Opini

Epistemologi Islam: Mencari Kerangka Jalan Pengetahuan

Selasa, 1 Oktober 2024 | 14:00 WIB

Epistemologi Islam: Mencari Kerangka Jalan Pengetahuan

Epistemologi Islam: Mencari Kerangka Jalan Pengetahuan. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Oleh: Faishol Hamim

 

Epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang pengetahuan. Beragam pengetahuan ini melatarbelakangi munculnya fenomena-fenomena pemikiran. Fenomena-fenomena tersebut meliputi, pertama, sumber-sumber pengetahuan dan metode atau cara bagaimana proses mengetahui terjadi. Kedua, tentang sifat pengetahuan, keberadaan dunia nyata di luar pikiran kita, dan bagaimana kita bisa mengetahuinya. Ketiga, mengenai konsep kebenaran (Harold H.Titus, 1984).

 

Epistemologi Islam muncul sebagai respons terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam, metodologinya, dan konsep kebenaran yang diperoleh manusia menurut ajaran Islam. Faktor lain yang mempengaruhi adalah interaksi dengan bangsa asing, seperti Yunani, yang memungkinkan ilmu pengetahuan dan filsafat mereka diserap, serta terjadinya akulturasi budaya. Proses ini didukung oleh ajaran Islam yang inklusif dan terbuka.

 

Oleh karena itu, epistemologi Islam secara alami menekankan pada cara memperoleh pengetahuan dengan mendasarkan diri pada harmonisasi antara wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak dan akal sebagai alat manusia untuk memahami realitas.

 

Epistemologi Islam berpusat pada Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran mutlak. Di sisi lain, filsafat pengetahuan Islam juga berpusat pada manusia sebagai pencari pengetahuan. Dalam konteks ini, manusia berperan sebagai subjek yang berupaya mencari dan memahami kebenaran. Pandangan ini didasari oleh konsep bahwa manusia, sebagai khalifah Allah di bumi, memiliki tanggung jawab untuk berusaha memperoleh pengetahuan serta memberikan interpretasinya terhadap pengetahuan tersebut.

 

Cara berpikir rasional dan empiris sebenarnya merupakan bagian integral dari epistemologi Islam, bahkan menjadi elemen tetap dalam sistem epistemologinya. Namun, yang membedakan epistemologi Islam dari epistemologi Barat yang sekular adalah adanya penerapan nilai-nilai ajaran normatif agama yang signifikan sebagai prinsip-prinsip utama dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) memegang peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, dan menentukan cakupan kajian, serta ke mana arah sains Islam harus ditujukan.

 

Secara umum, dalam tradisi pemikiran Islam, terdapat tiga aliran penting dalam teori pengetahuan, yaitu: pengetahuan rasional, pengetahuan inderawi, pengetahuan kasfy melalui ilham atau intuisi. Ketiga aliran ini sering kali berinteraksi dan terkadang saling melengkapi dalam tradisi intelektual Islam. Dengan demikian, epistemologi Islam terbagi menjadi tiga corak utama.

 

1. Bayani

Pendekatan ini bertitik tolak pada teks-teks keagamaan, seperti Al-Qur'an, dan menggunakan pendekatan konservatif. Pendekatan bayani melahirkan produk hukum Islam (fikih Islam) dan karya tafsir Al-Qur'an.

 

Bayani telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW, ketika beliau menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh para sahabat. Para sahabat kemudian menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan penjelasan Rasulullah melalui teks.

 

Generasi tabi’in mengumpulkan teks-teks dari Rasulullah dan sahabat, lalu menambahkan penafsiran dengan menggunakan akal dan ijtihad dengan teks sebagai pedoman utama. Tradisi ini berlanjut hingga generasi-generasi berikutnya. (Hasyim, 2018)

 

Dalam pendekatan ini, teks suci (Al-Qur’an dan Hadis) menjadi otoritas penuh dalam menentukan arah kebenaran. Fungsi akal lebih bersifat sebagai pengawal makna yang terkandung dalam teks, dengan cara mencermati hubungan antara lafaz dan maknanya. Dalam konteks ini, peran akal adalah sebagai penjaga dari hawa nafsu, alat justifikasi, dan pengukuh kebenaran yang berasal dari otoritas teks. (Al-Jabiri, 2003).

 

2. Burhani

Burhani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas keruntutan logika, bukan teks maupun pengalaman. Akal berperan sebagai alat analitik-kritis yang mampu mengevaluasi, menyimpulkan, dan membentuk pengetahuan baru dari berbagai fenomena yang ada. Akal dianggap mampu memahami berbagai aspek, termasuk masalah-masalah keagamaan seperti penilaian baik dan buruk (tahsin dan taqbih).

 

Dalam filsafat, burhani sering dihubungkan dengan rasionalisme, yakni pandangan bahwa akal merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, bahkan jika belum didukung oleh fakta empiris. Tokoh-tokoh rasionalisme di Barat antara lain Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz.

 

Dengan demikian, epistemologi burhani menekankan pentingnya penggunaan akal sebagai sarana utama dalam memperoleh dan menguji pengetahuan, termasuk pengetahuan agama. Burhani menawarkan pendekatan yang lebih sistematis dan rasional dalam memahami kebenaran, yang sejalan dengan perintah Al-Qur'an untuk memanfaatkan potensi akal dalam menimbang ide-ide yang datang.

 

3. Irfani

Irfani menekankan pengalaman spiritual dan menggunakan pendekatan mistis. Irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan pada pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Irfani tidak berasal dari luar Islam, karena kehidupan Rasulullah, para sahabat, dan tabi’in menunjukkan bahwa mereka menggunakan dan mempraktikkan pendekatan irfani, meskipun istilah ini belum ada saat itu. Praktik riyadah dalam irfani, seperti khulwah (menyepi) dan tinggal di Masjid Nabawi, sering dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya (Ulliyah et al., 2024).

 

Epistemologi irfani adalah pendekatan keilmuan yang tidak didasarkan pada analisis teks, melainkan pada pengalaman spiritual yang disebut kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan.

 

Pengetahuan irfani diperoleh melalui olah ruhani, di mana seseorang dengan kesucian hati dan kebersihan jiwa dapat menerima pengetahuan langsung dari Tuhan. Proses ini melibatkan pengalaman langsung yang masuk ke dalam pikiran, kemudian diolah menjadi konsep yang dapat disampaikan kepada orang lain secara logis.

 

Dengan mengharmoniskan antara akal, pengalaman, dan wahyu, bisa dikatakan Islam lebih unggul dari barat, seraya Al-Qur’an telah mengatur segala aspek kehidupan. Tantangannya adalah tinggal bagaimana kita untuk mengembangkan kerangka dan pola berpikir yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist sehingga dapat menjawab persoalan-persoalan zaman yang semakin berkembang ini.