• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 19 April 2025

Opini

Drama 'Bidaah': Antara Kritik Sosial dan Propaganda Tersembunyi

Drama 'Bidaah': Antara Kritik Sosial dan Propaganda Tersembunyi
Karakter Walid Muhammad dalam Drama Bidaah atau Bidah. (Foto: Istimewa)
Karakter Walid Muhammad dalam Drama Bidaah atau Bidah. (Foto: Istimewa)

Oleh: Zainal Arifin*)

Beberapa hari terakhir, jagat maya Indonesia diramaikan oleh viralnya sebuah drama asal Malaysia berjudul Bidaah atau Broken Heaven. Serial ini mendadak menjadi perbincangan hangat karena menampilkan sosok fiktif bernama Walid Muhammad, pemimpin sebuah sekte keagamaan bernama Jihad Ummah. 

 

Dalam alur ceritanya, Walid digambarkan sebagai pemuka agama kharismatik yang memelintir ajaran agama demi memuaskan syahwat pribadi, termasuk melalui praktik kontroversial bernama nikah batin—sebuah pernikahan yang diklaim sah secara spiritual, namun tak diakui hukum, dengan iming-iming surga sebagai umpan spiritual bagi para pengikutnya.

 

Yang membuat serial ini viral bukan sekadar jalan ceritanya, melainkan visualisasi tokoh Walid yang mengenakan jubah, penutup kepala menyerupai sorban, dan tampil dalam balutan citra sufi —sebuah gambaran yang sontak memicu beragam tafsir dan reaksi, terutama dari masyarakat Indonesia. 

 

Banyak warganet menilai bahwa serial ini mengangkat realitas pahit dari sejumlah kasus nyata yang pernah mengguncang Indonesia, di mana ajaran agama digunakan sebagai kedok manipulasi dan pelampiasan hawa nafsu oleh segelintir pemimpin spiritual.

 

Namun yang lebih mencengangkan dari fenomena ini bukan hanya substansi cerita, melainkan siapa yang paling vokal membela dan mempromosikannya. Sekelompok pihak yang selama ini dikenal paling keras menentang dunia seni peran —yang dulu lantang menyebut teater sebagai panggung maksiat dan drama sebagai sarang kebohongan— kini tampil sebagai pendukung paling militan dari serial tersebut. 

 

Mereka yang dahulu menolak televisi dan mencela pertunjukan panggung, kini justru memanfaatkan potongan-potongan adegan drama sebagai senjata ideologis. Rupanya, perubahan arah ini bukan tanpa sebab: drama ini dinilai berhasil menyisipkan pesan simbolik yang mereka anggap merendahkan dunia tasawuf dan mendiskreditkan para ulama sufi.

 

Tasawuf dalam Sasaran Propaganda

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok ini memiliki sejarah panjang permusuhan terhadap tasawuf. Mereka menolak rabithah, mencela tabarruk, menyebut dzikir berjamaah sebagai bid’ah, dan menuduh para mursyid tarekat sebagai penyesat umat. Tidak hanya itu, praktik-praktik ruhani seperti khalwat, muraqabah, hingga mahabbah kepada Allah SWT mereka cap sebagai khayalan dan ilusi kaum jahil. Maka tidak aneh jika ketika muncul drama yang menggambarkan simbol-simbol kesufian secara negatif, mereka menyambutnya sebagai kemenangan.

 

Dalam kitab Qawa'id al-Tashawwuf, Imam Ahmad Zarruq menulis:

 

  مَن لاَ أَدَبَ لَهُ، لاَ عِلْمَ لَهُ 

 

Artinya: “Siapa yang tidak memiliki adab, maka dia tidak akan memiliki ilmu.” 

 

Di sinilah posisi para sufi: mendidik umat dengan adab, mengajarkan cinta bukan hanya hukum, menuntun manusia untuk mengenal Allah dengan penuh kelembutan. Maka serangan terhadap dunia tasawuf bukan sekadar serangan terhadap individu, melainkan upaya meruntuhkan bangunan akhlak dalam Islam.

 

Drama yang ditampilkan tidak sekadar menceritakan kisah individu, tetapi menyusupkan pesan halus bahwa para tokoh agama bersurban hanyalah topeng dari kejahatan tersembunyi. Bahwa dzikir dan ritual spiritual hanyalah kamuflase dari penipuan. Penonton awam yang tidak memiliki pengetahuan memadai akan dengan mudah terbawa pada persepsi yang salah, bahwa semua yang berbaju agama adalah penjahat.

 

Ini adalah bahaya besar. Ketika pesan-pesan negatif terhadap dunia sufi disusupkan melalui media yang menggugah emosi, ia dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat kepada para ulama sejati. Padahal dalam kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki disebutkan:

 

  فَإِنَّ مَنْ أَهَانَ أَهْلَ اللهِ فَقَدْ تَعَرَّضَ لِسَخَطِ اللهِ 

 

Artinya: “Barangsiapa merendahkan para kekasih Allah, sungguh ia telah membuka dirinya terhadap kemurkaan Allah.”

