• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Rabu, 24 April 2024

Opini

Muktamar X NU, Menolak Intervensi Pemerintah Hindia Belanda

Muktamar X NU, Menolak Intervensi Pemerintah Hindia Belanda
Muktamar X NU menolak intervensi yang dilakukan pemerinmtah Hindia Belanda. (Foto: NOJ/OKz)
Muktamar X NU menolak intervensi yang dilakukan pemerinmtah Hindia Belanda. (Foto: NOJ/OKz)

Jika dicermati, sejak awal era 1930-an, perdebatan antar beberapa organisasi Islam terkait soal furu’iyah sedikit mereda. Penyebabnya, serangan dari luar Islam semakin gencar. Diawali dari tulisan di beberapa majalah yang menghina Al-Qur’an dan menista Rasulullah SAW sejak pertengahan 1910-an, pola penistaan ini mereda di dasawarsa berikutnya, namun bangkit lagi pada era 1930-an.


Di era 1910-an, misalnya, surat kabar Djawi Hisworo menurunkan artikel yang ditulis oleh Martodharsono dan Djojodikoro. Sebagaimana yang ditulis oleh Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, artikel yang termuat pada tanggal 9 dan 11 Januari 1918 tersebut menyatakan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang pemabuk dan penghisap candu. Sontak, artikel yang dimuat di media milik Boedi Oetomo itu direaksi keras oleh umat Islam.


Pada dasawarsa berikutnya, umat Islam disibukkan dengan debat furu’iyah dan dikagetkan dengan ambruknya imperium Turki Utsmani. Adu argumentasi ini mulai reda di awal 1930-an. Bukan karena capek berdebat, melainkan karena adanya ‘serangan’ dari luar. Seorang penulis Tionghoa, Oei Bhe Tai, menulis artikel di majalah Hoa Kiao (1932). Oei menyatakan peraturan perkawinan dalam Al-Qur’an pada mulanya hanya untuk melampiaskan nafsu Nabi Muhammad. Penghinaan ini sontak membuat geger umat Islam. Beberapa ormas menyuarakan protesnya, termasuk NU yang langsung membuat keputusan bahtsul masail di Muktamar NU Banyuwangi mengenai pasal penghinaan terhadap Al-Qur’an.


Selain itu, yang membuat umat Islam pada dasawarsa ini tampak solid adalah kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda soal ‘Ordonantie Guru’ dan ‘Ordonatie Sekolah Liar’ pada 1932 yang semakin membatasi kiprah para guru-guru agama dan menghimpit pesantren. Terlebih diketahui bahwa ‘Ordonantie Guru’ itu tidak hanya berlaku pada pembatasan tugas guru agama atau mubaligh saja, tetapi juga berlaku bagi penempatan bupati serta bawahannya di Jawa, serta kepala adat di mana saja berwenang mengatur urusan agama. Padahal mereka itu kurang paham bahkan tidak tahu sama sekali terhadap hukum Islam.

 

Serangan-serangan dari luar inilah yang membuat ormas keislaman bersatu sejenak dan meninggalkan perkara furu’iyah yang biasanya laris menjadi tema perdebatan. Karena itu dalam muktamarnya di Solo, NU bersikap keras menentang aturan pemerintah kolonial ini. 

 

Muktamar secara terang-terangan menentang kebijaksanaan Belanda tentang pengangkatan pejabat yang berwenang mengurusi agama Islam. Apabila pemerintah kolonial tidak mengadakan syarat-syarat kemampuan ilmu agama Islam bagi pejabat yang hendak mengurusi soal keagamaan, NU akan membentuk badan tersendiri bagi kepentingan penyelesaian masalah agama seperti perselisihan soal waris dan sebagainya. Dengan demikian NU semakin terlihat taringnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara keras menentang politik pemerintahan kolonial.

 

Tentu saja sikap NU semacam itu membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda khawatir akan kegagalan misi politiknya. “Lebih-lebih dalam muktamar ini jumlah anggota NU yang terdaftar 67.000 orang, tersebar di 68 cabang di seluruh Hindia Belanda.” Demikian tulis Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Ini berarti sebagai sebuah ormas keagamaan, potensi NU tidak bisa dianggap remeh. Kelak, dalam Muktamar XII NU, 1937, di Malang, sikap NU semakin keras menolak kebijakan Hindia Belanda terkait soal waris, pencatatan perkawinan dan urusan agama.

 

Dalam sidang ketiga, malam Selasa, 15 April 1935, yang dimpimpin oleh KH Zainul Arifin dan KH Mahfudz Siddiq, disepakati keputusan, bahwa NU meminta kepada para pengusaha pemilik pabrik agar, pertama, menyediakan langgar di dekat lokasi kerja, dan kedua, memberi kelonggaran waktu kepada para buruh untuk menyelenggarakan shalat Jum’at.

 

Tak hanya itu, dalam muktamar kali ini, soal pakaian yang dikenakan oleh Lajnatun Nashihin, divisi propaganda NU berisi anak-anak muda, juga dibahas dalam notulensi rapat. Intinya, jika sebelumnya ada larangan menggunakan setelan pakaian ala Barat, pada malam itu, mayoritas ulama memperbolehkan para kaum muda menggunakan setelan pantalon dan dasi saat menjalankan misi dakwah.

