• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Tokoh

Mengenal KH Hasan Abdul Wafi, Pencipta Shalawat Nahdliyah

Mengenal KH Hasan Abdul Wafi, Pencipta Shalawat Nahdliyah
KH Hasan Abdul Wafi, Pencipta Shalawat Nahdliyah. (Foto: NOJ/ Istimewa)
KH Hasan Abdul Wafi, Pencipta Shalawat Nahdliyah. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Shalawat Nahdliyah merupakan salah satu shalawat yang populer dan digemari oleh banyak kalangan, khususnya Nahdliyin. Namun, tidak banyak orang yang tahu bahwa yang menciptakan shalawat tersebut adalah KH Hasan Abdul Wafi, seorang ulama kharismatik dan tersohor.


KH Hasan Abdul Wafi dulu memiliki nama asli Abdul Wafi, dan berganti jadi Hasan Abdul Wafi sejak ia menunaikan ibadah haji. Ia lahir di Desa Sumberanyar, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan pada tahun 1923, dari pasangan KH Miftahul Arifin dan Nyai Lathifah.


Semasa kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahnya selama 11 tahun. Dan, di usia yang cukup belia tersebut ia sudah bisa menghafal 1000 bait Alfiyah karangan Ibnu Malik.


Setelah bekal ilmunya dirasa cukup, ia melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Palengaan Pamekasan asuhan KH Abdul Majid kala itu. Selanjutnya, atas izin dari gurunya, KH Abdul Majid, ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji, belajar dan tabarrukan kepada para masayikh di sana.


Selepas dari Makkah, ia dan kakaknya KH Achmad Sufyan menimba ilmu kepada KH Sahlan Krian Sidoarjo, kemudian KH Romli Tamim di Pondok Pesantren Peterongan Jombang. Kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta dan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo yang diasuh KH Zaini Mun’im.


Menikah
KH Hasan Abdul wafi banyak berperan di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Sehingga ia dinikahkan dengan Nyai Hj Aisyah, putri dari KH Zaini Mun’im. Kiai Hasan Abdul Wafi dikenal sebagai figur yang disiplin dan tegas dalam urusan belajar mengajar, sehingga di Pondok Pesantren Nurul Jadid ia dipercaya untuk mengajar kitab Iqna’, Tafsir Jalalain, Syarah Ibnu Aqil dan lain sebagainya.


Kiai Hasan Abdul Wafi juga aktif mengajar di Madrasah Muallimin selama 6 tahun. Ia juga mengajar di Akademi Dakwah dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU) dan Perguruan Tinggi Ilmu dan Dakwah (PTID) Nurul Jadid, yang kemudian berubah nama menjadi IAI Nurul Jadi dan sekarang menjadi Universitas Nurul Jadid (Unuja). Selain mengajar, ia juga dipasrahi sebagai Dewan Pengawas di Pondok Pesantren Nurul Jadid.


Hal yang menarik dari pribadi Kiai Hasan Abdul Wafi ialah tidak berkenan menonton televisi dan mendengarkan radio. Di kediamannya pun tidak terdapat televisi dan radio. Hal tersebut ia lakukan karena ingin menghindari hal-hal negatif dari kedua media tersebut.


Menurutnya, televisi dan radio menyajikan informasi yang banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Namun, hal itu bukan berarti ia kurang informasi. Sebaliknya, beliau selalu update tentang kabar-kabar terkini. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya surat kabar yang ada di kediamannya. Ia lebih berkenan membaca surat kabar dalam menggali informasi, sehingga ia tidak ketinggalan informasi baru.


Di samping mengajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Hasan Abdul Wafi juga aktif mengajar di Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, tepatnya di Banyuputih, Situbondo. Dalam memberi kuliah di Ma’had Aly, ia dikenal sebagai seorang yang sangat ketat dan teliti dalam memaknai kitab. Kabarnya, makna yang yang ditulis oleh para mahasiswa harus sama persis dengan apa yang ia sampaikan ketika memaknai kitab.


Pengabdian di NU
Selain mengabdikan diri di bidang pendidikan dan dakwah, KH Hasan Abdul Wafi juga mengabdi di Jamiyah Nahdlatul Ulama. Kiai Hasan Abdul Wafi termasuk orang yang beruntung karena ia memperoleh sanad ke-NU-an dari KH As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan mediator berdirinya Nahdlatul Ulama.


Dari Kiai As’ad inilah ia banyak belajar tentang bagaimana merawat, memperjuangkan dan mencintai NU. Sehingga timbul rasa cinta dan rasa memiliki yang luar biasa terhadap organisasi kegamaan dan kemasyarakatan yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari ini.


Bukti kecintaan Kiai Hasan Abdul Wafi terhadap Nahdlatul Ulama diwujudkan ketika kakak kandungnya, KH Achmad Sufyan Miftahul Arifin, menganjurkan agar menjadi mursyid tarekat. Karena sikap tegas dan kerasnya, ia malah menolak anjuran tersebut. Khidmatnya hanya untuk NU, tidak bisa menjadi mursyid.


“Biarkanlah saya NU saja. Wirid-wiridnya, wirid NU saja,” ujarnya kala itu.


Kecintaan ini juga ia tanamkan terhadap santrinya. Ketika mengajar, ia selalu menyelipkan pembahasan tentang NU. Selain itu, Kiai Hasan Abdul Wafi tidak pernah lelah dalam mengingatkan santrinya agar selalu membela dan memperjuangkan NU, serta agar menjaga NU agar tidak menyimpang dari khittah yang digariskan para pendiri.


Berkat kepedulian dan kecintaannya terhadap NU, ia diamanahi sebagai Rais PCNU Kraksaan selama dua periode. Selama KH Hasan Abdul Wafi menjabat sebagai Syuriah PCNU Kraksan ia selalu disiplin dan memberikan teladan dengan datang awal saat ke kantor, mengajar dan menghadiri majlis. Bahkan, bila ia terlambat akan merasa sungkan terhadap yang lainnya.


Kiai Hasan Abdul Wafi menghembuskan nafas terakhirnya pada Rabu 31 Juli 2000 dan di makamkan di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Meski telah wafat, namanya tetap dikenang di hati setiap orang yang mengenalnya. Ia menciptakan lagu Shalawat Nahdliyah karena didorong rasa cintanya terhadap NU.


Penulis: Reval Mhaulana Aminullah


Tokoh Terbaru