• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Tapal Kuda

KH Muhyiddin Abdusshomad Jelaskan Keteladanan Almaghfurlah KH Zaini Mun’im

KH Muhyiddin Abdusshomad Jelaskan Keteladanan Almaghfurlah KH Zaini Mun’im
KH Muhyiddin Abdusshomad menghadiri Haul dan Silaturahmi Bani Hadu-Bani Ruham di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. (Foto: NOJ/Panirin Mika)
KH Muhyiddin Abdusshomad menghadiri Haul dan Silaturahmi Bani Hadu-Bani Ruham di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. (Foto: NOJ/Panirin Mika)

Probolinggo, NU Online Jatim

Ada sejumlah ciri ulama yang bisa wushul atau sampai kepada Allah SWT. Jumlah ulama yang masuk kategori ini tentu saja tidak banyak, melainkan merupakan insan pilihan. Dan salah satu ulama tersebut adalah KH Zaini Mun’im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadidi, Paiton, Probolinggo.


Penegasan disampaikan KH Muhyiddin Abdusshomad, pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember pada acara Haul dan Silaturahmi Bani Hadu-Bani Ruham di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Ahad (19/11/2023).


“Kiai Zaini Mun’im adalah ulama yang wushul kepada Allah, sebagaimana yang dikategorikan oleh Syekh Abdul Qodir al-Jailani,” kata kiai yang juga Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember tersebut.


Dikemukakan bahwa tanda orang sampai kepada Allah ada tiga yakni al-karam atau mulia, at-tawadhu yakni rendah hati, serta as-salamatus-sadr atau kelapangan maupun keselamatan hati.


Inda dzikris shalihin tanzilur rahmah, yakni apabila orang-orang salih disebut, diceritakan dan dikenang, maka rahmat Allah akan turun menyertainya,” terang Kiai Muhyiddin mengutip perkataan Imam Sufyan bin Uyainah.


Lebih lanjut dirinya teringat kisah almaghfurlah Kiai Zaini Mun’im yang kerap membincang kemerdekaan Indonesia, perjuangan Nahdlatul Ulama dan keumatan. Dirinya ditemani sahabat terbaik kala itu yakni Kiai Toha Bherkejhem dan Kiai As’ad Syamsul Arifin.


“Ketika Kiai Zaini sedang mengungsi di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Kiai Syamsul Arifin memerintahkan kepada saudara dan anak cucunya untuk mengaji ke Kiai Zaini,” ungkapnya.


Saat itu Kiai Syamsul Arifin mengajak saudara lainnya untuk turut mengaji karena ada KH Zaini Mun’im yang dikenal alim dan merupakan keponakannya.


“Ini adalah kesempatan emas bagi kalian semua untuk ngaji (belajar) ke beliau,” tegasnya.


Dari cerita tersebut dapat ditarik hikmah, bahwasanya Kiai Zaini Mun’im memiliki sifat as-salamatus-sadr yakni kelapangan hati untuk mengajar.


“Sehingga Kiai Muhammad Toha Bindung, almaghfurlah Kiai Abdul Hamid Bakir, termasuk Kiai Abdusshomad yang merupakan ayah saya, serta keponakan dan saudara yang lain dapat berkumpul di Sukorejo untuk belajar bersama,” tuturnya.


Di samping itu, Kiai Muhyiddin juga menceritakan kealiman dan ketawadukan Kiai Zaini saat menghadiri perkumpulan ulama di Malang pada tahun 1963. Saat itu dirinya diminta untuk menyampaikan pesan atas wafatnya Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih, tokoh ulama ahli hadits yang menetap di Malang. Kiai Zaini menyampaikan pesan dalam bentuk syiir “Qosidah Ritsaiyah” yang membuat saat itu pendengarnya tertegun.


“Dilansir dari kitab Sadarotun Tarikhiyah yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, bahwa Kiai Zaini menyampaikan pesan dalam bentuk syiir dengan gramatikal bahasa Arab yang sempurna itu secara spontan. Sampai disebutkan dalam kitab itu, qosidah ucapan belasungkawa ini disampaikan oleh ahli sastra Arab yang sangat alimnya, yaitu Kiai Zaini Abdul Mun’im,” imbuhnya.


Kisah perjuangan Kiai Zaini selama mengusir penjajah, memperjuangkan umat dan NU sebetulnya sudah banyak diulas oleh sejumlah artikel dan karya ilmiah. Hal ini juga terpatri dari kegigihannya mencetak para santrinya agar berjuang di masyarakat. Dan hal itu juga yang kerap dikutip dan dijadikan quote. Seperti: “Saya tidak rela kalau santri saya tidak berjuang di masyarakat.” Juga “Orang yang hidup di Indonesia, kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan masyarakat.”

 

Penulis: Ponirin Mika


Editor:

Tapal Kuda Terbaru