2 Metode Penentuan Awal Ramadhan Versi Rukyatul Hilal dan Hisab
Selasa, 25 Februari 2025 | 14:00 WIB
Di Indonesia, perbedaan pendapat tentang hilal bukanlah hal baru. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kerap kali memiliki pandangan yang berbeda dalam menentukan awal bulan Hijriyah, terutama pada bulan Ramadhan dan Syawal.
Hilal telah menjadi simbol yang sangat penting bagi umat Islam. Hilal adalah bulan sabit muda sebagai penanda awal bulan dalam kalender Islam. Hilal sangat berkaitan dengan ibadah umat Islam. Mereka selalu menanti hasil penetapan hilal terutama pada bulan-bulan tertentu seperti Ramadhan dan Syawal.
Dua Metode yang Digunakan versi NU dan Muhammadiyah
Perbedaan kriteria hilal antara NU dan Muhammadiyah disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. NU menggunakan metode rukyatul hilal (pengamatan langsung) dengan menggunakan Hisab Hakiki Imkan Rukyat sebagai pembantu, sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal.
Rukyatul Hilal versi NU
Rukyatul hilal dilakukan dengan mengamati penampakan hilal yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtima', yaitu kondisi saat matahari dan bulan dalam satu bujur yang sama. NU konsisten menggunakan metode ini, meskipun juga tidak mengabaikan hisab sebagai alat bantu.
Jadi, NU tidak anti terhadap hisab (metode penentuan awal bulan Hijriah dengan penghitungan) yang umumnya dijadikan patokan oleh Muhammadiyah. Namun metode hisab bagi NU merupakan pendukung, bukan alat penentu keputusan final dalam menentukan awal bulan Hijriah.
NU dalam menggunakan metode Hisab Hakiki Imkan Rukyat sebagai alat bantu, menetapkan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6.4). Hal ini sesuai dengan kriteria terbaru yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Metode penentuan awal bulan Hijriah, baik untuk menandai permulaan bulan Ramadhan, Syawal, atau bulan lainnya, harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fa'li). Hilal diamati pada hari ke-29 malam ke-30. Jika hilal terlihat, maka itu menandakan awal bulan baru. Sebaliknya, jika hilal tidak terlihat, maka malam itu masuk tanggal 30.
Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU) dinyatakan mempunyai parameter tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi hilal haqiqi minimal 6,4 derajat. Hal ini ditegaskan melalui surat keputusan nomor 001/SK/LF–PBNU/III/2022, tentang kriteria IRNU yang merupakan turunan dari butir pertama keputusan Muktamar Ke-34 NU tahun 2021, terkait posisi ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah.
Adapun dasar hukum bagi penggunaan rukyatul hilal adalah sebagai berikut:
1. Hadits muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) sebagai berikut:
حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya: Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari. (HR Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Dari hadits di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" atau rukyatul hilal sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi kalimat Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.
2. Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan sebagai berikut:
وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
Artinya: Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi timur untuk mengikuti ketetapan rukyah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi barat.
Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah timur untuk mengikuti ketetapan rukyah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di barat.
3. Dalam kitab Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:
َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ
Artinya: Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti rukyah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya seperti halnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyat ini. Yaitu di antaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan atau ikhtilaf mathali'.
4. Penjelasan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin
لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Artinya: Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.
Hisab Hakiki Wujudul Hilal versi Muhammadiyah
Sedangkan Muhammadiyah tidak melakukan ru’yatul hilal atau pengamatan hilal secara langsung. Mereka menetapkan awal bulan hijriah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, dengan keberadaan hilal di atas ufuk saat terbenam matahari pada hari ke-29, meskipun hanya 0,1 derajat.
Metode hisab atau Hisab Hakiki Wujudul Hilal merupakan perhitungan posisi matahari dan bulan secara ilmu falak untuk menentukan wujudnya hilal sebagai penanda bulan baru Hijriah. Bulan baru terjadi jika ketinggian hilal sudah di atas nol derajat dan terjadi ijtima' sebelum matahari terbenam.
Bagi Muhammadiyah, hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.
Metode ini menekankan bahwa hilal dapat ditemukan meskipun tidak dapat dilihat dengan mata telanjang selama memenuhi tiga syarat. Apabila ada satu syarat yang tidak terpenuhi, maka waktu tersebut belum masuk bulan baru.
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, Hisab Hakiki adalah metode penentuan awal bulan Hijriah yang dilakukan dengan menghitung gerak faktual (sesungguhnya) Bulan di langit, sehingga awal dan akhir bulan Hijriah mengacu pada perjalanan Bulan benda langit tersebut.
Berdasarkan kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal, bulan Hijriah baru dimulai apabila saat matahari terbenam pada hari ke-29 dari bulan Hijriah yang berjalan, telah terpenuhi tiga syarat berikut, yaitu:
- telah terjadi ijtima' (konjungsi),
- ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam, dan
- pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.
Apabila salah satu kriteria tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, [Yogyakarta, Majelis Tarjih, 2009]).
Perbedaan metode dalam penetapan awal bulan Hijriah bermula dari perbedaan dalam memahami hadits perihal tersebut. Rasulullah saw bersabda:
صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Artinya: Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari.” (HR Al-Baihaqi).
Dari hadits tersebut, NU memahami kalimat li ru’yatihi dengan maksud melihat hilal secara langsung dengan mata kepala dengan dukungan metode Hisab Hakiki Imkan Rukyat, sedangkan Muhammadiyah memahaminya dengan maksud melihat hilal cukup dengan perhitungan atau hisab.
Menyikapi Perbedaan
Walhasil, NU dan Muhammadiyah berbeda dalam metode yang digunakan. NU menggunakan metode Hisab Hakiki Imkan Rukyat, dengan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6.4) berdasarkan kriteria terbaru dari MABIMS. Sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, dengan keberadaan hilal di atas ufuk saat terbenam matahari pada hari ke-29, meskipun hanya 0,1 derajat.
Artikel diambil dari: Melihat Lebih Dalam Kriteria Hilal NU dan Muhammadiyah
Perbedaan cara pandang dari dua organisasi Islam ini dapat menimbulkan klaim benar-salah yang tidak ilmiah di tengah masyarakat. Untuk itu, masing-masing pihak harus menyadari posisinya, dan saling menghormati keputusan masing-masing. Wallahu a’lam.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH Taufik Ketua PCNU Pamekasan Wafat
2
Kronologi Kecelakaan yang Menimpa KH Taufik Hasyim Ketua PCNU Pamekasan
3
Yusak, Kader GP Ansor Trenggalek Istiqamah Berkhidmat 25 Tahun Berpulang
4
Bacaan Doa Sambut Kepulangan Jamaah Haji ke Tanah Air
5
5 Tanda Haji Mabrur Menurut Al-Qur'an dan Hadits
6
PBNU Cetak 100 Ribu Kader, Siapkan Akademi Kepemimpinan Nasional NU
Terkini
Lihat Semua