 

Kritik terhadap penyimpangan memang perlu. Tetapi membungkus kritik itu dalam cerita fiktif dan menyasar simbol-simbol agama secara menyeluruh adalah sebuah kekejian. Terlebih, ketika pelaku digambarkan sangat mirip dengan para ulama sufi yang nyata, baik dari cara berpakaian, cara berbicara, hingga aktivitas spiritualnya. Penonton awam tidak akan bisa membedakan antara fiksi dan fakta.

 

Paradoks Moral dan Manipulasi Opini

Yang lebih memprihatinkan adalah ketika muncul kritik terhadap drama tersebut, baik dari kalangan ulama, santri, maupun pemerhati media Islam, mereka justru diserang habis-habisan. Dicaci sebagai pembela pelaku kejahatan, dituduh membela “tokoh bejat” dalam cerita, padahal substansi kritiknya adalah keberatan terhadap pelecehan simbol-simbol kesucian agama. Kritik ilmiah pun dianggap sebagai ancaman, sementara propaganda fitnah dibela mati-matian.

 

Tidak sedikit akun anonim di media sosial yang dengan brutal menyudutkan para pengkritik. Mereka menebar tuduhan, menyebarkan narasi provokatif, dan memancing kemarahan massa tanpa tabayyun. Ini adalah bentuk pembunuhan karakter massal terhadap siapa pun yang ingin menjaga marwah ulama.

 

Padahal, dalam Bughyah al-Mustarsyidin, Habib Abdurrahman Ba’alawi memperingatkan:

 

وَاحْذَرْ أَنْ تَتَكَلَّمَ فِي عُلَمَاءِ السُّنَّةِ بِسُوءٍ، فَإِنَّهُمْ أَعْلَمُ مِنْكَ

 

Artinya: “Waspadalah jangan berbicara buruk tentang ulama Ahlussunnah, karena mereka lebih berilmu darimu.”

 

Pernyataan ini bukan untuk membungkam kritik, tetapi untuk menjaga adab dalam menilai dan menanggapi seorang alim.

 

Drama ini seperti alat baru bagi kelompok tertentu untuk menjalankan agenda lama: menjatuhkan kepercayaan umat terhadap ulama pewaris nabi. Jika sebelumnya mereka gagal mengajak umat meninggalkan tarekat lewat debat-debat kaku, kini mereka mencoba dengan cara yang lebih halus: lewat seni yang mereka sendiri dulu benci.

 

Ironi ini memperlihatkan wajah kemunafikan ideologis. Ketika medium dianggap menguntungkan agenda mereka, maka halal segala cara. Tidak lagi relevan apakah dulu mereka menolak media tersebut, asalkan pesan yang ingin mereka sampaikan bisa tersampaikan, meskipun harus melecehkan kehormatan ulama.

 

Perubahan sikap ini bukanlah ijtihad baru, tetapi akal-akalan yang lahir dari dendam lama. Mereka tidak sedang menyelamatkan umat dari penyesatan, tetapi sedang melampiaskan amarah terhadap dunia yang tidak mereka kuasai: dunia spiritual Islam yang tulus, ikhlas, dan bersandar pada cinta, bukan debat kusir.

 

Dalam konteks ini, kita harus merenungkan firman Allah:

 

  يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللّٰهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ 

 

Artinya: “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)

 

Penutup

Kini saatnya umat Islam bersikap cerdas. Jangan mudah terpengaruh oleh drama yang menggugah emosi tetapi menyembunyikan racun ideologis. Bedakan antara kritik terhadap penyimpangan dengan pelecehan terhadap institusi dan simbol keagamaan. Jangan biarkan media dijadikan alat untuk menghancurkan kepercayaan kepada ulama.

 

Kita tidak sedang membela pelaku fiksi, tetapi sedang menjaga agar marwah ulama sufi tidak dilecehkan lewat cerita rekaan. Jangan sampai para pewaris ilmu ma’rifat yang mengajarkan cinta dan rindu kepada Allah justru dianggap sebagai musuh oleh umatnya sendiri karena terpengaruh cerita drama.

 

Sejarah telah membuktikan bahwa fitnah tidak akan menghancurkan para wali. Bahkan dalam banyak kasus, fitnah justru menjadi jalan bagi terbukanya tabir kebenaran. Nur para ulama akan tetap bercahaya, bahkan di tengah gelapnya propaganda dan kebencian.

 

Semoga kita semua diberi kebijaksanaan untuk memilah narasi. Semoga Allah menjaga para ulama sufi yang terus istiqamah menebar cinta dan makrifat. Dan semoga kebenaran tetap bersinar, meskipun diselimuti oleh kabut fitnah.

 

*) Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan, Tim Media Masjid Agung Ar-Raudlah Kraksaan, dan Koordinator Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pengurus Pusat Majelis Terapis Nusantara (PP Mantra).


Opini Terbaru