• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Metropolis

Era Digital, Pesantren Perlu Perhatikan Dua Hal Penting Ini

Era Digital, Pesantren Perlu Perhatikan Dua Hal Penting Ini
Literasi Digital yang diadakan PW LTNNU Jatim, Selasa (26/07/2022). (Foto: NOJ/ Charline Margia)
Literasi Digital yang diadakan PW LTNNU Jatim, Selasa (26/07/2022). (Foto: NOJ/ Charline Margia)

Surabaya, NU Online Jatim

Setidaknya ada dua tugas penting untuk pesantren Indonesia menghadapi era digital guna menjaga turots (buku-buku warisan atau peninggalan ulama klasik atau terdahulu). Yaitu meneliti dan membandingkan naskah yang tercetak dengan manuskrip.


Hal ini disampaikan KH Imam Ghozali Said dalam acara Literasi Digital: Strategi Turots Pesantren Beradaptasi dengan Ekosistem Digital di kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Selasa (26/07/2022).


“Jadi untuk Indonesia, untuk pesantren, itu ada dua kerjaan, menurut saya. Pertama adalah meneliti yang sudah tercetak, kemudian membandingkan yang tercetak dengan yang masih manuskrip dan itu adalah karya takhqiq,” kata Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Surabaya tersebut.


Dalam kegiatan itu, ia juga menyampaikan apresiasinya bahwa turots akhir-akhir ini lebih populer dari pada kitab kuning. “Saya sangat senang sekali karena turats menjadi lebih populer daripada kitab kuning,” ujarnya.


Kiai Imama juga menyampaikan bahwa ada banyak naskah-naskah ulama yang belum dicetak. Hal ini mengakibatkan belum terdigitalisasi.


“Di pesantren itu banyak tapi sebetulnya bukan kuno tapi baru. Hanya belum dicetak. Kalau belum dicetak, ya juga belum digital,” ungkapnya.


Ia memaparkan, urutan digitalisasi adalah dicetak, lalu didigitalisasi. “Karena urutannya itu dicetak dulu, baru digitalisasi. Itu urutannya,” lanjut Alumni Al-Azhar, Kairo-Mesir tersebut.


Sebelumnya, ia juga menyebutkan soal pencarian naskah klasik yang disebut studi takhqiq. “Studi takhqiq adalah mencari naskah. Kalau ada satu, satu itu cukup, terus ditulis ulang, dan dicetak,” jelasnya.


Ia pun menekankan bahwa perlu ada studi takhqiq profesional untuk membandingkan dan menentukan ketepatan dan kebenaran naskah.


“Sebetulnya perlu ada studi takhqiq yang profesional. Dengan membandingkan satu naskah dengan naskah yang lain (untuk menentukan) yang mana yang lebih tepat dan kebenaran,” tandasnya.


Ia menambahkan bahwa saat meneliti, penulis bisa memberi penjelasan, kritik, atau wawasan baru. Kemudian bisa dicetak dan didigitalisasi.


“Bisa memberi penjelasan, bisa dengan kritis, dan bisa dengan memberi wawasan baru terhadap isi teks itu. Setelah ini dilakukan, lalu dicetak, baru digitalisasi,” pungkasnya.


Penulis: Charline Margia


Editor:

Metropolis Terbaru