• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Keislaman

Inilah Dalil Mencintai Tanah Air

Inilah Dalil Mencintai Tanah Air
Ilustrasi mencintai tanah air dengan mencium bendera merah putih (Foto:NOJ/aswajadewata)
Ilustrasi mencintai tanah air dengan mencium bendera merah putih (Foto:NOJ/aswajadewata)

Memasuki bulan Oktober (Hari Santri), sering dijadikan momen untuk memupuk semangat nasionalisme oleh ulama kepada anak bangsa, khususnya masyayikh yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren. Upaya tersebut dilakukan karena berangkat dari sejarah difatwakannya Resolusi Jihad oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 yang membuat para ulama dan santri berperang habis-habisan dengan penjajah (agresi militer Belanda kedua).


Mars Syubbanul Wathan tak henti-henti dinyanyikan oleh santri sebagai ekspresi cinta kepada tanah air. Yang lumrah diketahui khalayak luas, kecintaan kepada tanah air sering diungkapkan oleh ulama, salah satunya Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan yang di dalam manuskripnya terdapat tulisan hubbul wathan minal iman yang ada di pinggir kitabnya.


Catatan pinggir tersebut diimplementasikan oleh santrinya, yakni almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah. Tinta sejarah mencatat, sepulang dari studinya dari Makkah, Mbah Wahab mempunyai semangat besar untuk mengabdikan diri kepada bangsa bersama para pemuda guna membangun negara yang merdeka. Semangat itulah yang melatarbelakangi digubahnya mars Syubbanul Wathan pada tahun 1916 (sebelum Indonesia merdeka).


Jika ditarik dalam sejarah Islam,  maka cinta Tanah Air atau hubbul wathan sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya ketika beliau rindu tanah kelahirannya yang kemudian menjadi salah satu sebab diubahnya kiblat shalat umat Islam dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (Ka'bah).


Dalam salah satu firman Allah disebutkan:


قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَآءِ، فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰهَا، فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَحَيْثُ مَاكُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ، وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ، وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّايَعْلَمُوْنَ


Artinya: Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di manapun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pindahnya kiblat ke Masjidil Haram) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 144)


Menurut mufassir Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab مفاتح الغيب, Nabi Muhammad selalu berdoa kepada Allah agar kiblat pindah ke Makkah (Ka'bah), karena Makkah adalah tanah tumpah darahnya atau tempat kelahirannya.


Jadi, kecintaan Nabi kepada tanah kelahirannya adalah fitrah atau bawaan manusia. Sebagaimana dikatakan seorang pujangga Arab Syiria Syaikh Abu Tamam dalam syairnya tentang cinta dan rindu kepada kampung halamannya adalah Cinta yang tak pernah pudar. 


كم منزل في الأرض يألفه الفتى وحنينه أبدا لأول منزل


Artinya: Banyak tempat yang pernah disinggahi oleh seseorang, tetapi kerinduan dan kecintaannya hanya pada tanah di mana dia lahir selamanya.


Dengan demikian, sepenggal sejarah di masa Nabi dijadikan rujukan oleh ulama Nusantara untuk mencintai tanah air sebagai tanda keimanan. Tidak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air, karena dari tanah air, kita hidup dengan minum dan makan dari hasil buminya.


Keislaman Terbaru