• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Rehat

Kisah Perempuan Penyabar yang Wajahnya Bersinar

Kisah Perempuan Penyabar yang Wajahnya Bersinar
Perempuan penyabar ini memiliki paras rupawan dan wajahnya bersinar. (Foto: NOJ/KJe)
Perempuan penyabar ini memiliki paras rupawan dan wajahnya bersinar. (Foto: NOJ/KJe)

Islam menjunjung tinggi kesetaraan. Tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan, demikian pula tingkatan sosial di masyarakat. Mereka yang berstatus sebagai pejabat dengan pekerja atau anak buah hakikatnya sama. Semua sangat ditentukan oleh kualitas takwa dan amaliah hariannya.

 

Dalam kitab Irsyadul Ibad halaman 31 terdapat sebuah hikayat menarik tentang sabar dan musibah. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Yafi‘i dari Abu al-Hasan as-Sarraj. As-Sarraj termasuk al-Imam al-Muhaddis, salah seorang perawi dan penghafal ribuan hadits. Juga dikenal oleh Imam al-Hakim sebagai seorang yang banyak melakukan ijtihad dan tekun beribadah.  

 

As-Sarraj berkisah, suatu ketika dia pernah berhaji di Masjidil Haram. Saat bertawaf di Ka'bah, ia bertemu dengan perempuan yang bersinar paras wajahnya. (Hingga refleks), as-Sarraj berkata: Demi Allah, sungguh tak pernah kujumpai seumur hidupku hingga saat ini, seorang perempuan yang paras dan kecantikannya menyamai perempuan ini. Pasti ia sedikit sekali murung dan bersedih (qillat al-hamm wa al-hazn).  

 

Tidak disangka, perempuan tersebut mendengar ucapan As-Sarraj. Lalu perempuan itu berkata: “Bagaimana engkau mengatakan itu, duhai kisanak? Sungguh, diriku terjerat dengan kesedihan, hatiku dipenuhi kepedihan dan keprihatinan. Tidak seorang pun yang memiliki kesedihan di dunia ini yang menyamai kesedihanku.”  

 

As-Sarraj berkata: "Bagaimana hal itu terjadi?” Perempuan itu kemudian berkisah. “Aku memiliki suami, yang sedang menyembelih kambing saat Idul Adha. Dua anak kecil kami tengah bermain, sementara aku masih menyusui anak yang bayi. Saat aku hendak mempersiapkan makanan, kedua anak yang bermain tadi menirukan sang ayah yang tengah menyembelih kambing. Nahas, permainan tiruan itu menggunakan pisau yang tajam hingga sang adik mati terkapar dengan leher berlumuran darah. Sang kakak pun berlari ketakutan, menuju pegunungan. Sang ayah pergi mencari sang kakak di pegunungan, hingga diketahui bahwa sang kakak meninggal karena diterkam serigala, sementara suami aku meninggal karena kehausan.  

 

Di tengah kalut dalam kesedihan, aku meletakkan bayi, dan tanpa sepengetahuanku ia merangkak di dapur, hendak meraih sebuah periuk yang tengah dipanasi, berisi air mendidih. Si bayi meraih kuali, hingga air mendidih tumpah di tubuh bayi. Dagingnya melepuh, hingga tampak sebagian tulang belulangnya. Bayiku pun meninggal dunia.  

 

Aku bersedih. Peristiwa ini, juga sampai kepada anak perempuanku yang sudah menikah. Setelah mendapati kabar penuh duka lara tersebut, sang anak perempuan itu tertelungkup ke tanah, di samping suaminya, dan ternyata hal itu menjadi ajal pula baginya. Masa itu telah membuatku menjadi seorang diri, menyendiri, dan sendirian (fa afradani al-dahr), dari mereka, dari suamiku, dan dari keempat anakku.  

 

As-Sarraj yang sedari tadi mendengarkan dengan khidmah, lalu menimpali: "Bagaimana kamu bisa bersabar atas musibah yang besar ini?"  

 

Perempuan itu menjawab: “Tidak ada yang bisa membedakan sikap sabar (al-shabr) dan mengeluh (al-jaz‘), kecuali dia telah menemukan sisi dan jalan pembeda antara keduanya. Kesabaran, dengan kebagusan yang ditampakkan pantas mendapatkan pahala yang terpuji nantinya. Sementara keluh kesah semata, tak mendapatkan pahala dan tak mendapatkan ganti rugi apa pun.

 

Kisah musibah perempuan dan dialognya dengan As-Sarraj tersebut mengingatkan atas pesan Rasulullah pada seorang utusan yang membawa kabar mengenai kematian anak dari putri Rasulullah. "Bersabarlah, dan berharaplah ada pahala atas peristiwa itu (fal tashbir, wal tahtasib) (HR al-Bukhari No.6602, Muslim No.923).

 

Ini juga menjadi hadits pembuka dalam tema tentang kesabaran, di kitab Irsyadul Ibad karya Zainuddin al-Malibari ini.

  

Kesabaran perlu dikuatkan dalam hati, sembari berharap adanya pahala atas penyebab kesedihan yang menerpa, juga mengukuhkan ketabahan dan terus menampakkan kebaikan-kebaikan secara nyata dalam diri, wajah, dan perbuatan.  ​​​


Rehat Terbaru