• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Opini

Al-Zaytun dan Akar Sejarah NII di Indonesia

Al-Zaytun dan Akar Sejarah NII di Indonesia
Ilustrasi Al-Zaytun. (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi Al-Zaytun. (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Muhammad Alwi Hasan *)

Viralnya Al-Zaytun baru-baru ini banyak menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya pengguna media sosial. Tak sedikit netizen mengaitkan lembaga tersebut dengan gerakan NII KW IX. Hal ini karena pimpinan Al-Zaytun Panji Gumilang diyakini ikut terlibat dalam gerakan dan menyebarkan paham NII KW IX di Indonesia.

 

Bukan pertama kalinya Al-Zaytun membuat gaduh dan kontroversi publik, setidaknya pada tahun 2011 dilansir dari BBC News (diunggah 10 Mei 2011), Al-Zaytun pernah diindikasikan menjadi tempat markas NII KW IX. Bahkan kawasan Al-Zaytun dijadikan ‘Ibu Kota’ NII KW IX.

 

Fenomena tersebut, tentu berdampak pada polemik dan perdebatan tentang NII atau Negara Islam Indonesia, yang merupakan gerakan radikalisme pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Gerakan NII dimulai pada tanggal 7 Agustus 1949 yang diawali dengan memproklamasikan berdirinya Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (NKA-NII) atau disebut juga sebagai Darul Islam (rumah, wilayah, negara Islam) dan disingkat dengan DI.

 

Gerakan ini dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (selanjutnya disingkat SM), salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat. Dalam sejarahnya gerakan NII dibubarkan pada tanggal 2 September 1962 yang pada waktu itu Indonesia dipimpin Presiden Soekarno. Akan tetapi, NII dalam perkembangannya telah berevolusi sehingga terjadi gerakan yang berbeda dari pemimpin pertamanya (pendiri) yakni Kartosoewirjo. Gerakan ini disebut juga NII KW IX yang sekarang menjadi polemik publik karena diduga berafiliasi dengan Al-Zaytun.

 

Menengok Akar Sejarah NII

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang kala itu baru memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. NII atau DI memiliki tentara sendiri, yaitu Tentara Islam Indonesia (TII) yang merupakan bentukan dari laskar Hizbullah dan Sabilillah.

 

Secara historis Perkembangan NII terbagi menjadi tiga periode. Pertama, adalah periode gerakan bersenjata (1947-1962). Periode ini dimulai pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta serta penguasaan DI-TII terhadap Jawa Barat yang dianggapnya sebagai wilayah tanpa kekuasaan (vacuum of Power). Periode ini berakhir dengan eksekusi mati MS Kartosoewirjo oleh pemerintah pada tanggal 5 September 1962. Di periode pertama ini NII menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureu’eh, Kalimantan dipimpin Ibnu Hadjar, Jawa Tengah dipimpin Amir Fattah, dan Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakkar.

 

Periode kedua terjadi sekitar tahun 1963-1996. Pimpinan NII pada waktu itu bersifat kolegial, kemudian NII dipimpin oleh Daud Beureuh. Periode ini berakhir dengan penyerahan tongkat imamah dari Adah Djaelani kepada Abu Toto Abdus Salam. Pada periode ini, NII terpecah pecah menjadi beberapa faksi.

 

Periode ketiga adalah periode Al-Kahfi (gerakan bawah tanah), yakni ketika NII di bawah kepemimpinan Abu Toto Abdus Salam sampai sekarang. Karena Abu Toto merupakan komandan NII Komandemen Wilayah IX, NII yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan NII KW IX.

 

NII KW IX ini ditengarai telah melakukan penyimpangan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan tujuan untuk menjustifikasi pendapat-pendapat mereka dalam kerangka mendirikan Negara Islam. Abu Toto inilah yang sekarang banyak diperbincangkan publik karena diyakini sebagai nama lain dari Panji Gumilang (PG) yang merupakan pimpinan Pesantren Al-Zaytun.

 

Perbedaan NII KW IX dan NII Kartosoewirjo

Antara NII KW IX maupun NII Kartosoewirjo sebenarnya memiliki kesamaan ideologi dan tujuan, hanya saja terdapat beberapa perbedaan terutama terkait gerakan yang dilakukan. Pertama, perbedaan mendasar NII KW IX dan NII Kartosoewirjo adalah soal gerakan di mana NII KW IX ini lebih tertutup dan ekslusif , serta lebih mengutamakan gerakan berbasis pendidikan. Berbeda dengan NII Kartosoewirjo yang lebih terbuka dan militer (gerakan bersenjata).

 

Kedua, adalah doktrin negara. NII KW IX dalam doktrin sistem kenegaraan lebih menganut pada sistem Khilafah yang dimulai dengan Jumuãriyyah (Republik). Berbeda dengan NII Kartosoewirjo yang lebih menganut sistem negara Jumhãriyyah atau Republik.

 

Ketiga, adalah akidah dan fiqih. Secara akidah dan fiqih salah satu perbedaan NII KW IX dengan NII Kartosuwirjo salah satunya adalah sumber ajaran Islam Al-Qur’an dan Hadits yang ditafsirkan dengan perspektif politik dan sangat pragmatis. Hal ini karena bertujuan untuk menjustifikasi kebijaksanaan dan gerakan NII KW IX, yang berbeda dengan NII Kartosoewirjo yang menafsirkannya dengan istinbath hukum sebagaimana cara ulama Salafi (Wahabi).

 

Dalam aspek ibadah ritual fiqih juga terdapat perbedaan mendasar, terutama masalah shalat. NII KW IX meninggalkan shalat karena dianggap belum wajib. Shalat yang diwajibkan adalah shalat aqim ad-dan, yakni menegakkan negara Islam. Juga ada pembaharuan di bidang fitrah, dari semula harakah Ramadhan dan kurban menjadi harakah kurban. Berbeda dengan NII Kartosoewirjo, mereka melaksanakan shalat, karena shalat dianggap kewajiban utama, bahkan dibuat undang-undang atau sanksi bagi yang meninggalkan shalat.

 

Keterancaman Indonesia

NII KW IX maupun NII Kartosoewirjo merupakan sebuah ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NII KW IX yang sekarang ini viral dan disebut berafiliasi dengan Al-Zaytun justru menimbulkan masalah baru bagi bangsa Indonesia, yakni berhadapan dengan kaum propagandis dan radikalis seperti Panji Gumilang alias PG.

 

Pernyataan- pernyataan yang dilontarkan oleh PG yang viral belakangan ini, tentu sangat tidak dibenarkan secara substantif dan justru membuat Islam menjadi eksklusif. Padahal hakikatnya justru bermula dari menampilkan Islam eksklusif inilah yang menjadi benih subur munculnya gerakan radikal atas nama agama.

 

Terlepas dari itu semua, seharusnya pemerintah harus menindaklanjuti dengan tegas, mengingat Al-Zaytun tidak hanya pertama kali muncul ke muka publik dan membuat kontroversi. Hal itu agar masyarakat tidak beranggapan bahwa kemunculan Al-Zaytun ini tidak memiliki keterkaitan dengan percaturan politik Indonesia tahun 2024 mendatang.

 

*) Muhammad Alwi Hasan, Ketua Biro Kajian Islam dan Dakwah PC PMII Surabaya.


Opini Terbaru