• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Keislaman

Bagaimana Hukum Upah Panitia Pembangunan Masjid?

Bagaimana Hukum Upah Panitia Pembangunan Masjid?
Masjid NU Ponorogo. (Foto: NOJ/Eko Yoga)
Masjid NU Ponorogo. (Foto: NOJ/Eko Yoga)

Ketika melakukan pembangunan rumah ibadah seperti masjid, mushala dan lainnya, dibentuknya panitia. Tujuannya tidak semata memastikan pembangunan berjalan sesuai harapan, termasuk pendanaan hingga bangunan layak digunakan. 


Dan saat ini, sepertinya menjadi kewajaran bahwa pembangunan fasilitas ibadah dari mulai masjid, mushala, madrasah, pesantren, dan sejenisnya mengandalkan dana sumbangan masyarakat. Dengan segala kreativitasnya, panitia berusaha sekuat tenaga mencukupi kekurangan pandanaan ini.


Di antara strategi penggalian dana dilakukan dengan cara mengirim relawan untuk naik ke atas angkutan umum dan mengedarkan kotak amal kepada para penumpang. Atau dengan cara mendirikan semacam ‘pos’ di pinggiran jalan raya dengan harapan menarik minat mereka yang lewat untuk beramal. 


Akan tetapi dalam prosesnya relawan memerlukan biaya guna memenuhi kebutuhan. Meskipun sekadar makan, minum atau bensin untuk perjalanan. Oleh karena itu diaturlah pembagian hasil antar keduanya. antara relawan penggalang dana dan panitia sebagai penerima dana. 


Fenomena semacam ini diperbolehkan dalam fiqih asalkan tidak melebihi dari upah sepantasnya atau sekadar mencukupi kebutuhannya, apabila relawan itu fakir. Lain halnya kalau relawan adalah orang yang kaya, maka tidak boleh. 


Demikian keterangan Abu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj:


  وَقِيْسَ بِوَلِيِّ الْيَتِيْمِ فِيْمَا ذُكِرَ مَنْ جَمَعَ مَالاً لِفَكِّ أَسْرٍ أَيْ مَثَلاً فَلَهُ إِنْ كَانَ فَقِيْرًا اْلأَكْلُ مِنْهُ كَذَا قِيْلَ وَالْوَجْهُ أَنْ يُقَالَ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ قَالَ الشَّرْوَانِي (قَوْلُهُ أَي مَثَلاً) يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِخَلاَصِ مَدِيْنٍ مُعْسِرٍ أَوْ مَظْلُوْمٍ مُصَادَرٍ وَهُوَ حَسَنٌ مُتَعَيَّنٌ حَثًّا وَتَرْغِيْبًا فِيْ هَذِهِ الْمُكَرَّمَةِ. أهـ سَيِّد عُمَر. أَقُوْلُ وَكَذَا يَدْخُلُ مَنْ جَمَعَ لِنَحْوِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ. (قَوْلُهُ وَ كَذَا قِيْلَ) لَعَلَّ قَائِلُهُ بَنَاهُ عَلَى مَا مُصَحِّحِ الرَّفِعِي. اهـ سيد عمر. (قَوْلُهُ فَلَهُ أَقَلُّ اْلأَمْرَيْنِ ) النَّفَقَةُ وَاُجْرَةُ الْمِثْلِ


Artinya: Disamakan dengan wali anak yatim, seperti yang telah dikemukakan, orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk membebaskan tawanan. Jika ia orang yang miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua hal yang paling sedikit, yaitu biaya nafkah atau mengambil ujrah al-mitsli (upah standar).  Menurut al-Syirwani yang demikian itu termasuk pula orang yang mengumpulkan harta untuk membantu menyelamatkan orang miskin yang terbelit hutang atau orang yang terzalimi yang dirampas hartanya. Pendapat tersebut adalah pendapat yang baik dan (memang) harus seperti itu, sebagai pendorong dan penyemangat dalam perbuatan mulia ini. Demikian pendapat Sayyid Umar. Saya (al-Syirwani) berpendapat: Begitu pula orang yang mengumpulkan harta untuk membangun masjid. (Maksud salah satu di antara dua hal), yaitu nafkah dan ujrah al-mitsl (upah standar). 

 

Artikel diambil dariUpah Relawan Pembangunan Masjid

 

Hal ini sebagaimana keputusan Muktamar ke-2 NU  di Surabaya pada 12 Rabiuts Tsani 1346 H atau 9 Oktober 1927 M. Wallahu a'lam.


Keislaman Terbaru