• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Pustaka

Mengenal Kiai Baidlowi Probolinggo Pejuang Pendidikan di Pesantren

Mengenal Kiai Baidlowi Probolinggo Pejuang Pendidikan di Pesantren
Sampul buku Kiai Pejuang, Mata Air Keteladanan KH. Ahmad Baidlowi. (Foto: NOJ/ISt)
Sampul buku Kiai Pejuang, Mata Air Keteladanan KH. Ahmad Baidlowi. (Foto: NOJ/ISt)

KH. Ahmad Baidlowi (biasa disapa Kiai Baidlowi) merupakan seorang ulama’ kelahiran Madura sekaligus pendiri Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah, sebuah pesantren yang berada di jantung Kabupaten Probolinggo tepatnya di Kota Kraksaan. Beliau lahir pada tanggal 11 Februari 1914 di Desa Galis Pamekasan Madura dari pasangan KH. Abdul Mu’thi dan Ny. Hj. Khodijah. Secara garis nasab, Kiai Baidlowi masih terhitung saudara dua pupu dengan KH. Zaini Mun’im pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton. Semasa kecilnya, beliau mendalami bacaan al-Qur’an kepada kakak iparnya yang bernama Kiai Asy’ari, kemudian melanjutkan studi ilmu agama dasar kepada Kiai Abdul Mun’im (ayahanda Kiai Zaini Mun’im).


Selang beberapa tahun kemudian, Kiai Baidlowi melanjutkan karir pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Madura yang pada saat itu diasuh oleh KH.R. Abdul Hamid dan putranya yaitu KH. Abdul Majid. Di sana beliau mulai belajar beberapa disiplin keilmuan mulai dari ilmu nahwu, shorf, balaghah, fiqh, tauhid, mantiq, hingga tafsir. Enam tahun beliau menjadi santri Banyuanyar, setelah dirasa cukup, pada tahun 1923 beliau pindah ke sebuah pesantren di Kademangan asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan, salah satu temannya pada saat itu adalah Kiai As’ad yang merupakan santri senior Syaikhona Kholil. Pasca kewafatan Syaikhonan Kholil pada tahun 1925, beliau memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan keilmuannya di Pesantren Sidogiri selama lima tahun.


Kiai Baidlowi dan al-Insijam

Pada awal mula berdirinya Pondok Pesantren Darul Lughah Wal Karomah, salah satu dari banyak hal yang difikirkan oleh Kiai Baidlowi selaku pendiri adalah bagaimana para santri dapat membaca dan menguasai literatur ke-Islaman klasik yang biasa disebut kitab kuning dengan cepat dan tepat. Al-Insijam merupakan suatu konsep dan rumusan yang beliau cetuskan sebagai metode efektif dalam pembelajaran. Dalam literatur kebahasaan, al-Insijam setidaknya memiliki tiga arti yaitu tercurah, tersusun rapi dan selaras/harmonis. Namun dalam perjalanannya Kiai Baidlowi mengembangkan istilah ini menjadi sebuah metode pengajaran al-Qur’an dan Kitab Kuning dengan cara membaca nyaring, cepat, jelas dan tepat sehingga Kiai atau ustadz bisa menyimak dan memperbaiki bacaan tersebut.


Menurut penuturan Ny. Hj. Mamjudah Baidlowi salah satu putri beliau yang masih ada sekarang, Insijam merupakan istilah yang populer di masa Kiai Baidlowi dan dipakai untuk mendorong santri berani membaca kalimat bahasa arab dengan nyaring dan cepat, karena ketepatan bacaan menunjukkan tingkat pemahaman seseorang akan kaidah kebahasaan yang dikuasainya. Seiring waktu berjalan, istilah menjadi semacam forum-forum kajian atau diskusi yang diadakan oleh santri untuk membahas materi yang sudah diperoleh atau terkait tema-tema keislaman tertentu. Dalam hal ini, Kiai Baidlowi memiliki sebuah inisiasi untuk mengajak santri-santrinya berdakwah di tengah-tengah masyarakat dengan cara menggelar pengajian kitab kuning baik di rumah alumni atau simpatisan pesantren dengan tujuan mengajarkan hukum agama dan mengajak masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.


