• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Risalah Redaksi

Masih Ada Kesempatan Muhasabah di Separuh Perjalanan Ramadhan

Masih Ada Kesempatan Muhasabah di Separuh Perjalanan Ramadhan
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Tidak terasa, Ramadhan sudah memasuki pertengahan bulan. Bulan yang sarat dengan kebaikan dan kehadidarannya demikian dielukan, perlahan namun pasti mulai beranjak pergi. Bukan semata soal bagaimana kita menyambut lebaran, namun yang terpenting adalah seberapa kuat atsar atau pengaruh tempaan selama Ramadhan tersebut dalam keseharian.


Sebagian kalangan mengilustrasikan bahwa selama berada dalam madrasah Ramadhan, maka semua akan ikut terlibat. Layaknya perlombaan, maka seluruh peserta akan berada di awal start. Atau semua peserta akan berada di babak penyisihan. Seiring dengan berjalannya waktu, maka sejumlah peserta lomba berguguran. Mereka akan terseleksi dengan sendirinya, sehingga dalam perjalannya yang tersisa tentu saja peserta terpilih. Mereka yang mampu berdaptasi dengan keadaan dan tampil dengan performa terbaik. Masuk semi final, perempat final, final dan akhirnya menjadi juara.


Ramadhan juga demikian. Yang mengikuti sekolah di bulan penempaan diri tersebut tentu saja seluruh umat Islam yang memenuhi ketentuan. Semua diberikan kesempatan yang sama untuk berpacu selama sebulan penbuh dengan beragam rintangan. Dari mulai tidak makan dan minum selama waktu yang ditentukan, juga menghindari hal yang dapat mengurangi keutamaan puasa. Akan tetapi siapa yang akan menjadi jawara, bahkan menyandang sebagai hamba bertakwa? Tidak banyak. Yakni mereka yang melewati seluruh babak dengan beragam tantangan. Karenanya, saat tiba di garis finis yakni awal Syawal, yang bersangkutanlah juara sejatinya.


Saat ini, kita masih berada di pertengahan Ramadhan. Dan bila mau jujur, kita sudah dapat menilai apakah kita termasuk peserta yang layak terus melaju ke babak berikutnya. Atau apakah sejak awal, sebenarnya kita tidak layak berada di bulan penempaan diri ini karena memang tidak berupaya melakukan perbaikan. Sama seperti yang telah disinyalir Nabi Muhammad, bahwa akan banyak ditemukan mereka yang hanya menahan lapar dan haus, namun tidak meraih apa-apa.


Indikatornya beragam. Bisa intensitas ibadah dari sisi kuantitas mengalami penurunan. Atau bisa saja kuantitas ibadahnya meningkat, namun gagal dalam interaksi sosial. Yang dilakukan selama 15 hari ini tak ubahnya dengan hari sebelum Ramadhan. Sebuah kondisi yang sebenarnya disayangkan, namun demikianlah realitanya.


Sebenarnya piranti yang telah diberikan agama Islam demikian paripurna. Bila umatnya sadar dan memanfaatkan ajaran yang ada dengan seksama dan sarat penghayatan bisa meraih yang diinginkan. Shalat maktubah yang harus dilakukan lima kali dalam sehari, seharunya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Namun dalam praktiknya apakah hal ini bisa berbanding lurus? Justru tidak sedikit orang yang melakukan perbuatan yang merugikaan jamaah lain kala pergi ke mushala maupun masjid. Sandal jamaah tertukar, bahkan tidak jarang yang pulang dengan tanpa membawa alas kaki. Lantas, kalau untuk mengambil hak orang lain, mengapa harus memanipulasi dengan melakukan ibadah?


Begitulah yang kerap kita lakukan. Terkadang dan mungkin sangat sering, atas nama Tuhan harus melakukan kebohongan publik, tidak amanah dengan sumpah yang telah disampaikan saat awal kali dikukuhkan sebagai pejabat publik. Padahal andai salah satu haknya dikurangi, maka rela melakukan protes. Padahal yang diperjuangkan, sejatinya adalah kepentingan pribadi.


