Pondok Pesantren Tebuireng mungkin bukan pesantren tertua, namun pesantren di Jombang ini sangat terkenal sebagai pusat perjuangan sejak pertengahan abad ke-19. Pesantren ini dipilih sebagai lokasi pelaksanaan Konferensi Wilayah atau Konferwil NU Jatim pada 2-4 Agustus 2024 mendatang.
Pesantren Tebuireng didirikan sebagai tanggapan terhadap berkembangnya kapitalisme liberal yang tumbuh bersamaan dengan industri gula di wilayah tersebut. Pabrik-pabrik gula ini membawa dampak ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan berbagai macam kriminalitas yang sengaja dipertahankan oleh penjajah untuk melemahkan mental masyarakat jajahan.
Sebagai seorang aktivis muda, Hasyim asy’ari yang telah mendapatkan pendidikan paripurna dari seluruh peantren terkemuka di Jawa yang kemudian berpuncak mendapatkan pendidikan agama di Tanah Suci. Ia tergerak untuk mengatasi tantangan struktural itu, maka pada tahun Rabiul Awal 1317/1899 M didirikanlah sebuah pesantren di Tebuireng di Cukir. Berhadapan persis dengan pabrik Gula Cukir.
Pesantren bersejarah ini akan menjadi lokasi Konferensi Wilayah (Konferwil) ke-18 Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur pada 2-4 Agustus 2024 mendatang.
Pesantren Tebuireng di Era Kolonial
Sejak awal berdirinya, pesantren tersebut tidak mengenakkan kalangan kolonial yang bercokol di situ, maka gangguan demi gangguan dilakukan oleh sekelompok preman dan jagoan yang dipelihara oleh Belanda.
Ketika posisi Kiai dan segenap santri yang jumlanya hanya beberapa orang itu sangat terancam, maka Mbah Hasyim Asy’ari meminta bantan pada kiai-kiai dari Cirebon yang dikenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Kiai Abbas beserta beberapa kiai yang lain dari Buntet Cirebon datang memberikam bantuan. Semua jagoan yang ada di situ bisa dikalahkan sehingga mereka tidak berani lagi menggangu pesantren. Tetapi tidak dengan sendirinya pengawasan Belanda berhenti, sebaliknya terus diintensifkan.
Dengan berkurangnya gangguan itu, jumlah santri yang datang semakin bertambah. Ada sekitar 28 orang yang berasal dari berbagai tempat di Jawa Timur. Sebagai pesantren Salafiyah, Tebuireng mengajarkan berbagai kitab penting baik dalam fiqih, tauhid dan akhlaq.
Keahlian Mbah Hasyim Asy’ari dalam bidang hadits dan tafsir, menjadi daya tarik utama pesantren yang dirintisnya itu. Semua kitab diajarkan sesuai dengan tradisi pesantren Salaf, yaitu dengan metode bandongan, dan sorogan, bahkan saat itu metode halaqah juga sudah diterapkan, sehingga kehidupan akademis para santri menjadi dinamis dalam mengasah diri. Banyak santri senior dari pesantren juga dating, nyantri di Tebuireng baik sekadar mencari barokah maupun sengaja melibatkan diri dalam perjuangan politik yang gerakan dari pesantren itu.
Saat itu santri sudah datang dari Jawa Tengah dan Jawa Barat sehingga jumlahnya kemudian meningkat hingga 200 orang. Apalagi sikap kiai yang sangat tegas pendiriannya dalam menghadapi berbagai persoalan kolonial, menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri untuk berguru kepadanya. Melihat perkembangan pesantren Tebuireng yang semakin tidak terbendung itu, pemerintah Kolonial Belanda akhirnya terpaksa mengakui pesantren ini tahun 1906. Namun, Mbah Hasyim ini tetap waspada. Sebab, dia tahu bahwa pengakuan ini tidak lebih merupakan bagian dari Politiek Etis, sebuah tipu muslihat Belanda untuk membelandakan bangsa Indonesia dan umat Islam melalui pendidikan.
Ternyata, Tebuireng tetap pada pendiriannya, tidak mau tunduk pada Belanda dan tidak mau menerima bantuannya, bahkan semakin intensif menyardarkan bangsanya. Pesantren itu dituduh sebagai sarang ekstrimis Islam, karena itu pada tahun 1913 pesantren Tebuireng dihancurkan dan berbagai kitab penting dibakar oleh Belanda.
Transformasi Tebuireng
Menghadapi tantangan yang semakin berat itu tiada lain bagi peasantren ini untuk menyiapkan pejuang yang selain mendalam ilmu agamanya tetapi juga memiliki bekal ilmu pengetahuan umum yang memadai sebagai modal perjuangan nasional.
Walaupun Mbah Hasyim murni berpendidikan Salaf, tetapi sangat menghargai kemajuan yang terjadi di lingkungannya. Sebab itu, tahun 1919 telah diselenggarakan pendidikan formal yang bersifat klasikal yang dinamakan Madrasah Salafiyah Syafiiyah. Pelopor pembaruan di Tebuireng ini adalah seorang Kiai Muda Muhamamad Ilyas yang sangat dipercaya oleh K Hasyim Asy’ari, sehingga berani memulai mengajarkan mata pelajaran umum yang selama ini belum dikenal di pesantren salafiyah.
Kalau semua kitab agama dipelajari dengan menggunakan bahsa Arab, tetapi saat itu, mulai diperkenalkan huruf latin, bersamaan dengan diterapkannya mata pelajaran bahasa Melayu, berhitung, sejarah, ilmu bumi dan sebagainya.
Tawaran baru ini sangat menarik kalangan santri yang sedang bangkit dan bergejolak saat itu. Sehingga Tebuireng menjadi pesantren idaman di kalangan pemuda tidak hanya dari Jawa, tetapi dikenal di seluruh Nusantara.
Para santri dari Tebuireng ini kemudian menjadi ulama besar yang memimin berbagai pesantren penting di Nusantara, antara lain KH Wahab hasbullah memimpin Pesantren ambakberas, KH Abdul Karim pendiri peantren Lirboyo dan sebagainya, termasuk KH Ahmad Shiddiq adalah murid Kiai Hasyim yang disegani.
Artikel diambil dari: Kisah Tebuireng, dari Mbah Hasyim hingga Gus Dur
Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang sangat giat bekerja mencari harta dan selalu menganjurkan orang untuk bercocok tanam yang dianggapnya sebagai pekerjaan sangat mulia. Demikian pula untuk mengembangkan pendidikan. Kedua dirasa sangat perlu untuk memperkuat basis perekonomian dan basis moral. Karena itu pada tahu 1919 itu juga didirikanlah Nahdlatut Tujjar yang dipimpin sendiri kemudian bendaharanya adalah Kiai Wahab Chasbullah. Sejak saat itu Tebuireng menjadi simpul utama dari pergerakan nasional.