• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 30 April 2024

Opini

Alih Fungsi Tanah Wakaf Masjid untuk Parkir

Alih Fungsi Tanah Wakaf Masjid untuk Parkir
Ilustrasi tempat parkir di salah satu masjid. (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi tempat parkir di salah satu masjid. (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Muh Fiqih Shofiyul Am*)

Di sebagian daerah, karena beberapa hal tertentu yang bersifat darurat, tanah wakaf masjid beralih fungsi menjadi lahan parkir di masjid setempat. Pada tatanan fiqih Syafi’iyah, merenovasi bangunan Masjid entah dengan memperluas bangunan atau meninggikannya atau bahkan memperbesar hukumnya boleh. Tetapi dengan catatan harus ada hajat yang mendesak hal itu untuk dilakukan. Lebih dari tindakan itu harus mendapat legalitas izin dari nadzir sebagai wakil dari pewakaf masjid.

 

Jika tidak ada legalitas Syartu al-Waqif (ketentuan pewakaf yang ditentukan kepada Nadzir) karena pewakaf sudah meninggal dunia dan tidak berwasiat untuk izin merenovasi, maka legalitas izin dipegang oleh nadzir aam, dalam hal ini yang berwenang adalah pemerintah atau kementerian yang berurusan dengan perwakafan. Dan jika keduanya tidak ditemukan sama sekali maka seseorang yang merenovasi disyaratkan harus orang yang bersifat adil (yakni tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, atau diistilahkan oleh Prof Wahbah sebagai Qadhi al-Jannah). Dengan dalih maslahat yang dikuatkan dengna hipotesa andaikan pewakaf masih hidup maka dia akan sangat setuju dengan tindakan orang yang merenovasi tersebut (Lihat Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 65. Maktabah al-Haramain).

 

Dalam kasus alih fungsi tidak hanya sekadar renovasi dan perluasan bentuk bangunan masjid saja, akan tetapi mengubah sebagian tanah wakaf masjid yang dulunya didirikan bangunan masjid menjadi fungsi yang lain seperti lahan parkir. Dilematisnya tanah yang sudah diwakafkan menjadi masjid tidak bisa berubah status kemasjidannya dalam arti tanah tersebut selamanya berstatus masjid meskipun bangunannya sudah roboh dan tidak bisa dibangun kembali seperti sedia kala. Atau bahkan ditinggalkan oleh penduduk desanya untuk bermigrasi entah karena suatu bencana sebagaimana masjid di sekitar tanggul lumpur Lapindo. (Lihat: I’anatu al-Thalibin, Juz 3. hal. 337. Dar el-Faiha, dengan parafrase).

 

Bahkan menurut Imam Abu Hanifah status kemasjidannya terus eksis sampai hari kiamat dan status kepemilikannya tidak bisa kembali kepada orang yang membangun dan ahli warisnya (lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz. 8. Hal. 217. Dal el-Fikr).

 

Pada dasarnya mengubah fungsi barang wakaf tidak dibenarkan, sebagaimana mengubah wakaf rumah menjadi taman, atau bahkan menjadi toilet, atau sebaliknya. Kecuali memang pewakaf mensyaratkan untuk diperbolehkan mengubah fungsi wakaf oleh nadzir dengan menitikberatkan pada faktor maslahat (lihat: Raudlatu al-Thalibin, Juz. 7. hal. 422. Shamela).

 

Namun, hal ini tidak mutlak tanpa catatan sama sekali, terbukti Imam al-Subuki memberikan catatan legalitas mengubah barang fungsi wakaf dengan tiga catatan. Pertama, tidak mengubah substansi penyebutan (Musamma) barang wakaf. Kedua, terdapat kemaslahatan dengan terjadinya perubahan fungsi tersebut seperti bertambahnya hasil produksi barang atau maslahah yang lain. Ketiga, tidak mengubah bentuk barangnya atau tidak menghancurkan barang wakaf tersebut. (lihat: Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, Juz. 3. hal. 109. Dar Ibn Ashahah).

 

Poin penting dari argumentasi di atas adalah bahwa praktek alih fungsi tanah wakaf masjid menjadi lahan parkir tidak bisa dibenarkan dengan dalih sekadar maslahat, karena mengubah fungsi barang wakaf sendiri memiliki catatan yang sangat ketat sebagaimana tiga catatan menurut al-Subki di atas. Tidak ada peluang untuk diperbolehkan jika merujuk kepada madzhab Syafi’i, karena dari Syafi’iyah sendiri tidak ada yang memutlakkan tentang legalitas mengubah fungsi barang wakaf dengan tanpa catatan tertentu.

