• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 2 Mei 2024

Keislaman

Nabi Muhammad Bukan Manusia Biasa

Nabi Muhammad Bukan Manusia Biasa
Nabi Muhammad ibarat permata indah yang diletakkan di antara bebatuan (Foto:NOJ/albawaba)
Nabi Muhammad ibarat permata indah yang diletakkan di antara bebatuan (Foto:NOJ/albawaba)

Saat menulis artikel ini, saya sedang membaca buku Shaddaqta, Ya Rasulallah karya Abu al-Futuh Shabari. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diberi judul Firasat Muhammad itu sangat unik dan berbeda dengan buku tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya.


Buku dengan tebal tepat dua ratus halaman itu hanya berisi dengan prediksi-prediksi Rasulullah yang terbukti dan terjadi di masa depan. Kemampuan membaca masa depan inilah yang membedakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan manusia lainnya.


Benar, Nabi memang manusia seperti manusia pada umumnya, namun bukan manusia biasa seperti kita. Artikel ini mencoba menjawab kesunyian yang ada di pikiran kita tentang kepribadian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memang manusia sekaligus seorang nabi dan rasul.


Tulisan pendek ini juga berusaha meyakinkan sebagian orang yang menganggap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti dirinya, pernah bersalah, berdosa, berbicara dan berbuat sesuai nafsunya.


Ada sebuah adagium yang sering diungkapkan oleh para ulama, Muhammadun basyarun walaisa kal basyari. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu manusia, tapi bukan seperti manusia (umumnya). Bagaimana bisa sosok Nabi yang seorang manusia tapi tidak seperti manusia lainnya? 


Jika mushaf Al-Qur'an dibuka dan pandangan kita mendarat di akhir surat Al-Kahfi, kita akan menemukan jawaban dari firman Allah yang tidak ada keraguan dan kesalahan di dalamnya. Menafsiri surat Al-Kahfi ayat 110:


قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ...


Artinya: Katakanlah (wahai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian yang diberi wahyu (untuk menyampaikan) bahwa, Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa...” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).


Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi berpendapat, hanya wahyu dan kerasulan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membedakan sosok Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sosok manusia lain. Keutamaan inilah yang tidak dimiliki oleh manusia umumnya. Ulama kharismatik asal Mesir itu juga menjelaskan, ayat tersebut menegaskan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan dari golongan malaikat.[1]


Syekh Wahbah Az-Zuhaili memperluas tafsir ayat tersebut dengan menyebutkan, dalam diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak terdapat sifat, ciri-ciri malaikat dan Tuhan. “Melalui ayat ini (QS. Al-Kahfi: 110) Allah menitahkan rasul-Nya untuk bersikap tawaduk, memberitahu umatnya bahwa dirinya juga seperti manusia pada umumnya,” tambah ulama Suriah yang popular dengan karya-karya spektakuler itu.[2]


Meskipun ayat tersebut menjelaskan sosok kemanusiaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan tetapi terdapat banyak keterangan yang menegaskan sisi kemanusiaan Nabi tidak seperti manusia pada umumnya, seperti rasa lapar yang dirasakan Nabi tidak seperti lapar yang dialami para Sahabat lainnya. 


Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri mencatat peristiwa menarik saat perang Khandaq. Pakar sejarah Nabi yang dinobatkan sebagai penulis terbaik sirah nabawiyah itu menceritakan, tatkala para Sahabat menggali parit, mereka dirundung rasa lapar yang tak tertahankan. Hampir semua dari mereka mengganjal perutnya dengan satu batu yang cukup besar. Beberapa hari perut mereka kosong tak terisi apapun. Hanya air ludah yang mampu menopang tubuh ringkih mereka.


Sambil menyeka keringat yang bercucuran, salah seorang sahabat bernama Abu Thalhah al-Anshori mengajak para sahabat lain mengadu ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Duhai baginda Nabi, beberapa hari ini lidah kami tak tersentuh makanan, hanya air ludah yang membasahi tenggorokan kami. Kami sudah membungkam perut-perut kami dengan batu agar tak lagi berteriak, namun kami tak kuasa menahan rasa ini, Nabi?” terang Abu Thalhah sembari memperlihatkan perutnya.


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum dan ikut membuka jubahnya di hadapan para Sahabatnya. Mereka terperangah malu saat mendapati perut Nabi terganjal dengan dua batu yang lebih besar dari batu yang terselip di perut-perut mereka.[3]


Bisa dibayangkan bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menahan rasa lapar yang begitu mendera. Dua batu besar digunakan Nabi untuk menghentikan suara perut yang meronta-ronta. Nabi dengan dua batu di perutnya masih mampu bertahan, namun para sahabat radliyallahu ‘anhum dengan satu batu bersuara menginginkan makanan. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai manusia mempunyai rasa lapar namun rasa lapar Nabi tidak seperti rasa lapar para sahabat. Muhammadun basyarun walaisa kal basyari.


Di lain waktu, masih tentang rasa lapar, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melarang para Sahabat berpuasa wishal yaitu puasa tanpa berbuka dan terus bersambung di hari berikutnya seperti Nabi. Setelah melarang Nabi bersabda:


إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِ


Artinya: Aku bukan seperti kalian. Sungguh Tuhanku memberiku makan dan minum. (HR Bukhari [1964] dari Aisyah r.a).[4]


Selain lapar, rasa capek dan letih yang dirasakan Nabi tidak seperti yang dialami para sahabat lainnya. Stamina dan fisik Nabi sangat prima dan tak mudah lesu. Di kala seluruh sahabat menyerah tak bisa menghancurkan sebongkah batu besar saat penggalian parit perang Khandaq, Nabi Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam turun tangan, mengambil cangkul atau alat lainnya. Dengan gemertak suara batu di perutnya, Nabi mengayunkan alat itu. Bismillah... Allahu Akbar, dan hanya dengan tiga kali pukulan, batu keras dan besar tersebut seketika hancur, remuk.[5]


Sekali lagi, Muhammadun basyarun walaisa kal basyari. Jauh sebelum perang Khandaq terjadi, tak ada satu pun lelaki Mekkah yang mengungguli fisik dan kekuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.


