• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 16 April 2024

Opini

NU, Makna Sabilillah dalam Distribusi Zakat, dan Fatwa Tentara Perempuan

NU, Makna Sabilillah dalam Distribusi Zakat, dan Fatwa Tentara Perempuan
Salah satu apel Laskar Hizbullah. (Foto: NOJ/ISt)
Salah satu apel Laskar Hizbullah. (Foto: NOJ/ISt)

Pada tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365 H atau 26-29 Maret 1946, Muktamar ke-16 NU berlangsung di Purwokerto, Jawa Tengah. Momentum ini bukan hanya dihadiri oleh para pengurus NU saja, melainkan banyak juga anggota Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang hadir. Tak sedikit pula yang datang dengan memakai seragam kebesarannya berikut bersenjata lengkap. Beberapa pengurus Partai Masyumi dan ormas Islam lainnya juga hadir sebagai tamu undangan.


Dalam resepsi muktamar, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberi pidato sambutan yang isinya memuji NU yang telah memberi arah jalan revolusi dengan “Resolusi Jihad”nya pada tanggal 22 Oktober 1945.


Adapun dalam khutbah iftitah yang disampaikan menggunakan bahasa Arab, sebagaimana yang dikutip oleh KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, “Berangkat dari Pesantren”, Rais Akbar Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari menyampaikan beberapa poin penting, antara lain tentang pentingnya persatuan umat Islam.


Karena digelar pertama kalinya setelah Indonesia merdeka, maka keputusan-keputusan muktamar NU mayoritas berkaitan dengan bagaimana mempertahankan negara yang baru diproklamasikan. 


Sebagai organisasi yang senantiasa mendasarkan keputusan organisasinya menggunakan aspek fiqh, wajar jika dalam memutuskan berbagai persoalan keummatan, dari soal yang sepele hingga perkara berat seputar kenegaraan, fiqh senantiasa dipakai oleh NU sebagai titik tolak. 


Dalam memutuskan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, yang kemudian juga disusul dengan seruan jihad bagi setiap muslimin melalui khutbah iftitah di muktamar ini, Kiai Hasyim sebagai Rais Akbar NU juga memberi legitimasi kewajiban perjuangan kemerdekaan melalui berbagai keputusan muktamar yang 80 persen isinya berkaitan dengan perkara perang.


“Bagaimana hukumnya kita berperang untuk menolak musuh yang sudah menginjakkan kakinya di tanah air kita seperti yang telah terjadi sekarang ini?” demikian pertanyaan yang diajukan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang.


Secara jelas, muktamirin menyepakati: 


Pertama. Bahwa berperang menolak penjajah dan para pembantunya adalah fardlu ‘ain atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki maupun perempuan, dan anak-anak juga sama berada di tempat yang dimasuki oleh mereka itu (penjajah dan pembantu-pembantunya).


Kedua. Wajib ain pula atas tiap-tiap jiwa yang berada dalam tempat-tempat yang jaraknya kurang dari 94 Km. terhitung darti tempat mereka itu (musuh).


Ketiga. Wajib kifayah atas segenap orang-orang yang berada di tempat-tempat yang jaraknya ada 94 Km. tersebut.


Jikalau jiwa-jiwa yang tersebut dalam nomor 1 dan dua di atas tidak mencukupi untuk menolaknya maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup.


Keputusan-keputusan ini dirujuk dari kitab At-Tajrid li Naf’ al-‘Abid (jilid IV halaman: 251) karya Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bajuri (jilid II, halaman: 269), Fathul Wahab karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari yang dinukil dari kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj at-Thullab (juz V, halaman: 191), serta karya Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin (jilid X, halaman: 1214-1215). Selain itu, karya Ibnu Abidin yang berjudul Radd al-Mukhtar (halaman: 219-220) juga dijadikan rujukan. Tak ketinggalan, Al-Hawi al-Kabir (jilid XVIII, halaman: 161-162) karya Imam al-Mawardi juga menjadi referensi pengambilan keputusan NU ini. 


Keputusan bahtsul masail di atas menjadi salah satu indikator bahwa NU sangat berhati-hati mengeluarkan keputusan hukum dan tidak mau tergesa-gesa menyikapi setiap permasalahan keummatan. Kalaupun sudah bulat diputuskan, maka risiko apapun akan dihadapi. 


Selain kewajiban jihad di atas, yang juga diilhami dari semangat “Resolusi Jihad” beberapa bulan sebelumnya yang berhasil menggerakkan perlawanan di Surabaya, Ambarawa, dan beberapa wilayah lainnya, kewajiban individu (wajib ‘ain) ini juga selaras dengan taktik “perang semesta” yang menjadi salah satu kreno perang yang dijalankan oleh TKR (TNI) saat itu. 


Fungsionalisasi Zakat

Selain keputusan di atas, ada juga keputusan lainnya yang ikut menunjang aspek kebutuhan perang. PCNU Gresik menyodorkan pertanyaan sekaligus pertimbangan bagaimana hukumnya membagi zakat di masa itu kepada kelompok Sabilillah mengingat kondisi tanah air yang genting. PCNU Gresik juga memberikan penjelasan bahwa saat itu Laskar Hizbullah yang telah berjihad fi sabilillah nyatanya juga tidak mendapatkan bantuan memadai dari pemerintah. Selain itu, karena di beberapa tempat telah terjadi pertempuran antara Laskar Hizbullah dengan pasukan musuh, maka bagaimana seharusnya aturan pembagian zakat kepada mereka?