 

Namun, dalam madzhab Hambali terdapat beberapa diskursus yang fokus terhadap kasus ini sebagaimana menurut al-Rahibani dalam kitabnya. Ia berpendapat boleh merenovasi masjid dengan meninggikan bangunannya jika masyarakat sekitar menginginkannya dan bangunan bawahnya dijadikan ruang pengairan dan toilet yang bisa dimanfaatkan oleh para jamaah karena menitikberatkan kepada kemaslahatan. Bahkan secara eksplisit orang yang junub atau bahkan wanita haid atau nifas boleh berdiam diri di lantai bawah bangunan tersebut karena substansi penamaan masjid sudah hilang di bangunan itu. (lihat, Mathalib Uli al-Nuha Juz. 4. hal. 375)

 

Dalam kitab tersebut disebutkan, Ibn Taimiyah memberikan argumentasinya bahwa hal ini boleh karena memandang di dunia ini tidak ada masjid yang memang secara dzatiyah atau secara esensial merupakan sebuah masjid yang tidak diragukan lagi kemasjidannya, kecuali Bait al-Ma’mur dan masjid-masjid yang dibangun oleh Nabi. Oleh karena itu bagi selain masjid tersebut masih bisa berpeluang untuk dialihfungsikan jika memang terdapat maslahat yang kuat.

 

Pendapat di atas didasarkan atas pemahaman terhadap pendapat Imam Ahmad bin Hambal sendiri yang mengatakan sebagaimana yang ditulis dalam karya al-Rahbini di atas. Lantas apakah benar-benar mutlak ataukah dalam madzhab Hanabilah permasalahan ini juga menjadi diskursus yang debatable?

 

Imam Ibnu Qudamah al-Madqisi dalam Al-Mughninya berpendapat bahwa banyak para pakar madzhab Hanabilah gagal faham dengan pendapat Imam Ahmad bin Hambal di atas. Mereka memahami pendapat beliau hanya secara eksplisit sehingga memunculkan pemahaman bahwa masjid boleh saja dialih fungsi dan statusnya bahkan menjadi tempat pengairan dan toilet jika masyarakat sekitar menginginkan dengan pertimbangan maslahat.

Menurut Ibnu Hamid pendapat Imam Ahmad tersebut terjadi di sebuah bangunan masjid yang memang belum sepenuhnya menjadi masjid, dalam arti konsep kontruksi bangunan masjid memang diletakkan di atas bangunan pengairan dan toilet. Bukan difahami sebagai alih fungsi bangunan masjid yang sudah ada dibongkar menjadi tempat pengairan dan toilet. Dalam diksi Imam Ahmad menyebut sebagai masjid hanya atas dasar personifikasi karena pada konsekuensinya bangunan ini akan menjadi bangunan masjid yang terletak di atas bangunan yang lain (sebagaimana dalam madzhab Syafi’iyah konsep ini dikenal dengan mewakafkan bangunan menjadi masjid dengan tanpa mewakafkan tanahnya, atau mewakafkan masjid hanya di lantai dua tidak di lantai satu (Lihat: I’anah al-Thalibin, Juz 3. hal. 335), meskipun tidak sesuai dengan arti eksplisit dari diksi Imam Ahmad.

 

Ibnu Qudamah sendiri lebih membenarkan pendapat Ibnu Hamid di atas dengan argumentasi bahwa masjid tidak diperbolehkan untuk dipindahkan, tidak boleh ditukar guling, tidak boleh dijual, apalagi dijadikan tempat pengairan dan toilet kecuali memang ketika mengalami disfungsi atau disorientasi dalam artian sudah tidak berguna. Kebutuhan terhadap pengairan dan toilet tidak menuntut untuk mengosongkan kebermanfaatan masjid dengan mengubah status dan fungsinya. Andaikan saja hal ini diperbolehkan maka jelas boleh hukumnya menggusur bangunan masjid dan digantikan dengan tempat pengairan dan toilet, sementara masjid yang lama ditukar guling di tempat lain dan dibangun kembali. (Lihat: al-Mughni, Juz. 5. Hal. 379-380).

 

Sedangkan konsep istibdal atau tukar guling yang memperbolehkan hanya madzab Hanafiyah dan itupun kepada barang wakaf selain masjid. (lihat: al-Fiqhu al-Islami, hal. 219).

 

Untuk itu, jawaban yang lebih sesuai dengan konsep teoritiknya adalah tidak dibenarkan untuk merusak sebagian bangunan masjid yang sudah ada untuk membangun lahan parkir yang belum begitu luas. Sebagaimana jawaban Syaikh al-Habib Abdullah al-Muhdlar yang ditanya dengan hal yang sama dengan argumentasi beliau ketika tanah yang sudah diwakafkan menjadi masjid maka sudah sah dihukumi masjid meskipun belum dibangun, apalagi jika sudah dibangun kemudian dirobohkan dan diganti dengan fungsi yang lain.

 

*) Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo sekaligus staff pengajar MA Salafiyah Tanggulangin, Sidoarjo.


Opini Terbaru