Rais Aam PBNU: Haul Upaya Rawat Warisan Ilmu dan Keteladanan Ulama
Senin, 9 Juni 2025 | 13:00 WIB

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat Haul Akbar Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Gondanglegi, Malang, Ahad (08/06/2025). (Foto: NOJ/ Dok. Prokopim Pemkab Malang)
Moch Miftachur Rizki
Kontributor
Malang, NU Online Jatim
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar, menyampaikan bahwa haul merupakan upaya untuk merawat warisan ilmu dan keteladanan ulama. Dikatakan, haul bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan momen spiritual yang mencerminkan kerinduan umat kepada ulama dan masa-masa keemasan ketika mereka masih hidup.
Penegasan itu disampaikan saat mauidhoh hasanah pada acara Haul Akbar Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Gondanglegi, Kabupaten Malang, Ahad (08/06/2025).
“Haul adalah bentuk kerinduan, bentuk tasawuf. Kita seolah ingin kembali ke masa ketika para ashabul haul hidup dan mengabdikan diri untuk kemaslahatan umat. Mereka hadir untuk memberi solusi atas berbagai persoalan masyarakat,” ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Surabaya itu menyebutkan, wafatnya ulama merupakan bentuk pencabutan ilmu oleh Allah SWT. Menurutnya, ilmu tidak hilang secara langsung, melainkan dicabut perlahan-lahan seiring berpulangnya para ulama yang menjadi pewaris ilmu kenabian.
“Ilmu yang mereka miliki bukan sekadar pengetahuan, tetapi ilmu yang disertai nur (cahaya), dibarengi dengan khasyatullah, yakni rasa takut kepada Allah. Maka, nasihat dan perilaku para ulama membawa maslahat bagi umat, bukan untuk kepentingan pribadi,” ungkapnya.
Ia menambahkan, ulama memiliki dua ciri utama sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Pertama, seluruh amal, ucapan, dan langkah para ulama selalu berlandaskan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Kedua, mereka senantiasa memandang umat dengan kasih sayang, mengedepankan kepentingan masyarakat di atas segalanya.
“Dengan dua ciri itu, para ulama tidak akan melenceng dari jalan lurus. Mereka menjadi pelita umat. Dan inilah yang sedang kita kenang dalam haul kali ini. Mereka tidak hanya dikenang karena keilmuannya, tetapi juga karena kepedulian dan keteladanan hidupnya,” terangnya.
Kiai Miftach juga mengutip pendapat Imam Sahl bin Abdullah At-Tustari, yang hidup pada abad ketiga Hijriyah. Pada masa itu, At-Tustari menyatakan bahwa kondisi manusia sudah mengalami kerusakan moral dan spiritual, meskipun zaman tersebut masih tergolong khairul qurun (masa terbaik umat Islam).
“Kalau pada abad ketiga saja ulama sudah menyebut manusia dalam keadaan rusak, apalagi sekarang, ketika kita berada di abad ke-15 Hijriyah. Kerusakan moral makin parah, dan bahkan para ulama pun berada dalam kebingungan,” ucapnya.
Fenomena Sosial dan Pergeseran Nilai
Selain itu, Kiai Miftach menyoroti fenomena sosial dewasa ini yang dipenuhi oleh ketidakpastian nilai. Banyak orang dengan pengetahuan dangkal namun percaya diri berbicara atas nama umat. Mereka bahkan menjadi sumber informasi utama di media sosial dan media informasi lainnya.
“Ini yang disebut Nabi Muhammad sebagai zaman munculnya Ruwaibidhah. Mereka adalah orang-orang yang rendah akhlak dan ilmu, tetapi gemar berbicara tentang urusan umat seakan-akan paling tahu dan paling benar,” lanjutnya.
Ia menyebutkan, kondisi ini menandakan terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat. Orang benar dianggap salah, dan begitu pula sebaliknya. Orang yang bisa dipercaya justru dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat dipuja seolah bisa dipercaya.
“Rasulullah telah memberi peringatan bahwa akan datang zaman yang penuh tipu daya. Kita sekarang hidup di zaman itu. Maka, haul ini penting, karena menjadi pengingat akan nilai-nilai yang diwariskan para ulama, yang kini semakin langka,” tegasnya.
Dirinya juga menyinggung tentang pertumbuhan pondok pesantren di berbagai daerah yang jumlahnya terus meningkat. Meski secara kuantitas menggembirakan, namun kualitas keilmuan tetap menjadi tantangan besar, terutama dengan wafatnya para ulama besar yang menjadi panutan.
“Pondok-pondok memang terus berkembang. Tapi banyaknya ulama yang sudah ditimbali oleh Allah menunjukkan bahwa ilmu makin menyusut. Kita tidak tahu tinggal berapa persen dari ilmu yang diwariskan Rasulullah yang benar-benar masih ada dan dipraktikkan,” kata Kiai Miftach.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya memperingati haul sebagai sarana menghidupkan kembali semangat meneladani ulama. Haul bukan hanya momentum nostalgia, tetapi juga kesempatan untuk belajar dari kisah-kisah kehidupan para ulama, yang penuh hikmah dan pengorbanan.
“Untung kita masih memiliki tradisi haul. Dari sini kita bisa mengenang dan memahami kembali amalan-amalan para ulama. Kisah mereka harus terus diceritakan, diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab, kisah ini penting. Sangat penting. Agar kita tidak kehilangan arah,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH M Syafi’ Misbah Pengasuh Pesantren Al Hidayah Tanggulangin Sidoarjo Wafat di Makkah
2
3 Amalan Sunnah Istimewa di Hari Tasyrik
3
Amalan-amalan Sunnah Hari Tasyrik, di Antaranya Makan dan Minum
4
PCNU Nganjuk Terima Hewan Kurban dari Paguyuban Marga Tionghoa
5
KH Mutawakkil Alallah Ajak Umat Islam Resapi Makna Idul Adha
6
PCINU Rusia dan Lazawa Darul Hikam Sinergi Adakan Kurban di Moskow-Kazan
Terkini
Lihat Semua