri atau rahasia dengan sedekah yang dilakukan secara terbuka atau terang-terangan. Al-Qur’an  mengakui keabsahan dan kebaikan keduanya meski beberapa ulama berpendapat bahwa sedekah untuk pribadi lebih baik tidak diketahui orang lain untuk menjaga privasi pihak penerima.

 

Jika demikian halnya, maka sejatinya yang terpenting dalam bersedekah adalah keikhlasan atau niat tulus dan bersih dari keinginan-keinginan duniawi, seperti mendapatkan balasan yang lebih banyak; meraih pujian dari orang lain; berharap popularitas di tengah masyarakat; atau pencitraan dengan maksud tertentu. Keikhlasan seperti itu hanya bisa dicapai ketika seseorang dalam bersedekah menyembunyikan tangan kanannya agar tidak diketahui oleh tangan kirinya. Maksudnya,  jangan sampai sedekah yang dilakukan dengan  niat samata-mata beribadah kepada Allah, dirusak oleh nafsu jelek yang ada dalam diri sendiri. 

 

Untuk itu, ada baiknya adakan upaya melupakan setiap sedekah yang telah dilakukan agar keikhlasan benar-benar terjaga. Artinya, tidak perlu mengingat-ingat kembali sedekah yang telah dikeluarkan seberapapun banyaknya. Sebab, hal itu sama saja dengan membuka peluang bagi tangan kiri atau nafsu jelek untuk merusak keikhlasannya.  

 

Jika kita telah mampu melupakannya, dalam arti benar-benar dapat mengendalikan tangan kiri, maka goda-godaan apapun, baik yang berasal dari dalam diri sendiri maupun luar, tidak akan mampu mempengaruhi keikhlasan. Jika hal tersebut bisa dicapai, maka itulah yang dimaksud merahasiakan sedekah demi mencapai keikhlasan yang optimal. Bukan merahasiakan terhadap orang lain, tetapi terhadap nafsunya sendiri yang disimbolkan dengan tangan kiri. Ketika ikhlas, maka tidak ada persoalan apakah sedekah didermakan secara terbuka dengan diketahui pihak lain, atau  dilakukan secara rahasia tanpa diketahui orang lain. 

 

Singkatnya, dalam bersedekah tantangan sebenarnya adalah diri sendiri dan bukan orang lain. Yakni bagaimana bisa bersedekah secara ikhlas dalam arti yang sebenarnya. Dengan aneka argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang  dimaksud tangan kiri dalam hadits di atas adalah nafsu sendiri yang disebut nafsul amamrah bis suu’.  

 

Dengan demikian, jika tangan kiri dipahami sebagai orang lain dan sedekah dianggap lebih baik apabila dirahasiakan dari orang lain, maka pemahaman itu kurang tepat. Apalagi sekarang manajemen modern menuntut adanya transparansi dan akuntabiltas, terutama dalam laporan-laporan keuangan. Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan peraturan tentang pedoman pelaporan dana kampanye. Dalam peraturan itu, seorang penyumbang dana untuk partai politik tidak diperkenankan menggunakan anonim, seperti hamba Allah. Alasannya, untuk mencegah dana yang diterima partai politik termasuk dalam unsur pidana, seperti uang dari perbuatan korupsi dengan tujuan money laundry, dan sebagainya.

 

Muhammad Ishom adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.


Editor:

Keislaman Terbaru