• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Opini

Polemik Hukum Pernikahan di Bulan Muharram

Polemik Hukum Pernikahan di Bulan Muharram
Ilustrasi pernikahan di bulan Muharram, (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi pernikahan di bulan Muharram, (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Muh Fiqih Shofiyul Am *)

Masyarakat Jawa sangat mensakralkan bulan Suro atau dalam kalender Islam dikenal dengan istilah bulan Muharram. Banyak mitos yang berubah menjadi suatu kepercayaan dan pada akhirnya menjelma sebagai hukum adat yang ‘dikultuskan’ dan dihormati. Salah satunya larangan Mbukak Terop (mendirikan terop) di bulan Muharram, baik untuk sunatan atau pernikahan, dan termasuk menempati rumah baru. ‘Kepercayaan’ ini cukup mendarah daging di sebagian kalangan masyarakat.

 

Sakralisasi bulan Muharram juga dilakukan oleh masyarakat Arab. Mereka mengkategorikan Muharram sebagai salah satu dari keempat Asyhuru al-Hurum, yakni bulan-bulan yang mereka muliakan untuk tidak menumpahkan darah dan melakukan genjatan senjata sejenak.

 

Akar sakralistik bulan Muharram ternyata karena tragedi pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah terhadap Sayid Husain bin Ali dan putra-putranya di Karbala, Irak. Mengingat, peristiwa itu terjadi di tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, dan menjadi peristiwa duka mendalam bagi seluruh umat Islam.

 

Sekte Syi’ah adalah dari sekian umat Islam yang menjadikan peringatan tragedi ini sebagai event tahunan yang wajib dilakukan. Hanya saja mereka terlalu ekstrim dalam memperingatinya dengan menyakiti diri sendiri lewat berbagai bentuk siksaan. Hal itu sebagai manifestasi rasa kehilangan yang sangat berat terhadap sosok Sayyid Husain. Dan tentu hal demikian sangat dilarang dalam syariah Islam sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Namun demikian, banyak peristiwa bahagia yang terjadi di bulan Muharram, khususnya tanggal 10 Muharram. Di antaranya adalah Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israel dari tirani Fir’aun, dan banyak lagi peristiwa bahagia lainnya yang dialami oleh para nabi di hari tersebut.

 

Dengan begitu menunjukan bahwa bulan Muharram pada kenyataannya bukanlah bulan malapetaka atau sial. Bahkan bulan ini cukup mulia karena di dalamnya terdapat berbagai jenis ibadah masyhur, seperti puasa Tasu’a dan Asyura, memberikan nafkah lebih kepada keluarga, menyantuni anak yatim, mengambil keberkahan dengan mengusap kepalanya, dan hal-hal positif lainnya.

 

Para pakar sejarah menengarai bahwa distorsi ini terjadi sebab munculnya sosok murtad yang bernama kecil Ngabdullah yang lahir di Kota Pati, Jawa Tengah. Ia menjelma menjadi misionaris pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan sebutan Kiai Tunggul Wulung yang mencoba mengasimilasikan adat Jawa dengan Kristen. Sehingga memunculkan banyak pemahaman yang memutarbalikkan fakta dan melahirkan pemahaman baru yang salah kaprah. Hal demikian pernah disinggung Gus Muwafiq dalam salah satu ceramahnya di acara Muharraman di daerah Pati.

 

Oleh karena itu, tidak ada larangan tertentu untuk melangsungkan pesta pernikahan atau acara tasyakuran lain di bulan Muharram. Sebab, jika diyakini perhelatan itu akan membawa petaka, justru ironis karena bulan Muharram ada banyak momentum keberkahan yang sangat disayangkan untuk dilewatkan.

 

Polemik pernikahan di bulan tertentu juga pernah menjadi problematika dalam adat Arab jahiliyah. Di antaranya, anggapan bahwa jika seseorang melangsungkan pernikahan di bulan Syawal akan mengalami kesialan hidup. Sebagaimana keterangan al-Nawawi yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam kitab al-Dibaj Ala Shahih Muslim Ibni al-Hajjaj (4/28) tentang hadits pernikahan Nabi dengan Sayyidah Aisyah dan memulai hidup satu atap di bulan Syawal. Kala itu, masyarakat Arab jahiliyah punya pemahaman bahwa arti kata Syawal ialah hilang atau terangkat (yakni hilang keharmonisan antara kedua pasangan). Namun, hal tersebut direspons dan ditidak dibenarkan langsung oleh Sayyidah Aisyah.

 

Memang, norma masyakat Jawa harus selalu dihormati, bukan bukan berarti harus dipercayai penuh dan dijadikan itikad kuat atas kebenarannya. Sebagaimana yang sering disampaikan oleh para masyayikh, bahwa di Jawa ada hukum yang tidak teramandemen dalam Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi bisa menjelma menjadi norma yang dipercayai oleh masyarakat luas. Ia hanya perlu dihormati jika para tetua masih paranoid dengan kepercayaan itu, karena jika diterjang terlalu frontal sehingga menimbulkan murka.

 

*) Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim Aswaja NU Center PCNU Sidoarjo sekaligus Staff Pengajar MA Salafiyah Tanggulangin Sidoarjo.


Opini Terbaru