Di antara jawaban yang menjadi keputusan resmi muktamar ini adalah:


Bahwa pada waktu sekarang wajib memberikan zakat bagian sabil pada Sabilillah yang telah ada di tanah air kita ini, sekalipun mereka itu kaya raya.


(Laskar) Hizbullah yang telah ada pada sekarang ini adalah termasuk Sabilillah tersebut.


Adapun aturan pemberian barang zakat tersebut adalah sebagai berikut:


(Barisan) Sabilillah dan (Laskar) Hizbullah tadi harus diberi bilamana mereka itu akan berangkat perang atau tinggal di markas pertahanan.


Para warga Sabilillah yang memang wajib diberi nafkah oleh mereka harus diberi bagian dari barang zakat sampai kadar kecukupannya.


Apabila warga Sabililah tersebut sudah pulang dari peperangan atau markas pertahanan, kemudian barang zakat yang telah diterima tadi ada kelebihan, sedang pemakaiannya cukup sederhana, maka kelebihan itu wajib dikembalikan.


Orang yang wajib zakat boleh menyerahkan barang zakat tersebut kepada para nazhir Sabilillah tadi untuk diterimakan kepada mereka.


Keputusan di atas ini dirujuk dari kitab Hasyiyah al-Bajuri (jilid I, halaman: 295), I’anatut Thalibin (Jilid II, halaman: 219), Minhajul Qawim karya Ibnu hajar al-Haitami (halaman: 110), As-Syarhul Kabir (jilid II, 700-101), hingga Minat al-Jalil li Mukhtashar al-Khalil (Jilid II, halaman: 91).


Keputusan mengenai penggolongan Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah sebagai bagian dari Sabilillah yang bisa menerima zakat sangat membantu logistik serdadu swasta ini. Pasalnya, karena dua kelaskaran ini bukan merupakan bagian secara langsung dari unit TKR (TNI), maka secara pendanaan dan soal logistik mereka tidak menerima dana dari negara. Lagi pula bisa dipahami jika saat itu kondisi kas negara yang baru merdeka masih sangat belum stabil. Keputusan ini kelak juga cukup membantu keberlangsungan perjuangan Hizbullah dan Sabilillah saat menghadapi gempuran serdadu Belanda dalam Agresi Militer I, Juli 1947. 


Terdapat kecurigaan mendasar jika Belanda sengaja melakukan agresi militer ini pada bulan Juli 1947 karena selain mulai banyak gesekan antar laskar rakyat, agresi ini bertepatan pada bulan puasa. Bahkan, pada agresi militer pertama inilah banyak pondok pesantren dibakar oleh serdadu KNIL dan NICA karena dianggap menjadi sarang pejuang kemerdekaan. Tak sampai tiga hari agresi ini dilakukan, Belanda sudah berhasil merebut kota Malang yang menjadi basis pertahanan TNI, Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah. Jatuhnya benteng terakhir pertahanan di selatan Jawa Timur inilah yang menyebabkan KH. Hasyim Asy’ari terkejut dan merasa sedih hingga menyebabkan kesehatannya drop lalu wafat.


Dalam bahtsul masail ini pula ditetapkan bahwa para pejuang yang wafat di medan perang sebagai syuhada’ tidak boleh dibawa pulang ke rumahnya atau ke tempat lain untuk dikubur di tempat, tetapi wajib dikubur di lokasi gugurnya. 


Tentara Perempuan

Dengan demikian bisa dipahami jika keputusan-keputusan NU semakin menggenjot perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Terlebih, dalam muktamar tahun 1946 ini pula ada salah satu keputusan yang memperbolehkan perempuan berpakaian seragam tentara. 


Di zaman itu, meski banyak dilibatkan dalam urusan medis dan pemenuhan logistik di belakang front pertempuran, kaum perempuan belum banyak terjun sebagai prajurit. Namun, manakala dalam kondisi darurat perang, hukumnya fardlu ‘ain bagi laki-laki maupun perempuan melakukan perjuangan, sebagaimana seruan Kiai Hasyim dalam khutbah iftitah. Selain itu, asalkan menutup aurat, perempuan diperbolehkan menggunakan seragam tentara, baik pada saat latihan maupun manakala terjun di front pertempuran. Pendapat ini dirujuk berdasarkan kitab Fathul Mu’in (juz IV halaman: 196-197), dan I’anatut Thalibin (juz IV, halaman: 196).


Keputusan yang berkaitan dengan kaum perempuan ini juga selaras dengan keputusan lainnya, yakni meresmikan Muslimat Nahdlatul Ulama sebagai badan otonom NU. Ini merupakan keputusan yang memiliki dampak strategis dalam perkembangan NU beberapa tahun berikutnya, khususnya dalam mengimbangi sayap organisasi keperempuanan kiri-kiri seperti Gerwani, maupun dalam soal propaganda melalui majelis-majelis pengajian yang dikomando para ibu-ibu Muslimat NU. Wallahu a'lam bishshawab

 


Editor:

Opini Terbaru