• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

Islam Agama Ceria dan Bahagia

Islam Agama Ceria dan Bahagia
Ilustrasi Agama Islam. (Foto: NOJ/NU Online)
Ilustrasi Agama Islam. (Foto: NOJ/NU Online)

Tulisan ini berangkat dari sebuah ungkapan Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri yang mengatakan, “Agama mana yang menganggap senyuman adalah ibadah atau sedekah kalau bukan Islam?” Pernyataan itu tentu tidak begitu saja disampaikan tanpa ada dalil agama yang mendasarinya. Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri rupanya ingin menyampaikan sebuah hadis Nabi yang berbunyi:

 

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

 

Artinya: “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah” (HR. Tirmidzi [1956] dari Abu Dzar Al-Ghifari).

 

Para ulama, termasuk Abu ‘Ala Al-Mubarakfuri, menjelaskan hadis di atas bahwa berwajah ceria atau tersenyum ketika bertemu dengan saudara seiman akan mendapatkan ganjaran seperti halnya bersedekah. Tentu dengan penjelasan tersebut, Al-Mubarakfuri ingin mengatakan, tersenyum adalah ibadah yang berpahala dan setara dengan sedekah. Lebih rinci, Ali Ali Subhi menguraikan makna yang terkandung dalam hadis senyum tersebut. Dalam karyanya, At-Tashwir An-Nabawi lil Qiyam Al-Khuluqiyah wat Tasyri’iyah, ia berpendapat sedekah tidak hanya berupa materi saja. Sedekah bisa dimaknai secara luas. Tersenyum, berwajah ceria dan berseri-seri merupakan sedekah non materi yang juga membantu, meringankan beban orang lain. Dengan tersenyum, berarti kita membahagiakan orang lain dan mengajaknya berbahagia.

 

Membahagiakan orang lain dalam Islam termasuk perbuatan yang paling dicintai Allah dan bisa mendatangkan ampunan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda:

 

إِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ بَعْدَ الْفَرَائِضِ إِدْخَالُ السُّرُورِ عَلَى الْمُسْلِمِ

 

Artinya: “Perbuatan yang paling dicintai Allah setelah kewajiban-kewajiban beragama adalah membahagiakan orang lain” (HR. Tabrani [11079] dari Abdullah bin Abbas).

 

Hadis di atas seolah menegaskan, segala upaya yang membuat orang lain bahagia, termasuk tersenyum, adalah perbuatan yang sangat dicintai Allah SWT. Tentu Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan kepada para Sahabatnya dan menganjurkan mereka untuk mengerjakan perbuatan yang mendatangkan kecintaan Allah tersebut. Nabi merupakan sosok yang dikenal ramah, ceria, dan suka tersenyum. Berbicara tentang senyum Nabi, penulis ingin mengutip beberapa kisah yang ditulis Abdul Wahid dalam karyanya, Senyum Indah Kanjeng Nabi.

           

Suatu ketika Ummu Aiman mendatangi Nabi Muhammad SAW dan meminta seekor unta yang bisa membawanya berpergian. Perempuan yang pernah menjadi Ibu Asuh Nabi itu hendak melakukan perjalanan yang cukup jauh. Ia datang dengan wajah serius dan penuh harapan. Nabi yang mampu membaca ekspresi wajah Ummu Aiman, melontarkan candaan ringan.

 

“Baik. Aku akan memberimu seekor anak unta untuk kau tunggangi,” jawab Nabi.

 

“Bagaimana bisa anak unta membawaku beserta barang dan bekal perjalananku?” balas Ummu Aiman.

 

Lalu Nabi Muhammad SAW memberi unta besar kepada Ummu Aiman sembari berkata, “Aku tidak mengatakan anak unta yang hendak aku berikan untukmu itu masih kecil. Bukankah unta besar juga merupakan anak unta?”

 

Perempuan yang cukup berjasa dalam hidup Nabi itu pun tersenyum dan berterima kasih kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Di lain kesempatan, pada suatu malam Abu Hurairah berdiri di jalan sekitar masjid. Ia lapar dan berharap ada yang mengajaknya makan malam. Abu Bakar As-Shiddiq melewati jalan itu dan Abu Hurairah mencoba menyapanya, namun malang nasib Abu Hurairah, Abu Bakar tidak mengerti juga perihal kelaparannya. Selang beberapa waktu, Nabi Muhammad SAW melewati jalan yang dilalui Abu Bakar. Tanpa disapa, Nabi tahu soal perut Abu Hurairah. Akhirnya Nabi meminta Abu Hurairah berjalan mengikutinya. Sesampai di rumah salah seorang Sahabat, Nabi hanya diberi segelas susu. Seketika Nabi memerintahkan Abu Hurairah memanggil para Sahabat yang tinggal di masjid.