Diceritakan dalam kitab Tarikhul Hawadits wal Ahwal An-Nabawiyyah, sewaktu di Makkah, tak ada satu pun yang mampu mengalahkan Rukanah bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muthallib bin Abdu Manaf dalam pertarungan gulat. Suatu ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertemu Rukanah dan mengajaknya masuk Islam.


Rukanah menolak mentah-mentah permintaan Nabi. Lalu Nabi menawarkan, jika Nabi mampu mengalahkan Rukanah, maka ia harus mengikuti permintaan Nabi. Rukanah menyambut tawaran itu dengan kepala mendongak ke atas menandakan rasa optimisme dan percaya diri. Di luar dugaan, saat ia menyerang, Nabi dengan sigap menyergapnya dan membantingnya. 1-0 untuk Nabi. Bukan Rukanah namanya jika hanya sekali banting langsung kalah. Ia bangkit dan melepaskan pukulan dan berbagai jurus.

 

Seluruh serangan Rukanah mampu diatasi Nabi dengan mudah, lagi-lagi Rukanah tersungkur dan tak lagi berdaya. 2-0 dan KO. “Cukup, Muhammad. Aku takjub dengan kekuatan fisikmu. Aku menyerah. Lepaskan aku,” pinta Rukanah memelas. Tak puas dengan kekalahannya, Rukanah menginginkan bukti kenabian lainnya. Nabi memanggil sebuah pohon, pohon itu menunduk mendatangi Nabi bak seorang santri memenuhi panggilan sang kiai. Rukanah lari dan mengabarkan kepada warga desanya. Akhirnya ia memutuskan memeluk Islam dan menjadi sahabat Nabi.[6] Muhammadun basyarun walaisa kal basyari.


Tidak hanya setelah menjadi Nabi, ketika usia remaja kepribadian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak seperti remaja lainnya. Semenjak kecil, cucu Abdul Muthallib itu tidak tertarik dan terpengaruh dengan budaya jahiliyah seperti yang dilakukan teman sebayanya.


Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Alquran dan Hadis-Hadis Sahih dikisahkan, saat remaja, Nabi Muhammad pernah mendatangi pertunjukan musik jahiliyah yang hanya memberikan dampak negatif. Anehnya, saat musik mulai terdengar, Nabi Muhammad justru tertidur dan sama sekali tidak menikmati budaya kotor itu. Peristiwa itu terjadi tidak hanya sekali.


Prof. Dr. M. Quraisy Shihab setelah mengutip kisah remaja Nabi Muhammad di atas dalam karyanya itu berkomentar, Sejak kecil Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak tertarik, apalagi asyik dengan kemegahan dan kemeriahan. Ketidakasyikan itulah yang membuat Nabi tertidur.


Ulama alumnus Universitas Al-Azhar Kairo itu melanjutkan, “Hal tersebut bukan berarti menghilangkan “sifat kemanusiaan” beliau sebagai manusia biasa. Tidak. Beliau juga makan, minum, tidur, kawin, tertawa, menangis, susah, dan senang akan tetapi semua itu dalam batas sejalan dengan tuntunan Allah Subhanahu wa ta’ala karena sosok Nabi selalu dalam pengawasan, pemeliharaan, dan bimbingan Allah Subhanahu wa ta’ala.[7] Muhammadun basyarun walaisa kal basyari.


Mengakhiri artikel ini saya teringat sepenggal syair Burdah gubahan Imam Al-Bushiri,
Puncak pengetahuan kita dia (Nabi Muhammad) hanya manusia biasa,
Sungguh dialah mahkluk terbaik ciptaan Allah.


Guru saya, Syekh Yusri Rusydi Sayyid Jabr al-Hasani Al-Azhari juga pernah berucap: “Nabi Muhammad adalah makhluk yang tidak ada duanya, karena ia kekasih sang khalik/pencipta (Allah) yang tak ada tandingan-Nya.” Muhammadun basyarun walaisa kal basyari. Allahumma Sholli wa Sallim wa Baarik ‘alaih wa ‘ala Aalih.


Referensi: 


[1] Muhammad Mutawalli As-Sya’rowi, Tafsiru Al-Sya’rawi (Kairo: Mathabi’ Akhbar al-Yaum, 1997), vol. 15, hlm. 9013.

[2]
Wahbah bin Mushtafa Az-Zuhaili, At-Tasir Al-Munir fil Aqidah was Syariah wal Manhaj (Damaskus: Darul Fikr Al-Muashir, 1418 H), Vol. 16, hlm. 43-44.

[3] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum (Kairo: Darul Wafa, 2010), 269-270.

[4] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Kairo: Dar Thuqun Najah, t.th), vol. 3, hlm. 37.

[5] Muhammad Ridlo, Muhammad Rasulullah (Kairo: Darul Kutub Al-Islamiyah 1997), hlm. 281.

[6] Muhammad Sayyid Alawi Al-Maliki, Tarikhul Hawadist wal Ahwal An-Nabawiyah (t.tp: t.p, 1996), 15-16.

[7] M. Quraisy Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Alquran dan Hadis-Hadis Sahih (Tangerang: Lentera Hati, 2018), hlm. 251-252.


Keislaman Terbaru