• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 15 Oktober 2024

Opini

Masih Adakah Dikotomi Sekolah Swasta dan Negeri?

Masih Adakah Dikotomi Sekolah Swasta dan Negeri?
Dalam UUD 1945, tidak ada frasa swasta dan negeri ketika membahas pendidikan. (Foto: NOJ/manusidoarjo.sch.id)
Dalam UUD 1945, tidak ada frasa swasta dan negeri ketika membahas pendidikan. (Foto: NOJ/manusidoarjo.sch.id)

Akhir bulan Juni dan awal bulan Juli seperti sekarang ini orang tua dan peserta didik berbondong-bondong untuk berusaha masuk di sekolah negeri dengan berbagai cara. Namun, ketika tidak berhasil barulah mencari sekolah swasta, seakan sekolah swasta adalah sekolah nomor dua setelah negeri.

 

Perbedaan antara sekolah swasta dan sekolah negeri dalam dunia pendidikan kita telah ada sejak lama. Bahkan di antara sekolah swasta sendiri, terdapat perbedaan antara sekolah swasta yang berkualitas dan sekolah swasta yang kurang berkualitas.

 

Dikotomi ini telah menjadi pandangan banyak masyarakat kita dan menjadi sesuatu yang diterima sebagai bagian dari sistem pendidikan, sehingga sering kali tidak dipersoalkan. Padahal dalam Undang-undang Dasar 1945, tidak ada frasa "swasta" dan "negeri" ketika membahas pendidikan.

 

Sekolah negeri sepenuhnya dimiliki dan didanai oleh negara atau pemerintah pusat ataupun daerah, sedangkan sekolah swasta sepenuhnya dimiliki dan didanai oleh individu, yayasan atau masyarakat.

 

Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, disebutkan dengan jelas bahwa tugas negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan hal itu hanya dapat tercapai melalui pendidikan. Frasa "swasta" dan "negeri" dalam konteks pendidikan baru muncul dalam semua undang-undang dan peraturan turunannya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perbedaan antara sekolah negeri dan swasta, di mana sekolah negeri dimiliki oleh pemerintah dan sekolah swasta dimiliki oleh swasta, baik itu individu, yayasan maupun masyarakat, telah menyebabkan pemerintah memberikan perhatian yang berbeda terhadap keduanya.

 

Meskipun ada beberapa sekolah swasta yang sangat baik, namun jumlahnya terbatas. Sekolah swasta yang dianggap berkualitas umumnya memiliki biaya sekolah yang sangat mahal, sehingga tidak semua anak dapat mengaksesnya. Kesempatan itu hanya tersedia bagi anak-anak dari keluarga berada. Sementara itu, anak-anak dari keluarga yang kurang mampu yang tidak diterima di sekolah negeri sering kali bersekolah di sekolah swasta yang dianggap kurang berkualitas.

 

Pertanyaannya adalah, apakah hanya anak-anak dari kalangan berada yang berhak mendapatkan pendidikan terbaik? Apakah kemerdekaan bangsa ini hanya untuk mereka yang berada? Ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan dari negara terhadap warganya.

 

Meskipun negara kita didasarkan pada Pancasila, dimana salah satu silanya menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi dengan adanya dikotomi ini, sekolah swasta yang dianggap kurang berkualitas berada dalam situasi yang sulit. Pemerintah seolah-olah mengabaikan keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh sekolah swasta ini.

 

Pendapatan sekolah swasta berasal dari uang sekolah yang dibayarkan setiap bulan oleh siswa. Namun, biaya sekolah tidak dapat ditetapkan terlalu tinggi, karena jika demikian, semua siswa akan beralih ke sekolah negeri. Guru-guru yang mengajar di sekolah swasta juga menghadapi kondisi yang sulit. Gaji yang rendah menyebabkan mereka menderita, padahal tugas mereka sama dengan guru-guru yang digaji oleh pemerintah, yaitu mencerdaskan anak bangsa.

 

Sementara itu, sekolah negeri memiliki fasilitas dan sarana yang disediakan oleh pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Ketimpangan ini sudah ada sejak lama, namun pemerintah tampaknya tidak mengindahkan keluhan dan kesulitan yang dialami oleh sekolah swasta.

