• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Madura

Kader Ansor di Sumenep Ngaji Kepemimpinan Transformatif ala Rasulullah

Kader Ansor di Sumenep Ngaji Kepemimpinan Transformatif ala Rasulullah
KH Moh Salahuddin A Warits (pegang mik), saat menyampaikan materi kepemimpinan tranformatif ala Rasulullah kepada kader Ansor di Sumenep. (Foto: NOJ/ Firdausi)
KH Moh Salahuddin A Warits (pegang mik), saat menyampaikan materi kepemimpinan tranformatif ala Rasulullah kepada kader Ansor di Sumenep. (Foto: NOJ/ Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim
Dewan Pengasuh Pesantren Annuqayah Sumenep KH Moh Salahuddin A Warits mengatakan, Nabi Muhammad Saw merupakan sosok pemimpin yang transformatif, karena menggerakkan masyarakat. Pola kepemimpinannya pun tidak tertuju pada sistem struktur, akan tetapi memulai gerakan dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah.


Pernyataan ini disampaikan saat mengisi orasi kepemimpinan pada acara pelantikan Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Pragaan. Kegiatan tersebut dipusatkan di Aula KH Ahmad Basyir Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Arrahmah Jaddung, Pragaan, Sumenep, Sabtu (29/10/2022).


Diceritakan, paman-paman Nabi merupakan pembesar suku Quraisy. Namun tidak ada satupun orang-orang pedalaman yang mau memberikan Air Susu Ibu (ASI) terbaiknya, karena Nabi terlahir yatim, kecuali Halimah As-Sa’diyah yang akhirnya menjadi ibu susu Nabi. Bahkan saat beranjak dewasa, Nabi tumbuh di tengah situasi paman-pamannya konflik kepentingan perbedaan kepercayaan.


“Kepimpinan transformatif dilakukan di negeri tercinta ini oleh ulama. Salah satu bukti, dengan adanya tokoh yang menggerakkan masyarakat. Desa Prenduan yang sampai saat ini menjadi pusat perdagangan, berubah menjadi episentrum. Ingat, seorang tokoh tidak dimulai dengan merebut kekuasaan,” sergahnya.


Tak hanya itu, tak perlu ada wadah politik dan bentuk negara di masa lalu, karena yang dikelola oleh muassis NU Sumenep adalah masyarakat madani. Sebaliknya, Ansor yang menjadi struktur agency harus menangani masyarakat, bukan sibuk dengan strukturnya.


“Pola kepemimpinan yang transformatif mampu menggerakkan masyarakat untuk perubahan. Buktinya, di tahun 80-an, Kecamatan Guluk-Guluk dan Pragaan masih terpaku pada ketergantungan pada rentenir untuk mengembangkan perekonomiannya. Kini sudah tidak ada lagi berkat pemimpin yang transformatif. Hal ini tertuang dalam penelitian sosial yang dipunggawai oleh Gus Dur dan objeknya adalah pesantren,” ungkap Ra Mamak, sapaannya.


Kisah ini, lanjutnya, sebenarnya sudah digerakkan oleh Nabi dengan melibatkan paman dan sepupunya yang begitu keras. Sama halnya di Madura, para rintenir dan blater digerakkan oleh pesantren menjadi ketua kelompok pengajian. Strategi itu membuahkan hasil, yakni ekonomi bergerak dan konflik sosial berkurang.


“Perubahan di masa lalu luar biasa, karena menggerakkan dari bawah dan memenuhinya kebutuhan masyarakat. Hanya saja saat ini sangat langka. Kita menyaksikan bangunan menjadi gudang kosong, seperti koperasi unit desa yang menunjukkan program dari atas tak tersentuh ke bawah,” tutur alumni Al-Azhar Kairo, Mesir itu.


Dirinya menegaskan, arah orientasi kepemimpinan dalam organisasi adalah menyelesaikan ragam permasalahan masyarakat. Seluruh aspirasi perlu digali dan diberi solusi. Siapapun yang menjadi pemimpin, tak usah dipikirkan. Karena Ansor punya program yang tertata dan pegangannya adalah kiai. Sama halnya yang dilakukan Nabi, walaupun pamannya tidak sejalan secara agama, Nabi menjadikan pegangan.


Alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu mengimbau pada kader Ansor agar hidup rukun damai dengan siapapun. Karena Nabi rukun dengan orang-orang Persia yang menyembah Api, Kristen Koptik di Mesir, dan lainnya. Bahkan, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari yang membangun pesantren dengan jumlah santri 8 orang, dalam jangka 2 tahun santrinya ribuan. Padahal Tebuireng tempatnya preman.


“Sekarang, Tebuireng menjadi episentrum, karena pola pemimpinnya transformatif. Sama juga di Guluk-Guluk, Tegal Rejo, Kajen dan lainnya. Bagi kami Guluk-Guluk biasa saja, namun NU Sumenep pertama kali berdiri di sana atas perintah Kiai Hasyim Asy’ari, yang kebetulan KH M Ilyas Syarqawi adalah santrinya. Bahkan yang mengirimkan hasil istikharah Syaikhona Kholil, juga santrinya Kiai Ilyas. Karena RKH As’ad Syamsul Arifin remaja pernah mondok 7 tahun di Guluk-Guluk,” terangnya.


Ra Mamak mengutarakan, perubahan masyarakat secara keseluruhan, diawali dengan berjamaah. Perbedaan dalam sebuah jamaah harus diolah. Jika dihitung, ada berapa perspektif yang bisa diambil. Ia melihat Ansor penting bagi masyarakat dan menjadi cikal bakal lahirnya kader-kader NU yang akan mengisi dari cabang sampai pusat.


“Lahirnya kepemimpinan yang transformatif itu dari kaderasasi tingkat bawah. Harapan kami adalah kader yang ada di forum ini yang bakal mengisi pusat. Karena lahir dari bawah dan betul-betul kadernya sendiri atau dimulai dari dalam sendiri secara organik,” tandasnya.


Madura Terbaru