• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Kiai Abdul Chalim, Sahabat Mbah Wahab sekaligus Pelopor Pergunu

Kiai Abdul Chalim, Sahabat Mbah Wahab sekaligus Pelopor Pergunu
KH Wahab Hasbullah dan KH Abdul Chalim (Foto: Website PP Amanatul Ummah)
KH Wahab Hasbullah dan KH Abdul Chalim (Foto: Website PP Amanatul Ummah)

Sidoarjo, NU Online Jatim

KH Abdul Chalim merupakah ayah dari KH Asep Saifuddin Chalim pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto dan Surabaya. Nama sang ayah dijadikan nama kampus yang berada di bawah naungan pesantrennya. Yakni Institut Pesantren KH Abdul Chalim. Melalui kampus dengan nama ayahnya, Kiai Asep ingin membangun sentra pendidikan dan kebudayaan di lembaga pendidikannya.
 

Sosok Kiai Chalim, merupakan kawan akrab KH Abdul Wahab Hasbullah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Chalim sendiri lahir pada bulan Juli 1898 di Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat. Ia lahir dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama  dan Nyai Suntamah.
 

Masa kecil Kiai Chalim belajar di Sekolah Raja (sekolah umum yang diikuti oleh kalangan tertentu pada masa penjajahan Belanda). Di sekolah ini Kiai Chalim belajar selama dua tahun.
 

Selanjutnya Kiai Chalim nyantri di Pesantren Barada Mirat Leuwimunding, Pesantren Trajaya, Pesantren Kedungwuni Kadipaten Majalengka. Kemdian melanjutkan petualangan mencari ilmu ke Pesantren Masantren Cirebon.
 

Pada tahun 1914, Kiai Chalim yang berusia 16 tahun mengikuti jejak kedua pamannya, yakni H Ali dan H Jen ke Mekkah al Mukarromah. Di tanah suci tersebut, Kiai Chalim bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah.
 

Kiai Asep yang saat ini menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dalam buku ‘Kiai Besar Bin Kiai Besar Yang Berfikir Besar’ karya Djoko Pitono dan Achmad Lazim Saudi menceritakan bahwa abahnya setiap hari bertemu saling belajar dan berdiskusi dengan KH Wahab Hasbullah terkait upaya memajukan kaum muslim di Indonesia. Keduanya juga saling  berkomitmen untuk memperjuangkan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
 

Perubahan politik di Arab Saudi pada masa perang dunia pertama membuat Kiai Chalim tidak nyaman dan memutuskan untuk kembali ke tanah air. Di rumah, Kiai Chalim membantu ayahnya yang saat itu menjadi kepala desa.
 

Sampai pada suatu saat Kiai Chalim merindukan teman sekaligus gurunya yang tidak lain KH Abdul Wahab Hasbullah. Kiai Chalim pun bertekad untuk menemui Kiai Wahab dengan berjalan kaki.
 

Disebutkan dalam buku tersebut, pada tanggal 22 Juni 1922 Kiai Chalim bertemu dengan Kiai Wahab. Kiai Wahab pun langsung memberikan kepercayaan kepada sahabatnya tersebut untuk mengajar di Nahdlatul Wathon yang beralamatkan di Kawatan IV Surabaya. Selain mengajar, Kiai Chalim dipercaya menjadi pengatur administrasi dan inisiator berbagai kegiatan.
 

Dalam sejarah NU saat berdirinya Komite Hijaz, Kiai Chalim menjadi komunikator kunci antara para alim ulama seluruh Jawa. Kiai Chalim pula yang membuat surat undangan serta mengatarkan undangan ke seluruh Kiai di Jawa untuk menghadiri rapat Komite Hijaz.
 

 

Dalam kepengurusan pertama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Chalim menjabat sebagai wakil katib. Berbagai momen penting NU selalu dihadiri oleh Kiai Chalim. Termasuk turut gerilya dalam perang 10 November 1945 di Surabaya yang diawali oleh Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’Ari. Dan pada tahun 1958 Kiai Chalim menjadi pelopor pembentukan Pergunu. Sampai beliau wafat pada 11 April 1972.


Editor:

Tokoh Terbaru