Mempelajari kitab kuning, apalagi tulisan tangan (manuskrip) para ulama terdahulu serasa masuk ke dimensi masa lalu. Karena, seorang pembaca akan dipaksa masuk ke dalam dimensi bahasa dan tulisan yang berkembang saat karangan tersebut dibuat. Sehingga, memerlukan energi dan bekal yang cukup untuk dapat menyesuaikan bahkan memahami dengan baik dari goresan pena serta struktur bahasa yang jauh berbeda dengan masa pembaca.
Proses-proses di atas dalam istilah lain dikenal dengan ‘filologi’, yakni sebuah usaha dan proses penelitian yang basis utamanya tulisan tangan berumur lebih dari 50 tahun atau lebih. Penulis sendiri dalam 3 tahun belakangan mencoba secara pelan, serta berulang-ulang membuka koleksi manuskrip Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. Alhamdulillah, koleksi naskah kuno tersebut telah berupa digital yang terhimpun di Britis Library, sebuah pusat data yang berkedudukan di negeri Ratu Elizabet Inggris.
Salah satu kitab yang cukup menarik penulis adalah Ithaf al-Murid ‘Bijauhar al-Tauhid li al Imam Abdu al-Salam Ahmad bin Ibrahim al-Laqqani. Ia merupakan sebuah kitab hasyiyah (komentar atau penjelasan) yang ditulis olah anak dari sang pengarang kitab Jauhar al-Tauhid Ibrahim al-Laqqani, seorang ulama yang hidup di abad 11 Hijriyah atau 17 Masehi, atau sekitar tahun (w 1041 H/ 1632 M).
Abdus al-Salam al-Laqqani: Sebuah Profil Singkat
Hermansyah dan Zulkhairi (2014), Imam Abdus al-Salam al-Laqqani atau lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam al-Laqqani (w. 971-1078 H/ 1561-1668 M) tak lain adalah anak kandung Ibrahim al-Laqqani. Beliau dikenal ahli dalam berbagai bidang ilmu agama. Seorang Malikiyah tulen di Mesir pada masanya. Dia seorang ulama yang dikarunia umur yang panjang, yakni 107 tahun. Beliau juga menelurkan beberapa kitab, selain kitab yang dibahas ini, yakni: Syarah Mandzumah al-Jazairoh, dan al-Siraj al-Wahhaj fi al-Kalam ala al-Isra‘ wa al-Mi’raj.
Beliau juga memiliki kisah yang menarik dalam perjalanan kehidupannya. Dikisahkan, pada suatu ketika ia mengaji ke ayahnya, setelah ngaji selesai kemudian beliau tidak muncul kembali dalam beberapa tahun. Baru kemudian terlihat kembali pada saat ayahnya wafat dan menggantikan posisi ayahnya sebagai pengajar di Mesir.
Pada saat memberikan pengajaran, juga tampak beliau mendalam dan menguasai berbagai disiplin ilmu agama, padahal sebelumnya tidak diketahui riwayat guru lain selain orang tuannya, yakni Ibrahim al-Laqqani. Namun, kealiman dan kepakaran ilmu dari guru sekaligus orang tuanya tersebut menurun ke Abdu al-Salam (dikutip dari tarajm.com).
Sebagai pembahasan dalam tulisan ini, kitab Ithaf al-Murid, salah satu dari kitab pensyarah Nadzam Jauhar al-Tauhid milik ayahnya. Kitab Jauhar al-Tauhid dalam bentuk nadzam (arjuzat) yang dianggap populer pada zamannya dan berkelanjutan setelahnya. Kitab Jauhar al-Tauhid yang terkenal di kalangan para penuntut ilmu agama di Nusantara merupakan hasil karya Syekh Ibrahim Al-Laqqani, seorang ahli dalam ilmu hadits dan tauhid di Jazirah Arab (Mesir).
Kitab ini memuat sebanyak 144 bait syair. Walaupun tidak mengikuti pakemnya syair dan pantun, namun sangat diapresiasi oleh para intelektual dan fuqaha’ terutama dalam bidang teologi, akidah dan syariat. Secara umum, disebut juga dengan kitab tauhid.
Sementara itu, deskripsi kitab Ithaf al-Murid Bijauhar al-Tauhid berdasarkan Britis Library sebagaiman link berikut ini https://eap.bl.uk/collection/EAP061-3/search, berjudul dengan, “Irshad al-Murid Zammatuha Ahl Al-Sunna Min Ghayr al-Mazid”, dengan jumlah 84 lampiran. Kitab yang berhasil dihimpun dari para keturunan Kiai Ageng Muhammad Besari ini berbahan “Dluwang” lokal, dikenal dengan “Kertas Gedong” atau “Dlancang”.
Karena kitab ini adalah salinan, sudah barang tentu berbahasa arab sebagaimana laiknya kitab-kitab kuning lainnya. Kitab ini belum jelas siapakah yang membawanya sehingga bisa sampai di Pondok Pesantren Tegalsari. Selain itu, siapa yang melakukan penyalinan dari kitab aslinya juga belum diketahui secara pasti.
Sebagaimana sudah diketahui umum, kertas Gedog atau Dlancang adalah media tulis yang berhasil dikembangkan oleh tokoh-tokoh Pondok Pesantren Gebang Tinatar, nama lain dari Pondok Pesantren Tegalsari. Dengan ini, kitab yang bermedia tulis Gedong hanya dari Tegalsari. Oleh sebab itu, hal ini memicu spekulasi dari para pengkaji naskah kuno Tegalsari.
Namun, kitab ini dimungkinkan ditulis alias disalin oleh Mbah Mukibbat bin Ismail bin Kiai Ageng Muhammad Besari, atau kitab ini berhasil didapatkan oleh Mbah Mukibbat sebagai bagian dari hasil belajar beliau sepulang dari Haji di Makkah, yang lalu disalin ulang.Mbah Mukibbat, karena sebagai cucu, yang diperkirakan lahir awal abad 19 atau tahun 1800 M.
Sayangnya, kitab Ithaf al-Murid Bijauhar at-Tauhid ini tidak terdapat keterangan lain tentang perolehan kitab maupun penulisan kitab, atau disebut dengan “kolofon naskah”. Meskipun begitu, keberadaan kitab tauhid yang ditulis oleh seorang bermadzhab Maliki ini jadi bukti betapa luas jejaring Tegalsari dan keterbukaan pemikiran pesantren dengan mengadopsi kitab-kitab lintas madzhab. Wallahu a’lam bisshawab.
Identitas Kitab:
Judul: Ithaf al-Murid ‘Bijauhar al-Tauhid li al Imam Abdu al-Salam Ahmad bin Ibrahim al-Laqqani
Peresensi: Ali Makhrus, Ketua Babad Institute, sebuah komunitas ngaji agama, budaya, sosial, pendidikan dan penelitian berkedudukan di Madiun, sekaligus lulusan magister Islamic Studies SPs UIN Jakarta.