• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Opini

Menyoal Pendidikan: Eksistensi dan Peran Guru di Masyarakat

Menyoal Pendidikan: Eksistensi dan Peran Guru di Masyarakat
Ilustrasi pendidikan dan peran guru di masyarakat. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi pendidikan dan peran guru di masyarakat. (Foto: Istimewa)

Oleh: M. Kholilur Rohman *)

 

Guru adalah profesi yang mulia di tengah-tengah masyarakat. Hal demikian karena di dalam tuntutan kerjanya guru bertugas memberikan pengetahuan sekaligus teladan bagi seluruh murid. Guru membimbing murid agar menjauhi hal-hal buruk dan mengerjakan berbagai kebaikan secara berkelanjutan. Dari kegiatan tersebut, diharapkan nantinya akan lahir generasi-generasi emas yang memiliki keunggulan intelektual sekaligus keagungan akhlak.

 

Secara etimologis, kata guru berasal dari bahasa Sansekerta., Gu artinya kegelapan, Ru artinya membebaskan dari atau menyingkirkan. Maka, makna asli dari kata guru sesungguhnya adalah penghalang atau pengusir kegelapan agar ia melihat semuanya dengan cahaya dan terang.

 

Dari definisi tersebut, guru menjalankan misi mulia dengan segenap usaha yang diberikan sekaligus penghargaan yang diterima. Tentu, dedikasi guru dalam mendidik generasi bangsa perlu mendapat apresiasi yang sepadan atas banyak hal yang telah dikorbankan. Apalagi di zaman yang semakin keblinger dengan beragam kesulitan di dalamnya.

 

Pendidikan dan Paradigma Masyarakat
Perubahan dan perkembangan zaman adalah suatu keniscayaan yang juga mempengaruhi proses pendidikan. Giddens (2000) menyebutnya sebagai sebuah dunia yang lari tunggang langgang (runaway world). Di sinilah persoalan pendidikan, mengingat logika kecepatan bertentangan dengan logika kinerja pendidikan. Kegiatan mendidik lebih memerhatikan proses dan dinamika pertumbuhan yang tidak bisa dipaksakan. Sehingga perlu adanya penyesuaian antara perubahan zaman dengan pola pengembangan pendidikan yang tepat sasaran dan sesuai ukuran. Jika tidak, maka dua hal itu hanya akan menjadi masalah yang saling menindih antara yang satu dengan yang lain.

 

Tanpa disadari, masyarakat sering kali lupa bahwa guru menjadi bagian penting dari kesuksesan seseorang. Guru terus dituntut untuk mendidik murid-muridnya agar menjadi generasi berkualitas. Seolah-olah guru menjadi sosok yang tidak boleh salah dalam setiap proses dan tindak-tanduknya. Guru banyak mendapat hujatan begitu melakukan kesalahan, namun begitu ada murid yang sukses, maka yang diingat adalah orang tua si murid, bukan gurunya. Sehingga tak heran jika Andy Hargreaves menyebutkan, “teacher is everywhere, but they exist nowhere” (guru ada di mana-mana, namun serentak ia tidak ada di suatu tempat pun).

 

Kasus di atas tiada lain adalah buah dari mistifikasi peran guru yang semakin memojokkan posisi guru di dalam masyarakat. Mistifikasi sendiri bermakna keadaan euforia berlebihan dari sebuah komunitas dalam mengidealkan fungsi guru di dalam masyarakat. Mistifikasi menghapuskan unsur alamiah manusiawi yang sesungguhnya merupakan bagian hakiki kehidupan seorang guru.

 

Mistifikasi mengangkat status guru menjadi begitu sakral. Secara tidak langsung, ini memperlebar fungsi guru menjadi banyak hal; polisi, tutor, orang tua, dokter, dan lain sebagainya. Mirisnya fenomena ini masih marak terjadi di beberapa belahan masyarakat. Besarnya harapan masyarakat, pengaruh kekuatan negara, media, dan dunia bisnis yang menerobos masuk dalam dinamika kehidupan bisa membuat guru kehilangan kreativitas dan autentisitas dirinya.

 

Tentu, dalam setiap perubahan dan tuntutan terhadap guru, masyarakat juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Mengingat seiring berjalannya waktu masyarakat berubah, identitas guru pun juga harus berubah. Pepatah latin mengatakan, tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita pun berubah karenanya). Perubahan tersebut harus diterima dengan hati yang lapang, kejernihan pikiran, dan semangat beradaptasi secara berkelanjutan demi membaiknya seluruh proses pendidikan. Tanpa menciderai eksistensi dan mempecundangi peran guru.

 

Eksistensi dan Peran Guru
Dahulu, para murid dan guru masih menghargai dan menghormati nilai-nilai kejujuran. Sedang sekarang nilai-nilai kejujuran telah terlibas dan diganti dengan nilai-nilai yang lebih praktis dan efisien. Hal tersebut adalah bagian dari perubahan sekaligus perkembangan zaman yang menggeser pola pikir civitas akademik. Jika dibiarkan jelas akan menjadi masalah besar dalam pendidikan. Sebab, pendidikan tidak hanya sekadar proses transfer pengetahuan (knowledge), namun juga tentang nilai-nilai kebaikan dan norma masyarakat. Sehingga, peran dan kesadaran guru untuk menegakkan nilai-nilai yang mulai bergeser perlu dikuatkan kembali.