Demikian pula dengan ibadah lain, seperti syahadat, zakat, haji, termasuk tentu saja yang tengah kita jalani yakni puasa Ramadhan. Allah telah memberikan garansi yang demikian ideal bagi umat Islam yang mengerjakan puasa sesuai ketentuan, yakni lahirnya insan bertakwa. Mereka yang bisa melaksanakan segala perintah dan menjauhi yang dilarang agama, di mana saja. Kalau saja terpaksa karena khilaf melakukan perbuatan tercela atau melanggar ketentuan, maka akan segera bertobat. Yang terpenting adalah berjanji untuk tidak mengulangi kembali perbuatan serupa di kemudian hari. Dengan demikian, piranti pendukung bagi lahirnya insan terbaik telah dimiliki secara paripurna di agama Islam. Masalahnya memang kembali kepada pemeluknya.

 

Masih Ada Kesempatan

Akan tetapi, tidak ada kata terlambat dalam memperbaiki diri. Alhamdulilllah kita masih diberikam kesempatan untuk kembali merenungi akhlak dan perilaku kita di sisa Ramadhan. Rasanya, masih cukup memadai kalau waktu yang ada dioptimalkan untuk melahirkan manusia baru tersebut. Manusia bertakwa, yang dalam kesehariannya seolah diawasi secara ketat oleh Allah SWT. Dengan demikian yang bersangkutan tidak pernah mempersoalkan apakah di ruangan tempatnya bekerja disediakan alat pengintai, atau ada petugas sebagai pengawas kinerja.


Demikian pula saat bertransaksi di sawah, pasar, jalanan, dan di lokasi mana saja merasa selalu dalam pantauan. Apalagi sejak awal menyadari bahwa setiap orang didampingi oleh dua malaikat, Raqib dan Atid yang akan terus memonitor yang dilakukan dalam keseharian tanpa jeda. Begitulah karakter muttaqin, kalangan yang bertakwa. Baginya cukup Allah SWT sebagai pemantau sejati, tidak perlu ada kalangan lain yang melakukan  pemantauan. Ada atau tidak ada polisi saat di lampu mereah tetap taat. Dan demikian pula seterusnya.


Banyaknya kalanganan yang akhirnya harus berurusan dengan hukum, salah satunya adalah karena merasa ada waktu dalam perjalanan hidupnya tanpa pengawasan. Dia bersekongkol dengan pihak lain untuk melakukan muslihat atas aturan yang ada. Demikian memanfaatkan longgarnya pengawasan untuk melakukan kecurangan. Yang bersangkutan tidak merasa dalam pantauan Allah SWT, kalau pun ada aturan yang telah mengatur, keberadaannya diacuhkan. Dan yang lebih celaka, masih berdalih kala ditangkap dan melakukan aneka alibi dengan tidak mengakui kesalahan yang dilakukan, padahal demikian terang-benderang.


Puasa Ramadhan dengan seluruh nuansa yang melingkupi membuka kesempatan bagi umat Islam memasuki madrasah penempaan diri. Karena itu, sebaiknya dan seharusnya dioptimalkan untuk memproses agar diri ini menjadi insan yang lebih baik. Sesuai dengan ending dan harapan ideal dari iabadah ini yakni lahirnya insan bertakwa. Bahwa dari insan yang demikianlah akan lahir keluarga harapan, lingkungan masyarakat yang diharapkan semua kalangan. Dana kalau hal tersebut dapat terwujud, maka keinginan agar bangsa dan negara ini berjalan sesuai ketentuan bukan hal yang mustahil. Bahwa kita bisa saja berada dalam baldatun thayyibatun warabbun ghafur karena dikelilingi oleh insan dan lingkungan bertakwa.


Sekali lagi, masih ada waktu untuk bisa sampai ke arah sana. Lima belas hari tersisa semoga dapat mengantarkan kita menuju labuhan harapan tersebut. Tentunya tujuannya bukan untuk siapa-siapa, juga ujungnya akan kembali kepada kita semua. Senyampang masih ada watu, sudah seharusnya jangan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Karena bisa jadi waktu terbaik tersebut hanya datang sekali. Kalau gagal memanfaatkannya dengan baik, bukan tidak mungkin yang tersisa hanyalah penyesalan tak berarti. Naudzubillah mindzalik.


Risalah Redaksi Terbaru