• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Hukum Menikah, dari Sunah hingga Tidak Dianjurkan

Hukum Menikah, dari Sunah hingga Tidak Dianjurkan
Hukum menikah bisa sunah atau malah tidak dianjurkan.
Hukum menikah bisa sunah atau malah tidak dianjurkan.

Bulan Dzulhijjah ini banyak dari keluarga, sahabat, teman, hingga tetangga yang melangsungkan pesta pernikahan. Dan perlu diketahui bahwa hukum menikah juga beragam. Hal ini tergantung motivasi dan kondisi calon pasangan.


Dengan memahami kondisi diri, maka setiap umat Islam, khususnya warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin akan memahami sekaligus mengerti bagaimana kondisi dirinya. Apakah memang dianjurkan, atau malah disarankan untuk tidak menikah. 


Definisi
Nikah merupakan sebuah ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat disimak dalam penjelasan Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut: 


كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ 


Artinya: Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya. (Lihat: Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman: 38). 


Hukum Menikah
Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfii menjelaskan sebagai berikut: 


 حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص 


Artinya: Hukum nikah secara syara. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik). (Lihat: Sa‘id Musthafa al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfii, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV: halaman 17). 


Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus, sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum dari nikah tersebut sebagai berikut: 


1. Sunah 
Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini: 


 يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ 


Artinya: Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya. 


2. Sunah Ditinggalkan 
Nikah dianjurkan atau disunahkan, baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri. 
Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mencukupinya hingga memiliki kemampuan. 


Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33 sebagai berikut: 


 وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ 


Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. 


Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya. 


3. Makruh Menikah 
Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan menikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan. 


4. Lebih Utama Tidak Menikah 
Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya. 


5. Lebih Utama Menikah 
Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah. 

 

Artikel diambil dariDefinisi dan Macam-macam Hukum Nikah

 

Demikian keterangan beberapa hukum nikah dan kondisinya kali ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam


Editor:

Keislaman Terbaru