• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Megengan, Sarana Aktualisasi Ajaran Al-Qur’an Sunnah

Megengan, Sarana Aktualisasi Ajaran Al-Qur’an Sunnah
Tradisi megengan. (Foto: NOJ/wikipedia)
Tradisi megengan. (Foto: NOJ/wikipedia)

Islam adalah agama yang universal dengan pandangan hidup mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan, dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajarannya. Contoh yang paling urgen tentang akulturasi budaya dengan Islam adalah ketika budaya Jawa pada zaman Hindu-Budha bersinggungan dengan penyebaran Islam pada masa itu.

 

Tradisi megengan merupakan tradisi turun menurun di tanah Jawa untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi ini dilakukan sebagai rasa syukur kepada Allah atas rahmat dan nikmat yang telah diberikan. Tradisi ini menjadi ritual penting bagi umat Islam khususnya di Jawa. Yang ini merupakan warisan para leluhur penyebar agama Islam di tanah Jawa atau biasa dikenal sebagai Wali Songo.

 

Menurut Purwadi dalam buku Sejarah Sunan Kalijaga dijelaskan bahwa transmisi Islam yang dipelopori oleh Wali Songo memang menunjukkan jalan dan alternatif baru yang didesain sengaja tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal. Dan Islam yang ditawarkan adalah bentuk yang mudah ditangkap oleh orang awam, realistis, tidak rumit, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Ini sejalan dengan konsep modern  model of development from within.

 

Budaya megengan pasti menimbulkan pro dan kontra dalam umat Islam sendiri. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah ajaran baru atau kita biasa menyebutnya bid’ah, ada yang beranggapan bahwa fenomena ini adalah cara beragama yang sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam meskipun dibalut dengan budaya setempat.

 

Meskipun begitu, tradisi megengan memiliki beberapa tujuan ataupun kemaslahatan dalam beragama. Pertama, bertujuan untuk menyiarkan agama Islam. Kedua, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Ketiga, bentuk daripada berkirim doa atau mendoakan para keluarga maupun leluhur yang telah mendahului kita. Keempat, wujud pemberian sedekah. Dan yang terakhir sebagai sarana meneguhkan ukhuwah dan silaturahim antar umat Islam.

 

Lantas bagaimana Islam menyikapi hal ini? Apakah sesuai dengan pedoman hidup umat Islam yakni Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad atau malah bertentangan?

 

Maka dari itu kami akan menarik megengan ini kepada konsep Living Al-Qur’an. Yakni praktik memfungsikan Al-Qur’an dalam kehidupan praktis, di luar kondisi tekstualnya. Teori ini dicetuskan oleh Muhammad Mansyur dalam bukunya Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis. 

 

Megengan menjadi sarana dakwah, inilah yang menjadi upaya Wali Songo untuk menanamkan ajaran-ajaran Islam tanpa merubah bahkan menghapus tradisi dan budaya yang ada. Sekiranya para wali menggunakan metode serampangan dan mengedepankan emosional dalam memahamkan Islam pada masyarakat Nusantara kala itu, tentu akan memunculkan sikap apriori dan penolakan dari mereka. Sehingga mencoreng esensi pelaksanaan dakwah Islam itu sendiri, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt:

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

 

Artinya: “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imron ayat 159). 

 

Tujuan selanjutnya sebagai wujud doa atau memintakan ampunan untuk sanak keluarga dan para leluhur. Al-Qur’an diperintahkan untuk memaafkan orang lain seperti dalam surat An-Nur ayat 22:

 

وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۖ وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

 

Artinya: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nur: 22)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang memberi maaf derajatnya lebih tinggi. Karen jika kita memaafkan orang yang kita tidak mampu membalasnya adalah wajar dan merupakan kebaikan. Akan tetapi jika kita dalam posisi mampu untuk membalas dan kita lebih memilih untuk memaafkan maka kita tergolong orang yang lebih mulia.

 

Ketiga, sebagai sarana sedekah yang merupakan implementasi dari hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:

 

أَيُّمَا مُؤْمِنٍ أَطْعَمَ مُؤْمِنًا عَلَى جُوعٍ أَطْعَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ ثِمَارِ الجَنَّةِ، وَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ سَقَى مُؤْمِنًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنَ الرَّحِيقِ المَخْتُومِ، وَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ كَسَا مُؤْمِنًا عَلَى عُرْيٍ كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ خُضْرِ الجَنَّةِ

 

Artinya: “Siapa pun orang mukmin yang memberi makan mukmin lain saat lapar, Allah akan memberinya makan dari buah surga, siapa pun mukmin yang memberi minum mukmin lain saat dahaga, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dengan minuman yang penghabisannya adalah beraroma wangi kesturi, siapa pun mukmin yang memberi pakaian mukmin lain saat telanjang, Allah akan memberi pakaian dari sutera surga” (HR. At-Tirmizi No. 2449).

 

Dan sedekah juga banyak manfaatnya selain mendapatkan ridha Allah, sedekah juga dapat menjadi pemadam dosa-dosa kita, seperti dalam hadits:

 

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ

 

Artinya: “Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api” (HR. At-Tirmizi No. 613; HR. Ahmad, No. 15284).

 

Selanjutnya, megengan sebagai sarana menjalin ukhuwah dan silaturrahim. Dalam beberapa hadits Rasulullah menerangkan persoalan ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

 

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

 

Artinya: “Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah menjalin silaturrahim.” (HR Bukhari).

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال مَنْ كانَ يُؤْمِنُ باللهِ واليَوْمِ الآخرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ ومَنْ كان يؤمن بالله واليوم الآخر فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فَلْيَقُلْ خيرًا أو لِيَصْمُتْ

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW ia bersabda, ‘Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menjaga hubungan baik silaturahim dengan kerabatnya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Dari hadits di atas, menunjukkan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan kasih saya dan saling cinta antar sesama umat beragama,terlebih khusus kepada sesama umat Islam. Mungkin inilah dasar hukum yang digunakan para ulama terdahulu tuk mendakwakan Islam di bumi Nusantara dengan pendekatan kultural tanpa harus menghilangkan ataupun bertentangan dengan esensi nilai Islam itu sendiri.

 

Penulis: M. Rufait Balya


Keislaman Terbaru