• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Pustaka

Dilema Mencari Pemimpin di Tahun 2024?

Dilema Mencari Pemimpin di Tahun 2024?
Sampul buku Adab Berpolitik. (Foto: qafmedia.co)
Sampul buku Adab Berpolitik. (Foto: qafmedia.co)

Sebentar lagi akan menghadapi pesta demokrasi pemilihan umum atau Pemilu 2024. Semua orang dituntut agar bisa berpartisipasi dan berkontribusi pada pemilu tersebut. Namun demikian, tidak sedikit dari sekian orang kebingungan menentukan pilihan yang sesuai dengan selera. Seperti menentukan karakteristik pemimpin yang adil, tegas, amanah, jujur dalam mengemban tugas, sanggup mensejahterakan umat, dan tidak mendzalimi rakyatnya. Karakteristik tersebut tampak sulit diprediksi karena hal demikian berkaitan dengan integritas dan kapabilitas seorang pemimpin.

 

Sikap ambigu selalu mewarnai pandangan masyarakat setiap menjelang pemilu. Mereka —sampai batas tertentu— tidak tahu lagi memastikan calon pemimpin ideal baginya. Karakteristik penguasa yang menurut dirinya telah mapan banyak bersanding dengan orang yang jauh panggang dari kata sempurna. Banyaknya masyarakat yang mengambil langkah akhir —meskipun cara ini tidak produktif sama sekali karena alasan ambiguitas— dengan tidak memilih pemimpin atau penguasa (golput) menjadi bukti nyata dari sikap ambiguitas tersebut begitu kentara.

 

Imam Al-Ghazali (w. 505 H) menyadari persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Bagi Al-Ghazali, kontribusi serta partisipasi masyarakat sangat signifikan dalam pemilihan calon pemimpin ideal. Melalui buku ini, ia hendak menghibur mereka dengan beberapa petuah-petuah yang disajikan begitu indah. Seolah mengingatkan bahwa patuh pada perintah penguasa adalah wajib dan tidak boleh mendurhakainya (hal. 100 dan 207).

 

Selain itu, tindakan golput sebisanya harus dihindari. Mengingat cara itu merupakan tindakan kurang produktif. Menurut Al-Ghazali, masyarakat harus mengetahui bahwa Allah-lah yang memberikan kekuasaan dan Dia memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Ini sejalan dengan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 26.

 

Untuk mewujudkan pemerintahan dengan karakteristik yang mempunyai moralitas kekuasaan, yang perlu dilakukan tidak cukup sepenuhnya menunggu bola, yakni dengan mengharapkan pemerintahan yang adil tanpa adanya partisipasi serta kontribusi dari masyarakat. Kontribusi tersebut dapat dilihat di antaranya, Pertama, pemerintahan yang adil dapat terwujud dengan adanya upaya serta peran mereka di dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan integritas dan kapabilitas dengan tanpa adanya atensi pamrih (reward) sedikitpun (money politic). Al-Ghazali menegaskan:

“Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan cinta harta dan kedudukan. Barang siapa dikuasai ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasaannya. Allah lah tumpuan meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumiddin, II/381).

 

Kedua, selektif memilih calon istri. Ternyata persoalan mencari pasangan tanpa kita sadari juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kemajuan suatu bangsa dan negara dengan adanya calon pemimpin ideal yang terlahir dari pasangan rumah tangga yang taat beribadah.

 

Mencintai seorang wanita terkadang lupa mempertimbangkan segala-galanya. Betapa banyak bencana menimpanya karena kurang teliti mempertimbangkan calon istrinya. Imam Ghazali berpesan, jangan cari wanita dengan kecantikan dan kekayaannya saja, karena harta bisa menimbulkan bencana sehingga harta tersebut tidak bisa diberikannya kepada istri. Hindari melamar istri karena menuruti keinginan nafsu.

 

Ada sebuah dialog sangat menarik yang diangkat buku ini. Di Kota Marw, hidup salah salah seorang pemimpin serta hakim adil bernama Nuh bin Maryam. Ia mendapatkan banyak nikmat yang melimpah. Di lain sisi, ia juga mempunyai seorang putri cantik yang baik dan sempurna. Ia pernah dilamar oleh beberapa orang besar, terkemuka, dan kaya. Namun tidak satupun yang menarik simpati ayahnya. Nuh bin Maryam sedih memikirkan persoalan putrinya dan ia tidak tahu harus dengan siapa ia hendak menikahkan di antara mereka.

