• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Metropolis

Ketua LD PBNU: Hindari Politik Identitas di Pemilu 2024

Ketua LD PBNU: Hindari Politik Identitas di Pemilu 2024
Ketua LD PBNU KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab. (Foto: NOJ/ Istimewa)
Ketua LD PBNU KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Surabaya, NU Online Jatim

Politik identitas menjadi bahan di beberapa gelaran kontestasi pemilihan umum belakangan ini. Untuk itu, Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab meminta para dai dan tokoh agama untuk menghindari politik identitas di pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang.

 

Penegasan itu disampaikan Gus Aab kepada NU Online, usai acara Halal Bihalal dan Silaturahim LD PBNU. Kegiatan tersebut dipusatkan di lantai 8 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Rabu (10/05/2023).

 

“Hindarilah politik identitas, apalagi yang menjadikan agama sebagai komoditas, karena itu yang berpotensi besar untuk terciptanya keretakan sosial dan perpecahan di tengah-tengah umat,” kata Gus Aab.

 

Pengasuh Pesantren Darul Arifin Jember itu menyebutkan, dai dan tokoh agama memiliki peran sangat penting untuk menjaga kondusivitas kehidupan umat beragama di Indonesia, baik dalam hubungan antaragama, di internal satu agama, dan hubungan dalam kehidupan bernegara sebagai sesama anak bangsa.

 

“Hindari hal-hal yang bisa menimbulkan konflik horizontal, apalagi dengan membawa simbol-simbol agama pada tempat yang kurang tepat. Sehingga di situlah seharusnya mereka menjadi perekat, bukan malah menjadi pemicu perpecahan umat,” ucapnya.

 

Menjelang tahun politik atau Pemilu pada 2024, ia mengajak para dai dan tokoh agama agar memiliki semangat untuk tetap menjalin persatuan dan kesatuan, menjaga umat dalam bingkai persaudaraan untuk memantapkan pelayanan kepada umat, sekaligus menjaga kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

“Perpecahan di tengah masyarakat bisa terjadi ketika peran agama tidak ditempatkan sebagaimana mestinya,” tegas Gus Aab.

 

Dirinya menuturkan bahwa agama seharusnya menjadi pemersatu, penyejuk, pendamai. Ia yakin, siapa pun yang mampu memegang nilai-nilai agama dengan baik maka akan mampu bersikap toleran dalam menyikapi perbedaan.

 

“Karena perbedaan itu adalah suatu keniscayaan di dalam kontestasi politik, di dalam berbagai tingkatan. Kita ini dalam lima tahun akan menghadapi banyak pil-pilan, bisa lebih dari 5 kali seandainya tidak ada penyatuan ini. Mulai dari pilpres, pileg, pilgub, pilbup, bahkan pilkades, sampai kepada pilihan kampung, RT/RW,” terangnya.

 

Saat para tokoh agama tidak mampu menyikapi berbagai perbedaan di dalam kontestasi politik itu secara dewasa, maka akan muncul potensi konflik dan menyebabkan terciptanya keretakan sosial.

 

“Nah di situlah peran tokoh agama (yaitu) untuk memberikan kedewasaan di dalam berpolitik, di dalam menjaga prinsip al-ittihad fil ittifaq (bersatu di dalam kesamaan pilihan), ketika itu tidak mampu dijaga maka al-ittihad fil ikhtilaf (tetap bersatu dalam perbedaan). Karena perbedaan itu adalah keniscayaan,” tuturnya.

 

Jika para dai dan tokoh agama sudah mampu berperan secara baik dalam menyikapi perbedaan di tengah masyarakat, maka perbedaan yang ada tidak akan berujung pada perpecahan tetapi justru menjadi rahmat bagi semua pihak karena kedewasaan dalam mengambil sikap.

 

“Etika di dalam berpolitik harus tetap dijaga karena yang dijunjung tinggi adalah keutuhan berbangsa dan bernegara. Ini adalah proses untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Jangan sampai (perbedaan pilihan politik) menjadi penyebab terjadinya kehancuran dan kemunduran,” pungkasnya.


Metropolis Terbaru