• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Risalah Redaksi

Ramadhan dan Harapan bagi Perbaikan Negeri

Ramadhan dan Harapan bagi Perbaikan Negeri
Ramadhan memberikan harapan bagi perbaikan diri dan negeri. (Foto: NOJ/NU Network)
Ramadhan memberikan harapan bagi perbaikan diri dan negeri. (Foto: NOJ/NU Network)

Akhirnya umat Islam dipertemukan dengan bulan yang demikian istimewa, yakni Ramadhan. Sempat ada perbedaan apakah puasa dimulai Sabtu atau Ahad. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi kendala, dan puasa dapat dilaksanakan dengan khidmat. 


Jauh sebelum Ramadhan, warga telah menyiapkan diri dengan beragam hal. Termasuk puasa Rajab dan Sya’ban sebagai latihan agar tidak mengalami kesulitan kala memasuki Ramadhan. Demikian pula membiasakan mengaji Al-Qur’an lembar perlembar agar saat Ramadhan sudah memiliki kebiasaan tersebut. Karena bagi sebagian kalangan, membaca Al-Qur’an sampai satu juz sehari adalah memberatkan.  


Tentu saja, segala hal yang tidak didahului dengan latihan akan demikian adanya. Sama seperti kemahiran mengendara, maka tidak akan didapat kalau malas berlatih. Mereka yang memiliki keahlian lebih kala berkendara, karena ditempa setiap hari dengan pengalaman di jalan. Bukan semata dalam teori.


Demikian pula kepedulian kepada mereka yang hidupnya serba kekurangan juga demikian. Karena itu tidak serta merta kala Ramadhan mempunyai kepekaan sosial kalau sebelumnya tidak dilatih. Dan sarana latihan tersebut ada di bulan sebelumnya. Sehingga kala Ramadhan akan tergerak hati untuk berderma.


Betapa hal-hal seperti ini harus menjadi kesadaran kolektif bagi umat Islam. Bahwa rasa empati yang diimbangi dengan berdonasi memerlukan latihan yang mungkin tidak singkat. Dan kalaupun hal tersebut berhasil dilakukan di bulan sebelumnya diharapkan di Ramadhan ini bisa terwujud.


Menyimpan Banyak Pesan
Yang pasti, Ramadhan menyimpan banyak pesan kepada umat Islam. Dan sebagian dari kita memang ternyata harus ‘dipaksa’ dan dikondisikan dengan suasana seperti saat ini. Betapa bahwa semangat shalat berjamaah kerap dilalaikan, demikian pula waktunya yang sering di akhir. 


Dengan Ramadhan, umat Islam diberikan kekuatan ekstra untuk berangkat ke masjid dan mushala untuk shalat tarawih. Sebuah kebiasaan yang akan sulit dilakukan di waktu lain. Bagaimana mungkin kita melakukan shalat isya berjamaah dan dilanjut dengan shalat tarawih dan witir hingga 23 rakaat. Tapi semua bisa kita lakukan dengan suka cita.


Demikian pula bagaimana kita diberikan tambahan stimulus untuk akhirnya berkenan puasa selama sebulan penuh. Padahal untuk puasa sehari saja dalam sebulan beratnya demikian rupa. Sekali lagi, dengan kurnia dan kebaikan Allah SWT akhirnya kita bisa melaksanakan ibadah dan memeriahkan Ramadhan dengan aneka kebaikan.


Akan tetapi apakah ghirah beragama seperti itu cukup? Ternyata tidak. Bahwa kita diberikan kekuatan untuk melaksanakan sejumlah kebaikan ibadah personal dan sosial adalah sebuah prestasi. Namun sebaiknya tidak berhenti sampai di situ. Karena masih ada tahapan dan pencapaian lain yang jauh lebih esensial dalam melaksanakan sebuah ajaran agama.


Yang pasti, setiap ibadah menyimpan pesan penting. Shalat semisal, tidak semata bagaimana dilaksanakan rutin lima kali dalam sehari. Namun ada garansi bahwa shalat dapat mencegah yang melaksanakannya dari perbuatan keji dan mungkar. Anggap saja kesadaran melaksanakan shalat rawatib menjadi bagian tidak terpisahkan dalam keseharian. Namun yang jadi pertanyaan lanjutan adalah apakah shalat kita bisa memproteksi dari perbuatan keji dan mungkar? 