 

Ditilik dari tugas utamanya, peranan guru sebagai pendidik adalah membentuk sikap individu sebagai pembelajar yang bertanggung jawab dan mampu mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri dan sesama. Sehingga lulusan yang dihasilkan mampu memberikan manfaat dan maslahat bagi umat. Tidak hanya sekadar memuaskan hasrat dan keinginan sendiri atau golongan, namun juga siap berkorban dan berjuang demi kebaikan kolektif. Oleh sebab itu, guru perlu menghilangkan hambatan-hambatan struktural sistemis bahwa dengan kreasi dan inovasi dalam pembelajaran mereka akan kekurangan waktu dalam mengajar dan menyelesaikan materi pelajaran.

 

Masalahnya, kebanyakan guru masih terjebak dalam sebuah sindrom yang oleh Lortie (1975) disebut dengan sindrom kekinian (presentism), yaitu sibuk mengurusi tugas hari ini yang sifatnya jangka pendek, hasil bisa langsung dilihat dan dirasakan, misalnya bekerja sekadar memenuhi tuntutan agar murid lulus ujian.

 

Memang, tujuan guru agar murid bisa lulus ujian tidak salah. Namun, fokus tujuan tersebut secara tidak langsung telah mencederai eksistensi seorang guru yang seharusnya tidak hanya berfokus pada nilai, tapi juga tentang bagaimana perkembangan dan perbaikan pola pikir dan sikap murid menjadi sebuah karakter yang melekat dalam dirinya secara utuh.

 

Salah satu syarat agar guru dapat menjadi pelaku perubahan dan pendidik karakter adalah adanya kebebasan dalam menentukan identitas diri dan menghayati nilai. Menurut Freire, kebebasan bukanlah sebuah idealisme yang berada jauh di luar manusia; demikian juga ia bukan sebuah gagasan yang telah menjadi mitos. Lebih dari itu, kebebasan merupakan kondisi yang tak dapat diabaikan demi pencarian keutuhan manusia. Sarason (1971) menyebutkan bahwa rutinitas dan kejenuhan membuat guru sulit atau jarang menemukan lagi semacam rerasa pertumbuhan diri sebagai pribadi (sense of personal growth), serta mengalami semacam kemandekan dalam pertumbuhan intelektual (sense of intellectual growth).

 

Selain itu, peran guru semakin dipertanyakan setelah adanya aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelegence) yang mampu memberikan banyak pengetahuan kepada murid secara cepat. Keadaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru agar membuka diri terhadap perkembangan teknologi. Guru tidak boleh merasa cukup dan puas dengan pola dan gaya belajar yang telah diterapkan. Mau tidak mau, guru harus terus meng-upgrade diri di tengah kecanggihan teknologi yang beraneka ragam. Jika tidak, eksistensi guru akan semakin terlindas zaman.

 

Kegagalan Pendidikan yang Berkelanjutan
Pastinya, setiap perubahan yang terjadi dalam pendidikan tiada lain bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang semakin bermutu. Baik dari sisi intelektual, emosional, maupun spiritual. Namun, perubahan akan mengalami kegagalan jika perubahan tersebut gagal mendorong cara-cara mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang baru terhadap ide tentang perubahan. Perubahan tidak akan terjadi, kalau guru yang terlibat dalam proses pendidikan itu tidak dapat menemukan nilai efektivitas yang meningkatkan kinerja profesionalnya. Tomlinson (2004) menyebutkan bahwa efektivitas kinerja individu merupakan sebuah prasyarat bagi penghayatan profesi yang unggul.

 

Selain itu, kegagalan reformasi pendidikan dikarenakan ide pembaharuan yang datang dari pusat sering kali lalai berdialog dengan guru. Pemerintah tidak paham secara mendasar dan menyeluruh tentang bagaimana kesulitan dan hambatan yang dialami oleh guru di lapangan.

 

Meminjam istilah Hargreaves (2008) adalah “Puntung rokok terakhir ketika seluruh proses pembaharuan selesai diisap”. Peran guru dipikirkan belakangan ketika proses reformasi telah dijalankan. Seharusnya, terjadi, dialog yang runtut dan utuh antara pemerintah di masing-masing daerah dengan guru. Hasil dialog tersebut kemudian dikaji dan ditinjau ulang secara kritis sampai menghasilkan sebuah kesimpulan. Sehingga, perubahan yang ditetapkan melalui kebijakan bisa tepat sasaran dan mampu dihayati secara sempurna oleh guru secara total.

 

Tidak hanya itu, juga perlu adanya keseimbangan antara tuntutan yang diberikan pemerintah terhadap guru dengan apa yang guru terima sebagai timbal balik dari pemerintah. Jika tuntutan tidak sebanding dengan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap profesi guru, jangan harap di masa depan akan banyak anak muda yang mau menjadi guru. Pun dalam proses kinerjanya, guru tidak akan maksimal karena mereka masih merasa tertindas dan belum diperlakukan secara layak oleh pemerintah.

 

Terakhir, harapan yang terus tertanam dalam hati setiap warga negara adalah bagaimana pendidikan bisa terus membaik seiring perubahan waktu dan kebijakan. Oleh sebab itu, kesalahan dan kekurangan sebagaimana dijelaskan di atas perlu ditanggapi secara serius, terutama oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan. Terlepas dari perpindahan jabatan sebagai akibat dari pesta demokrasi nanti, hendaknya seluruh proses pendidikan tetap terus dijaga dan memperjuangkan bagaimana baiknya.

 

*) M. Kholilur Rohman, mahasiswa pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus Murrabbi Ma’had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.


Opini Terbaru