 

Selain itu, di muktamar ini juga dipermaklumkan keputusan KH M Hasyim Asy’ari yang belum memperbolehkan kaum perempuan berpidato di rapat umum (operbaar). Pendapat hadratussyekh yang disampaikan melalui surat ini juga didukung para ulama lain. Yang pasti, melihat beberapa catatan hasil Muktamar ini, terlihat dinamika yang menarik dalam pemikiran ulama pada saat itu, dan juga pada aspek laporan beberapa cabang yang menyodorkan berbagai permasalahan yang dihadapi di daerah untuk dibahas dalam forum tertinggi jamiyah ini. 


Beberapa poin penting yang dibahas dan diputuskan pada Muktamar ke-10 tersebut antara lain mengesahkan peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PD/PRT) wadah pemuda Ansor Nahdlatoel Oelama’ (ANO) yang berdiri pada tahun 1934, serta membentuk sebuah komisi untuk mengawal pendirian ANO yang terdiri dari: KH Tohir Bakri (Surabaya), KH Mahfudz Siddiq (Jember), KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Adnan (Gresik), dan KH Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya).

 

Selain itu, yang tidak kalah penting, yakni terdapat keputusan yang menegaskan dukungan untuk Madrasah Mambaul Ulum, Solo. “Dukungan ini menjadi penting, ketika pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan tentang pengangkatan pejabat yang berwenang mengurus soal agama Islam. Bagi para ulama NU, keberadaan Mambaul Ulum perlu dipertahankan sebagai salah satu lembaga pendidikan untuk mencetak calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama.” tulis Ajie Najmuddin dalam Menyambut Satu Abad NU: Sejarah dan Refleksi Perjuangan Nahdlatul Ulama Surakarta dan Sekitarnya. (Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Ajie Najmuddin, Wartawan NU Online yang tinggal di Surakarta, yang pada Selasa (2/11), telah memberi saya salinan “Poetosan Congress NO ke-10 di Soerakarta 13-10 April 1935”)

 

***
Solidaritas menentang kebijakan pemerintah ini semakin menguat manakala berbagai ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Partai Islam Indonesia dan Partai Syarikat Islam Indonesia mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 H/ 21 September 1937. Berdirinya organisasi ini juga mendapatkan sambutan meriah, apalagi setelah itu umat Islam dihadapkan pada penghinaan terhadap Rasulullah SAW yang dilakukan oleh Siti Soemandari melalui artikelnya di Madjalah Bangoen (15 Oktober 1937) yang dikelola Parindra. Cita-cita persatuan umat Islam Indonesia ini juga terlihat manakala organisasi Islam lainnya menyatakan bergabung dalam MIAI dalam tahun-tahun berikutnya. “Untuk sementara, kelahiran MIAI berhasil menjadi peredam semangat perdebatan masalah furu’ dan khilafiyah.” tulis sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (Jilid 1).

 

Dasawarsa 1930-an ini memang menjadi salah satu momentum menarik dalam konteks pergerakan menuju kemerdekaan. Berbagai organisasi primordial maupun nasionalis dengan mencantumkan nama “Indonesia” tumbuh subur pada kurun ini; Partai Rakyat Indonesia (1930), Persatuan Bangsa Indonesia (1931), Partindo (1931), Partai Islam Indonesia (1932), PNI Baru (1933), Partai Indonesia Raya (1934). Organisasi Islam juga semakin keras mereaksi berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Akibatnya, dalam kurun ini, banyak di antara para aktivis yang ditangkap dan diasingkan. Taktik devide et impera juga dijalankan untuk melemahkan sebuah organisasi. 

 

Di era inilah, NU semakin memainkan peranan kebangsaan dengan caranya yang khas. Jika fase perintisan NU dimulai dari 1926 hingga 1933, maka fase perkembangan NU diawali sejak Muktamar Banyuwangi 1934, yang dilanjutkan di Muktamar Solo 1935, di mana pada kurun ini, selain meningkatkan sikap terhadap persoalan kebangsaan, para tokoh-tokoh NU juga banyak terlibat dalam aktivitas pergerakan pra-kemerdekaan.

 

Lalu, mengapa pertumbuhan NU pada dasawarsa ini terlihat sangat cepat? Hal ini bisa ditelusuri pada kurun 1920-an. Harry J. Benda, dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit, menggambarkan era ini sebagai masa disintegrasi sosial yang terus meningkat akibat dari landasan ikatan tradisional petani semakin mengambang, dan di sisi lain nilai-nilai priyayi semakin surut akibat pengaruh Westernisasi.

 

Perpecahan Sarekat Islam, sikap represif pemerintah kolonial terhadap komunisme, dan sikap elitis sebagian priyayi berpendidikan Barat telah membuat jurang segregasi menganga di kalangan rakyat bawah. Mereka mulai kehilangan simbol pemersatu rakyat bawah yang sebelumnya menjadi legitimasi Sarekat Islam. “Di tengah suasana yang demikian itu maka kelahiran NU dan peran yang dimainkan selama lima belas tahun kemudian bagaikan mengisi legitimasi simbol-simbol perjuangan itu kembali.” tulis Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik

 

Rijal Mumazziq Z adalah Rektor Inaifas, Kencong, Jember


Editor:

Opini Terbaru