• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Risalah Redaksi

Mattasan dan Peran Ranting NU

Mattasan dan Peran Ranting NU
Kiai dan tokoh NU menyebut kepengurusan di tingkat ranting adalah ujung tombak NU. (Foto: NOJ/Nu Network)
Kiai dan tokoh NU menyebut kepengurusan di tingkat ranting adalah ujung tombak NU. (Foto: NOJ/Nu Network)

Mattasan. Itu panggilannya. Nama panjangnya Muhammad Hasan. Dari panggilan itu bisa ditebak, Mattasan adalah orang Madura. Betul. Dia lahir dan tinggal di Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep. Di Pulau Madura, dari pucuk barat hingga timur, orang-orang biasa menyingkat nama panjang mereka agar enak diucapkan, juga mudah dikenali. Ada banyak nama yang dipanggil serupa Mattasan. Nama legenda Persebaya asal Bangkalan di antaranya, Mat Halil. Orang pasti mafhum maksudnya adalah Muhammad Halil. 


Mattasan tak lulus SD. Sempat sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Kecamatan Gapura namun tak sampai tamat. Tapi Mattasan suka mengaji dan belajar ilmu agama. Dua kitab yang paling serius dia pelajari dari guru dan kiainya di kampung, yakni Sullam dan Arkan. Yang paling sering dia ceritakan ke penulis ialah Arkan. Kitab bernama asli Kifayat Ash-Shalah ‘alaa Sabiil An-Najah itu adalah karya Syaikhuna Yahya, ulama kharismatik di Karanganyar, Kamal, Kabupaten Bangkalan, yang satu zaman dengan Syaikhuna Kholil Bangkalan. 


Dahulu, di pesantren dan setiap langgar tempat bocah-bocah mengaji di Madura, terutama di Sumenep, Arkan adalah kitab wajib yang harus dipelajari para santri dan murid. Isinya tentang segala hal terkait shalat. Kitab ini menggunakan bahasa Arab dengan makna dan penjelasan bahasa Jawa dan Madura. Dipandu kiai, mereka belajar dengan sistem tontonan. Praktiknya, seorang kiai membacakan kata per kata berikut maknanya, kemudian diikuti oleh murid. Cara membaca, memaknai dan menjelaskannya pun unik. Macam berlagu sederhana. Di beberapa langgar di kampung di Sumenep, kitab Arkan saat ini masih diajarkan oleh kiai-kiai kampung ke bocah-bocah yang mengaji.


Mattasan paling hafal soal Arkan. Bisa dikatakan hanya isi kitab tipis itu yang paling dia kuasai. Tapi Mattasan tak mau puas diri. Dia ikuti lebih dari satu majelis dzikir atau majelis Qur’an di kampung tempat dia tinggal yang rutin dilaksanakan seminggu sekali. Di majelis itu biasanya terdapat sesi mengaji kitab yang disampaikan oleh kiai kampung. Kitab-kitab yang disampaikan biasanya terkait tauhid, fikih atau tasawuf, yang mudah dipahami. Biasanya Fathul Qarib atau Sullam at-Taufiq. Lewat majelis itulah Mattasan melengkapi pengetahuan Arkan-nya.


Hanya berbekal Arkan, Mattasan menjalani hari-harinya dengan amal shalih. Menjelang Maghrib dia ke langgar di kampung untuk shalat berjamaah. Dia baru pulang bila selesai shalat Isya berjamaah. Tengah malam sebelum subuh, Mattasan balik lagi ke langgar. Dia kemudian shalat Tahajud dan berdzikir. Bila bocah-bocah yang menginap di langgar telat bangun, Mattasan lah yang mengumandangkan adzan subuh. Dia kemudian pulang setelah matahari terbit.


Mattasan tak hanya shalih dalam urusan hablun minallah. Tapi juga berperilaku baik dalam kehidupan sosial. Pagi setelah shalat Subuh, Mattasan pergi ke sawah mencari rumput dan hewan ternaknya, sambil mengurus sawah sewanya. Bila ada waktu agak senggang, biasanya dia bersilaturrahim ke tetangga. Kadang kala memijat dengan ongkos hanya dua bungkus rokok Oepet. Dia hanya menerima tips duit tak seberapa, seikhlasnya, apabila yang meminta jasa pijat orang dari luar desa. 


Saat memijat, biasanya Mattasan sambil bercerita pengalamannya dari masa kecil, mengaji hingga yang baru dia alami. Nasihat-nasihat agama kadang diselipkan dengan bahasa sederhana dan tak menggurui. Acapkali Mattasan sesenggukan apabila nasihat yang dia sampaikan berkaitan dengan urusan akhirat. Penulis pernah merasakan itu saat dipijat Mattasan beberapa tahun lalu. Pijatannya tak seberapa kuat, tapi badan dan pikiran rasanya enteng selesai dipijat oleh Mattasan.


Mattasan adalah orang kecil dengan pengetahuan kecil tapi istikamah dan berusaha keras untuk mengamalkan secuil ilmu yang dia pelajari dari kitab kecil bernama Arkan. Tapi Mattasan adalah gambaran karakter yang diharapkan negeri ini. Dia mungkin bukan tipe ideal dari hal berbau kemajuan. Tapi dari semangatnya dalam mendekatkan diri kepada Allah, etosnya dalam bekerja dan perangai serta akhlaknya dalam menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, dia merupakan karakter yang patut diteladani. 

 


Andai banyak Mattasan bertebaran di kampung-kampung, maka tentram lah negeri ini. Bukan semata karena monopoli peran para tokoh terkenal. Penulis jadi ingat kata Putu Wijaya dalam Tak Ada Peran Kecil yang dia tulis di akun Facebooknya, “Kata Stanilavsky, tak ada peran kecil. Semua peran itu besar. Yang ada adalah aktor-aktor kecil (yang membuat peran besar jadi kecil dan aktor besar yang membuat peran kecil jadi besar).”


Maka wajar bila Gus Dur menggaungkan semangat untuk memberdayakan kiai kampung agar menjadi kekuatan NU yang riil dalam membumikan Islam Aswaja an-Nahdliyah yang rahmatan lil alamin, serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sebab pula banyak kiai dan tokoh NU menyebut ranting-ranting adalah adalah ujung tombak NU, tonggak kekuatan NU. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat pusat, wilayah dan cabang bisa berdiri kokoh dan berkepak sayap bila ranting-rantingnya rapuh dan patah-patah.


NU Online Jatim juga begitu. Semua yang terlibat dalam membesarkan media ini memiliki peran besar. Dari jajaran direksi, redaksi, kontributor, desainer, pengelola medsos, marketing, masing-masing peran semuanya bernilai sama. Bahkan tukang bersih-bersih kantor pun juga berperan besar. Coba bayangkan bagaimana bisa mengedit berita bila kondisi kantor bagai kapal pecah habis dihantam rudal. Wallahu a’lam.


Nur Faishal adalah Redaktur di NU Online Jatim.


Editor:

Risalah Redaksi Terbaru