 

Abu Hurairah berjalan menuju masjid dengan langkah berat. Ia bingung dan gusar, bagaimana bisa segelas susu dinikmati banyak orang, seharusnya itu jatah santapan malamnya. Ia pun datang bersama para Sahabat lain. Setelah semua berkumpul, Nabi menyuruh Abu Hurairah  memberikan segelas susu itu secara bergantian kepada para Sahabat. Abu Hurairah semakin gusar. Ia takut tak kebagian. Berkali-kali ia menelan air ludah. Para Sahabat minum secara bergantian hingga puas. Kemudian Nabi mengambil segelas susu itu dan memberikannya kepada Abu Hurairah.

 

Sahabat yang terkenal pecinta kucing itu terkejut. Air susu di dalam gelas tidak berkurang sama sekali. “Sekarang minumlah, wahai Abu Hurairah!” perintah Nabi sembari tersenyum. Abu Hurairah meneguk air susu tersebut sampai merasa kenyang. “Ayo minumlah lagi,” perintah Nabi lagi dengan senyum yang semakin merekah. Abu Hurairah pun merasa kewalahan dan memegang perutnya. Nabi terus memerintahkan Abu Hurairah minum air susu itu, hingga akhirnya Abu Hurairah menyerah. “Demi Dzat yang telah mengutus paduka dengan kebenaran. Aku tak sanggup lagi meminumnya.”

 

Dua kisah di atas mencerminkan sosok Nabi yang tidak ingin para Sahabatnya berwajah masam, sedih, tidak bahagia sehingga Nabi sengaja memberikan candaaan seekor anak unta dan segelas susu. Ternyata candaan Nabi itu mampu mengubah raut muka Ummu Aiman. Di tengah kerisauan menahan lapar, Nabi justru menghibur Abu Hurairah dengan canda dan senyumnya.

 

Di dalam rumah tangga, Nabi juga murah senyum di hadapan para istrinya. Diceritakan, setelah kembali dari perang Tabuk atau Khaibar, Nabi pulang ke rumah Aisyah. Saat itu angin berhembus cukup kencang hingga membuka kain penutup ruangan boneka Aisyah. Di tengah beberapa boneka itu ada boneka kuda yang bersayap. Nabi pun bertanya kepada istri tercintanya itu, “Apa itu di tengah boneka-bonekamu, Aisyah?”

 

“Itu kuda bersayap dua,” jawab putri Abu Bakar.

 

“Bagaimana bisa kuda punya dua sayap?”

 

Loh, bukankah kuda Nabi Sulaiman memiliki banyak sayap?” balas Aisyah.

 

Nabi pun tersenyum dengan jawaban cerdas Aisyah hingga gigi geramnya terlihat.

 

Setiap waktu Nabi selalu hadir dengan wajah ceria, senyum merekah, dan candaan tanpa dusta. Itu semua muncul dari kepribadian Nabi karena Nabi sosok yang selalu menghibur dan membahagiakan orang lain, meskipun tugas dan tanggung jawabnya tidak ada yang menandingi. Jarir bin Abdillah al-Bujali bersaksi, “Semenjak aku memeluk Islam dan setiap bertemu Rasulullah, senyuman indahnya selalu menghiasi pandanganku.” Abdullah bin Al-Haris juga tak mau kalah. Ia selalu mengenang Rasulullah adalah sosok yang paling sering tersenyum.

 

Selaras dengan kisah di atas, nasehat salah seorang ulama Al-Azhar, Kairo, Mesir yang bernama Syekh Yusri Rusydi Sayyid Jabr Al-Hasani itu menganjurkan kepada murid-muridnya untuk selalu berwajah ceria dan tidak bermuka masam walaupun sedang dilanda masalah. “Saya ingin bertanya kepada kalian? Siapa di dunia ini yang paling berat tugas dan paling banyak tanggung jawabnya kalau bukan Rasulullah SAW? Meskipun demikian, Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak tersenyum ketika bertemu para Sahabat dan orang lain. Lalu kenapa kalian tidak tersenyum saat bertemu orang lain?”

 

Kalimat Syekh Yusri itu seakan mengajak kita untuk mencoba membandingkan tugas dan tanggung jawab seorang hamba dengan Nabi. Tentu perbedaannya antara langit dan bumi. Jika Nabi dengan tugas dan tanggung jawabnya yang super besar masih selalu tersenyum saat bertemu orang lain, mengapa kita tidak? Hadis, kisah dan sosok Nabi di atas memberi pelajaran berharga bagi kita bahwa Islam agama ceria dan bahagia. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu membuat orang lain bahagia. Islam menganjurkan pemeluknya selalu tersenyum karena senyum adalah kebaikan yang kerap dianggap remeh.

 

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

 

Artinya: “Jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun, meskipun hanya memasang wajah ceria di depan orang lain” (HR. Muslim [2626] dari Abu Dzar Al-Ghifari). Wallahu A’lam.


Keislaman Terbaru