 

Selanjutnya, ia mempunyai seorang pelayan berkebangsaan India bernama Mubarak. Mubarak adalah pelayan jujur. Ia tidak pernah berbuat curang dalam menjalankan tugas. Pernah suatu ketika Mubarak diminta majikannya mengambilkan setandan buah anggur. Mubarak pun segera melayani keinginan tuannya. Setelah dimakan, ternyata rasa buah anggur itu masam. Sang majikan kembali meminta pelayannya mengambilkan setandan buah anggur lagi. Rasanya juga masam.

 

Sang Majikan bertanya kepada Mubarak, “Mengapa kamu selalu mengambilkan untukku anggur yang rasanya masam?” Ia menjawab, “Karena aku memang tidak tahu, apa anggur yang aku ambil itu masam atau manis.” Sang Majikan keheranan kepada pelayannya karena sudah sebulan tinggal di ladang tetapi masih belum bisa mengenali rasa anggur? Si pelayan menjawab keheranan tuannya sembari menjawab, “Anda benar, Tuan. Saya tidak pernah mencicipinya. Jadi, saya tidak tahu apakah rasanya masam atau manis.” “Kenapa kamu tidak mencicipinya?” “Karena Anda menyuruh saya menjaganya, bukan mencicipinya,” jawab si pelayan. Nuh bin Maryam terkagum-kagum mendengar jawaban pelayan tersebut.

 

Mengetahui sifat pelayannya yang baik dan amanah dalam tugas, Nuh bin Maryam memintanya kembali melakukan permintaannya. “Aku taat kepada Allah dan Anda,” jawab si pelayan cepat. Selanjutnya, Nuh bin Maryam meminta pendapat mengenai putrinya yang telah dilamar oleh orang-orang besar. Tetapi ia masih bingung kepada siapa hendak menjodohkan? Mubarak, pelayannya, memenuhi permintaan tuannya seraya berkata:

 

“Di zaman jahiliah orang-orang kafir menginginkan asal-usul yang mulia, nasab keturunan yang baik, rumah tangga yang tenang, dan kehormatan. Yang diinginkan orang Yahudi dan orang Nasrani adalah ketampanan dan kecantikan. Pada zaman Rasulullah SAW, yang diinginkan manusia adalah agama serta ketakwaan. Sementara di zaman kita sekarang, yang diinginkan oleh manusia adalah harta. Anda pilih saja di antara empat pilihan yang Anda inginkan.”

 

Alhasil, Nuh bin Maryam menikahkan putrinya dengan pelayannya yang bernama Mubarak tersebut, dan mereka berdua diberi harta yang banyak. Mereka dikaruniai anak yang nantinya diberi nama Abdullah yang di seluruh dunia dikenal dengan Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar ahli hadits yang terkenal zuhud (320-324).

 

Buku ini, selain berisi petuah-petuah bijak, juga disertakan kisah-kisah inspiratif lainnya menggugah hati. Kisah-kisah tersebut bukanlah kisah fiktif yang sengaja didesain oleh Imam Al-Ghazali supaya terlihat memukau, melainkan sebuah kisah nyata yang terjadi pada para sahabat nabi hingga pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

 

Keseluruhan cerita tersebut mengisahhkan kehebatan para pemimpin di dalam mengabdikan dirinya pada negara dan agama. Dengan kehebatan pengabdian mereka, mampu membawa rakyat sejahtera dan aman dari aktivitas-aktivitas musuh yang hendak ingin menjajahnya.

 

Identitas Buku:

Judul Buku: Adab Berpolitik
Penulis: Imam Ghazali
Penerbit: Qaf Jakarta​​​​​​​
Tahun terbit: Agustus, 2020
Tebal: 344 halaman
ISBN: 978-602-5547-83-6
Peresensi: Ashimuddin Musa, alumnus Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) dan anggota GP Ansor Pragaan, Sumenep.


Pustaka Terbaru