Banyaknya pelanggaran hukum dan perbuatan hati dan kebiasaan buruk yang dilakukan para pelaku shalat adalah bukti nyata. Bahwa shalat yang dikerjakan ternyata jauh dari ideal. Dengan demikian hanya dilakukan sebagai formalitas, tanpa berupaya menghadirkan atsar atau pengaruh positif dalam keseharian. 


Dalam keseharian, kita menyaksikan dengan mudahnya orang melakukan perbuatan buruk. Tidak merasa bahwa yang dilakukan akan mengurangi hak orang lain, bahkan mengganggu. Dan anehnya, hal itu tidak kita sadari telah dilakukan setiap saat dan tidak ada upaya memperbaiki diri. Padahal mungkin kita terlihat khusyuk dalam beribadah dan mengerjakan shalat di awal waktu.


Pun dengan puasa yang saat ini dikerjakan. Harusnya seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah menjadikan para pelaku atau yang mengerjakan mempunyai derajat muttaqin atau bertakwa. Bagaimana insan bertakwa tersebut? Merasa selalu dalam monitor Allah SWT. Membayangkan Ia melihat yang kita lakukan, sehingga berikhtiar untuk terus melakukan kebaikan, bukan sebaliknya. 


Karena, diawasi manusia saja kita demikian terlihat demikian baik dan rajin. Kita tidak ingin mengecewakan atasan, karena akan berpengaruh kepada masa depan sebagai karyawan dan gaji yang diterima. Bagaimana kalau yang mengawasi adalah dzat yang bisa saja langsung menarik nafas kita? Mengakhiri keberadaan diri di alam dunia ini? Tentu kita akan demikian taat dan berupaya menampilkan yang terbaik. 


Di banyak kesempatan, bahwa rusaknya tatanan di negeri ini bukan lantaran dikuasai oleh kalangan yang kurang kompeten di dalamnya. Bahkan untuk rekrutmen pegawai telah disampaikan sejumlah persyaratan demi memastikan akan terpilih mereka dengan kualifikasi yang diinginkan. Mereka bisa berasal dari kalangan profesional, berpendidikan tinggi dan dari kampus terkenal dan sejenisnya. 


Namun dalam perjalanannya, ternyata hal tersebut tidak bisa menjamin bahwa bangsa Indonesia dengan kelebihan yang ada bisa sejahtera. Kondisi alam ternyata dieksplorasi sedemikian rupa tanpa mengindahkan kesinambungannya. Dengan demikian, upaya mengambil kekayaan alam justru menimbulkan masalah baru dan ternyata lebih parah. 


Demikian pula aturan yang dibuat untuk kebaikan bersama, kerap menjadi barang dagangan dengan diperjualbelikan. Para pelanggar hukum justru adalah dari mereka yang memang memiliki pengetahuan tentang hukum. Pengetahuan tidak berbanding lurus dengan kesadaran, dan hal ini banyak disaksikan dalam beragam kejadian di sejumlah daerah.


Dalam suasana seperti ini, Ramadhan kembali dihadirkan. Kedatangannya bukan semata rutinitas dan hukum alam, namun diharapkan memberikan harapan baru. Yakni akan lahir umat Islam dengan kesadaran kolektif untuk taat dengan aneka aturan agama dan negara. Sehingga kehadiran bulan penuh rahmat ini akan memberikan secercah harapan bagi lahirnya umat Islam yang memiliki kesadaran tinggi dalam beribadah. Tidak berhenti sampai di situ, juga bagaimana dari ibadah yang telah dilakukan tersebut akan membekas dalam diri yang ditunjukkan dengan lahirnya insan harapan. 


Karena perbaikan bagi negeri ini tidak dapat terwujud tanpa ada upaya melakukan perbaikan individu. Mereka yang berupaya menjaga integritas diri akan menjadi sosok demikian  dibanggakan di dalam keluarga dan masyarakat terkecil di lingkungannya. Dari orang yang telah ditempa secara baik dalam ibadah dan pendidikan tersebut diharapkan menjadi sosok teladan. 


Dan harapan bagi perbaikan diri dan negeri ini bisa dimulai dari Ramadhan tahun ini. Apakah hal tersebut terlalu mengada-ada? Tidak juga, asal umat Islam mau memulainya untuk menjadi kalangan terbaik sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Kesempatan tersebut tentu terbuka luas sembari terus belajar pesan keagamaan dari ibadah yang kita lakukan. Semoga Ramadhan 1443 H ini memberikan harapan bagi perbaikan diri dan negeri ini.


Risalah Redaksi Terbaru