 

Pemerintah juga sepertinya juga abai bagaimana sekolah swasta dahulunya berjuang didaerah-daerah yang belum terjamah oleh sekolah negeri, sebelum sekolah negeri ada sekolah swasta sudah berusaha mewujudkan cita-cita undang-undang yaitu mencerdaskan anak bangsa. Akan tetapi setelah daerah tersebut sudah mulai berdaya pemerintah mendirikan sekolah negeri dekat dengan sekolah swasta yang sedikit demi sedikit mematikan sekolah swasta tersebut, bukan hanya mendirikan sekolah negeri di dekat sekolah swasta tersebut melainkan terkadang mengakuisisi sekolah swasta menjadi sekolah negeri.

 

Salah satu alasan yang sering dipakai oleh pemerintah ketika mendirikan sekolah negeri adalah “ini adalah bentuk hadirnya negara dalam dunia pendidikan”, pemerintah terkadang lupa bahwa bentuk hadirnya negara dalam dunia pendidikan bukan hanya mendirikan sekolah negeri akan tetapi bagaimana para guru baik di sekolah swasta dan negeri bisa mempunyai pendapat yang layak, yang terkadang pada praktik di lapangan setiap darah mempunyai kebijakan yang berbeda-beda sesuai dengan otonominya masing-masing.

 

Contohnya SMA/SMK tidak mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda) dari kabupaten atau kota seperti SD dan SMP akan tetapi mendapatkan bantuan dari provinsi berupa Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) yang mana itu juga tidak sepadan dengan Bosda, belum lagi guru-gurunya yang juga menunggu kebijakan dari provinsi dan sering sangat merugikan para guru   tersebut. Ini pun belum membahas bagaimana sekolah di bawah naungan kementerian agama atau yang dikenal dengan madrasah.

 

Selain itu, dikotomi antara sekolah swasta dan negeri juga terlihat dalam penempatan guru negeri. Padahal, baik sekolah swasta maupun negeri, keduanya memiliki tugas yang sama dalam mendidik anak-anak bangsa ini.

 

Jika pemerintah serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara merata di seluruh negeri, maka pemerintah juga harus memperhatikan sekolah swasta, data kebutuhan guru yang dikeluarkan oleh pemerintah apakah itu data kebutuhan guru yang ada di sekolah baik swasta atau negeri atau hanya sekolah negeri saja? Karena sampai sekarang setahu penulis, sekolah swasta tidak pernah diajak ataupun ditanya tentang data kebutuhan guru.

 

Pemerintah memang bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan hal ini jelas tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk membiayai pendidikan bagi semua anak bangsa secara merata, tanpa adanya perbedaan.

 

Selain itu, perlu adanya kebijakan baru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di bidang pendidikan. Hingga saat ini, pengangkatan CPNS dan PPPK selalu didahulukan untuk sekolah negeri, sementara sekolah swasta seakan diabaikan oleh pemerintah. Setelah guru-guru di sekolah swasta yang sudah dibesarkan swasta mulai belum sertifikasi sampai sertifikasi dan yang passing grade dalam tes diangkat, mereka seharusnya dapat ditempatkan di sekolah swasta tempat mereka telah mengabdi selama ini.

 

Rancangan undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sampai sekarang masih belum final padahal RUU tersebut termasuk dalam program legislasi nasional tahun 2022, yang mana menurut beberapa pihak, kenapa RUU ini belum final karena RUU ini dianggap masih diskriminatif dan tidak adil, antara sekolah di bawah naungan Kemendikbut Ristek ataupun Kementerian Agama, terutama karena masih mencantumkan dikotomi antara sekolah negeri dan swasta, yang seharusnya dikotomi ini dihilangkan.

 

Oleh karena itu, untuk memperbaiki pendidikan kita, dikotomi antara sekolah swasta dan negeri harus dihentikan. Sekolah swasta yang sudah unggul harus tetap mempertahankan keunggulannya, sementara pemerintah berupaya meningkatkan kualitas sekolah swasta lainnya dan sekolah negeri agar bisa mengejar ketertinggalan. Jika ini terwujud, pendidikan yang adil seperti yang kita impikan dapat tercapai. Setiap anak, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, berhak mendapatkan pendidikan terbaik.

 

Mochammad Fuad Nadjib adalah Ketua Pimpinan Cabang (PC) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Sidoarjo


Opini Terbaru