Setelah Kiai Baidlowi wafat, al-Insijam sebagai istilah dan praktik kurang populer. Sehingga salah satu cucu beliau dan salah satu jajaran pengasuh Pesantren Darul Lughah Wal Karomah yang bernama KH. Abdul Wahid Umar mencoba mempopulerkan kembali dengan membentuk sebuah forum kajian ilmiah yang juga disebutnya sebagai al-Insijam yang mendiskusikan berbagai wacana baru dalam kajian ke-Islaman. Pada tahun 2008, KH. Abdul Wahid Umar membuat formula baru bagi al-Insijam dengan konsep yang lebih dekat dengan apa yang dilakukan ketika Kiai Baidlowi masih hidup yaitu dengan mengadakan pengajian kitab Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli dari rumah ke rumah. Acara dimulai dengan pembacaan Ratib al-Haddad dilanjutkan dengan pembacaan kitab secara bergiliran.


Pada tahun 2012 forum al-Insijam dengan materi pengajian Kitab Tafsir al-Jalalain dianggap terlalu abstrak dan tidak terlalu bersinggungan langsung dengan realitas sosial sehari-hari sehingga Kitab Tafsir al-Jalalain diganti dengan Kitab Fathul Qorib karya Syaikh Muhammad Ibn Qosim al-Ghazzi yang membahas fiqh. Selain itu, sekitar tahun 2014 beberapa pegiat al-Insijam mengadakan kajian intensif fan ushul al-fiqh dengan kitab al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh karya Syaikh Abdul Karim Zaidan. Masih tidak berhenti di sini, kebutuhan akan suplemen ruhaniyyah juga sangat dibutuhkan disamping ibadah ‘amaliyyah, maka pada kisaran tahun 2015 ditambahlah Kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazzali pada forum al-Insijam sebagai pelengkapnya. Dua kitab inilah yang hingga saat ini menjadi muqorror forum al-Insijam. Dalam perjalanannya, ternyata kajian ushul fiqh ini tidak semulus kitab Fathul Qorib dan kitab Minhajul Abidin. Hanya berjalan satu tahun kemudian setelah itu terhenti. Sejak bulan Januari 2021 lalu kajian ushul fiqh ini dihidupkan kembali dengan formulasi dan semangat baru karena dirasa bahwa pengaruhnya sangat dirasakan oleh peserta diskusi dalam mempengaruhi cara pandang mereka dalam penetapan hukum.


Deskripsi di atas menegaskan kesungguhan dan upaya yang dilakukan KH. Abdul Wahid Umar dan para pegiat al-Insijam dalam mendefinisikan kembali al-Insijam sebagai warisan intelektual Kiai Baidlowi dan sebagai distingsi Pesantren Darul Lughah Wal Karomah. Dalam upaya memantapkan orientasi dan manifestasi programnya, atas izin pengasuh Pesantren yakni KH. Mahmud Ali Wafa bin KH. Ali Wafa Baidlowi, al-Insijam kemudian dilembagakan menjadi organisasi yang terstruktur dan yayasan yang berbadan hukum pada 15 Oktober 2015. Yayasan tersebut diberi nama “Yayasan Sosial dan Dakwah al-Insijam Pesantren Darul Lughah Wal Karomah dengan berbadan hukum; AHU-0017090.AH.01.04.2015. Saat ini al-Insijam mengorientasikan diri sebagai forum kajian, penerbitan dan pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan pesantren dan khazanah keilmuan Islam klasik serta bercita-cita memajukan pesantren, memberdayakan ummat, berkhidmat pada negara dan bangsa.


Kiai Baidlowi dan Arah Pengembangan Madin

Selain forum al-Insijam sebagai lembaga kajian dan kemasyarakatan, Kiai Baidlowi juga telaten mengajarkan beberapa disiplin ilmu kepada para santrinya kala itu. Beberapa ilmu ke Islaman yang beliau ajarkan kepada santri adalah ilmu tata bahasa Arab, al-Qur’an, tafsir, fiqh, dan tasawwuf dengan menggunakan dua model pembelajaran klasik yaitu sorogan dan bandongan. Pada waktu itu Kiai Baidlowi membagi jadwal pengajian kitab menjadi dua waktu yaitu pagi dan malam hari. Di pagi hari setelah sholat subuh diisi dengan pembelajaran ilmu nahwu dan shorf, sedangkan di malam harinya diisi dengan ilmu balaghah, ilmu mantiq, kitab Kasyifat as-Saja, kitab Tafsir al-Jalalain, kitab Fath al-Mu’in, dan kitab Minhaj al-‘Abidin.


Tepatnya pada tahun 1976, di mana pada saat itu seluruh putra-putri Kiai Baidlowi berkumpul dan tinggal di kompleks pesantren, ada salah satu putra beliau yang bernama KH. Ali Wafa Baidlowi berinisiatif untuk menata dan menyusun secara sistematis kurikulum dan sistem pembelajaran di pesantren. Berangkat dari inisiatif inilah, beliau perlahan mulai menggagas pendirian Madrasah Diniyah (Madin). Perkembangan pesantren pada tahap ini cukup baik, beliau menjadikan Madrasah Diniyah sebagai sentral pendidikan keagamaan pesantren. Sedikit berbeda dari Kiai Baidlowi, Kiai Ali Wafa membuat waktu kegiatan pembelajaran menjadi tiga yaitu pagi, siang, dan malam. Ilmu Nahwu dan Shorf difokuskan pada pagi hari, sedangkan ilmu fiqh, tauhid, tasawwuf, tarikh, hadits, hingga tafsir dipelajari pada sore hari yang pendekatan atau pola pengajarannya lebih ditekankan pada sorogan. Metode ini diterapkan pada waktu pembelajaran sore hari untuk mengukur kemampuan santri dalam membaca kitab kuning sekaligus untuk menilai penguasaan ilmu nahwu dan shorf yang telah dipelajari pada pagi harinya. Malam hari oleh Kiai Ali Wafa dikhususkan untuk pendalaman Bahasa Arab.


Kepiawaian KH. Ali Wafa Baidlowi sudah tidak diragukan lagi, beliau sangat pandai nan kreatif dalam merumuskan sistem dan kurikulum pembelajaran pesantren, tentu hal tersebut bukan perkara yang mudah. Kiai Baidlowi sebagai orang tua, memberikan ruang yang sangat luas kepada putra-putrinya untuk menata pesantren tersebut. Lebih-lebih kepada KH. Ali Wafa Baidlowi yang akan melanjutkan estafet kepengasuhan kala itu. Hingga saat ini—masa kepengasuhan KH. Mahmud bin KH. Ali Wafa Baidlowi—Madrasah Diniyah (Madin) Darul Lughah Wal Karomah tetap eksis mengawal kemajuan pesantren Darul Lughah Wal Karomah dalam bidang Ilmu ke-Islaman. Muatan pelajaran tersusun sangat rapi mulai dari tingkat pemula sampai tingkat atas sesuai jenjang kelas yang ada, mulai dari kelas satu hingga kelas enam.
​​​​​​​

Judul Buku: Kiai Pejuang, Mata Air Keteladanan KH. Ahmad Baidlowi​​​​​​​
Penulis: Zuhri Humaidi & Nurul Huda​​​​​​​
Penerbit: Q-Media Sleman Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2021
Tebal: xiv + 238 Halaman; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-602-6213-55-6
Peresensi: Alfan Jamil, Dosen Kajian Fiqh Ulama Nusantara di Ma'had Aly Nurul Jadid Probolinggo


Pustaka Terbaru